Di Sini ada Mantan

Faiz el Faza
Chapter #1

Mohon Bersabar ini Ujian

Botol-botol minuman kalengan tergeletak di atas meja. Kotak-kotak makanan siap saji dengan isi yang masih bersisa mulai menguning dengan ratusan mrutu yang menyerbu. Cangkir-cangkir berisi ampas kopi memutih dilukis jamur. Putung-putung rokok memenuhi asbak sampai melumer dan jatuh di sekeliling. Pakaian-pakaian kotor memenuhi segala tempat, mulai dari lantai, kursi, meja, pintu lemari, dan tempat tidur. Di atas tempat tidur, telentang seorang lelaki patah hati yang enggan terbangun dari mimpi karena kenyataan jauh lebih menyakitkan.

  Suara dering ponsel kemudian terdengar menggema ke telinganya, lalu masuk ke alam bawah sadar dan menyebabkan kelopak matanya bergerak-gerak. Dia pun terbangun. Suara ponsel itu masih terdengar. Dengan begitu ahli, dia mengambil ponselnya tanpa melihat dengan meraba-raba tempat tidur. Setelah ketemu, dia langsung mematikan panggilan mengganggu itu. Dia kemudian memiring untuk melanjutkan hari bermalas-malasan.

 Ponselnya berdering lagi. Demi mengkhusukkan diri untuk mengabaikan pagi, dia menutup telinganya. Ternyata, suara panggilan telepon itu masih terdengar. Dia pun bangkit. Ketika dia mengangkatnya, deringnya berhenti. Ada notifikasi bahwa pagi ini ada 50 panggilan dari seorang perempuan yang menurutnya gila. Dia melihat sebuah pesan.

Bangun, bego! Sudah saatnya lu nerima kenyataan.

Marah dengan pesan itu, dia langsung membalas. Namun, saat dia mengetik, tiba-tiba ponselnya mati. Baterainya habis. Dia pun mengerai kesal sambil mengacak-acak seprai. Dia bangkit dari tempat tidur untuk mengecas ponselnya.

Tenggorokannya terasa kering. Ada lemon tea sisa di gelas yang berada di sebelah stop kontak. Ketika dia meminumnya, dia merasa ada yang mengecup bibir atasnya dengan lembut. Dia menurunkan gelas yang dipeganggnya dan melihat seekor cicak yang menatapnya mesra. “Anjing!” teriaknya amat keras.

Anjing milik tetangga belakang rumah segera menggonggong, “Guk-guk-guk!”

Dia berlari ke kamar mandi untuk berkumur. Dia merasa seperti mau muntah saking jijiknya. Setelah keluar dari kamar mandi usai kencing dan membasuh muka, dia melangkah ke dapur untuk meneguk air mineral. Ketika menutup kulkas, sebuah nasihat kecil menempel di pintunya: “Hidup jangan seperti film, bangun kesiangan dan meninggalkan Subuh.”

Baterai ponselnya telah terisi separuh. Dia membuka tirai. Sinar matahari seketika membuat matanya menyipit. Dia berjalan ke kursi sambil menenteng ponselnya. Kamarnya yang kini padang memperlihatkan layak ponselnya yang retak.

Dia hendak membalas WA perempuan gila yang memberondongnya dengan nada dering di pagi yang tenang, sendirian, dan jomblo. Namun, dia melihat banyak sekali notifikasi Facebook yang menge-tag namanya. Ketika dia melihatnya, dia terkejut bukan main.

Ada sebuah video miris dengan deskripsi berikut: “Malang sekali nasib pemuda ini. tujuh tahun pacaran tapi ditinggal nikah.” Dalam video itu, ada seorang lelaki yang bersikap canggung, antara malu-malu dan sedih. Lelaki itu berjalan di antara tertawaan hadirin yang entah mensuportnya atau mempermalukannya. Tetapi, dari wajah-wajah hadirin, pasti setiap penonton yang melihat postingan itu tahu arah suasana sikap mereka.

Lelaki itu naik ke atas panggung dengan senyum kecut sekecut air lemon tanpa gula. Lelaki berbaju kotak-kotak itu sedang menghadiri pernikahan mantan kekasihnya yang sudah menjalin asmara selama tujuh tahun, tetapi kekasihnya malah menikah dengan orang lain.

Dalam momen foto bersama, lelaki itu menangis karena tak kuasa menahan air matanya. Akhirnya, si sang mantan lelaki itu yang telah berdandan amat cantiknya itu juga menangis. Sorak-sorai dari penonton untuk sabar muncul di dalam video beberapa kali dan tersamarkan dengan dubbing suara yang lucu padahal miris: “Mohon tenang, mohon bersabar, ini ujian, ini ujian, ini ujian dari Allah. Memang mengecewakan!” Dubbing suara itu diulang-ulang dalam video tersebut. Itu adalah sebuah dubbing dari seorang pembawa acara resepsi pernikahan yang entah di mana dan kapan, yang pernah viral karena memperlihatkan mengamuknya seseorang di hari pernikahan sang mantan.

Dan lelaki yang kini berada di video mengharukan tersebut adalah dirinya sendiri. Kisahnya telah dilihat ribuan kali dalam satu malam di Facebook, yang diambil dari unggahan teman kampret di YouTube, yang juga di-tweet berkali-kali di Twitter dengan hastag yang lagi trending: #jagainjodoh.

Dia, si lelaki dalam video, kini sedang tertawa melihat betapa bodohnya lelaki di video tersebut. Tujuh tahun membina asmara, lelaki itu harus bersanding dengan orang lain di panggung pernikahan. Wajah lelaki Jakarta yang malang itu harus merelakan kekasihnya menikah dengan orang Malang.

Sepanjang menit berlalu, dia masih tertawa sendiri di dalam kamar yang pengap oleh bau sampah dan pakaian kotor serta putung rokok. Dia menertawakan komentar-komentar campur aduk antara ngawur dan simpati para netizen maha-benar. Setelah kehabisan tenaga untuk tertawa, air matanya pun menggelanggang.

Di luar kamar, suasana rumah amat sepi karena dia tinggal sendirian. Suasana sepi itu kini berbaur dengan suara berulang dubbing pembawa acara pernikahan yang mengereh. “Mohon bersabar, mohon bersabar, ini ujian, ini ujian, ini ujian dari Allah. Memang mengecewakan.”

Beberapa hari kemudian berlalu. Jika bukan karena UAS, pastinya lelaki patah hati bernama Mahardika yang akrab dipanggil Dika itu tak akan datang ke kampus. Jika dulu sebuah ujaran akan senantiasa mengalir bak aliran sungai, maka di zaman ini sebuah ujaran akan menyebar dalam aliran hastag sosial media.

Ketika dia melangkah di area kampus, dia bingung menaruh mukanya di mana. Jika saja dia bisa menaruh mukanya di ranselnya, pasti akan dilakukannya. Langkahnya sampai di kelas. Terjadi penyambutan teman-temannya yang kampret dan seorang perempuan gila bernama Eni.

“Aku kira, kamu udah bunuh diri.”

“Bro, kalau aku jadi kamu. Aku langsung loncat dari lantai tiga.”

“Bro, tenang. Ada cara mati yang tidak menyakitkan, suntik mati.”

Jenaka-jenakaan gelap seketika memenuhi ruangan, termasuk perempuan gila yang selalu mengusilinya, Eni. Gadis yang menjadi sahabatnya sedari kecil itu berkata, “Mohon bersabar, ini ujian, ini ujian dari Allah. Memang mengecewakan!”

Menit-menit itu begitu menyiksa bagi Dika. Dia tertawa tetapi menderita. Rasanya seperti disekap sepuluh orang dewasa bertenaga kuda, lalu kakinya digelitiki sampai mau mati dalam tawa yang memalsu nelangsa. 

UAS hari ini selesai. Dia pun ingin pergi menenangkan hati. “Eni,” sapanya di luar kelas.

“Iya?”

“Ayo makan bareng. Gue laper.”

“Makan di mana?”

“Di tempat biasa.”

“Kayak adegan film aja di tempat biasa. Di mana sih?”

“Di pujasera bawah.”

“Oke.”

Ketika mereka sampai di rumah makan, Eni memesan nasi goreng ati rempela. Sepanjang makan, Eni melihat Dika makan ogah-ogahan. “Lu kenapa sih? Makanannya nangis loh.”

“Makanan yang lu makan, ngingetin gue pada Dinda.”

“Yaelah, cemen banget jadi cowok. Bodoh banget sih elu. Ya udah, ayo kita di tempat nggak biasa.”

“Maksud lu?”

“Di tempat yang jauh. Kita ke Ancol.”

“Lu gila apa? Jauh banget. Nggak capek habis ujian.”

“Lu habis nyangkul apa gimana? Cuma duduk ngerjain soal gitu aja baper.”

 “Gue baper ngerjain soal? Lu kayak nggak tahu anak berprestasi SMA Semanggi aja.”

 “Sombong amat lu. Ayo, lekas berangkat! Nanti nyupirinya gantian.”

Ancol, sore hari, dan senja, begitulah suasana pantai rakyat Jakarta yang sekarang dikuasai muda-mudi masa kini. Ada beberapa anak indie dan anak senja yang kadang jarang salat Magrib.

Ketika Dika dan Eni melangkah di pesisir pantai, mereka melihat seorang perempuan yang berambut panjang dan lurus mengkilap seperti “duta shampo lain” menjatuhkan sebuah dompet. Dika pun memungutnya dan memanggil, “Mbak-Mbak, dompetnya jatuh.”

Perempuan itu rupanya tidak mendengar. Dika pun berlari mengejarnya dan menepuk pundaknya. “Mbak-Mbak, dompetnya jatuh.”

Saat perempuan itu berbalik badan, rambut panjangnya seketika mengibas indah. Dika yang terpanah, melongo dengan tangan yang terjulur membeku memegang dompet. Sementara itu, mulutnya menganga.

Lihat selengkapnya