“Jadi, ini pertama kali lu di-endorse?”
“Iya, gue nggak begitu tahu masalah pengambilan gambar.”
“Lalu, bagaimana lu bisa tiba-tiba menghubungi gue?”
“Ya, lu cowok yang viral itu, ‘kan, yang ditinggal mantan nikah? ‘Gimana sih kok bisa? Tujuh tahun loh. Aku tahunya dari teman yang lihat bio IG-lu yang ternyata seorang fotografer. Yang pertama kali ngunggah di YouTube itu mencantumkan IG-mu.”
“What! Beneran? Ya ampun baru sadar gue.” Dika mengusap wajahnya.
“Iya, masak kamu nggak sadar.”
“Makanya, tiba-tiba banyak yang follow IG-ku.”
Kemudian, Sarah menjelaskan panjang lebar mengenai permintaan pemilik produk hijab yang menjadikannya model. Bermenit-menit sudah Dika dan Sarah berdiskusi. Ketika diskusi makin lama makin seru dan hangat, cukup jauh di belakang Sarah, muncul Eni yang seketika melihat ke arah Dika. Eni melambai-lambaikan tangan dan memberikan isyarat-isyarat tangan tak jelas, seperti bermakna siapa itu, apa itu pacar baru lu?
Dika juga memberi isyarat tangan tetapi agar Eni pergi. Karena Eni tak juga pergi dan dia takut Eni datang untuk mengacau, dia mengusir Eni lagi. Eni meledeknya dengan menjulurkan lidah lalu melengos pergi. Sarah baru sadar bahwa lelaki yang hobi fotografi ini sedang melakukan kontak dengan seseorang. Dia menoleh ke belakang. Dilihatnya sesosok perempuan berambut panjang sebahu yang sedang berjalan membelakangi. “Kamu kontak sama siapa?” tanyanya.
“Anu, temen, Sar.”
“Temen? Eh aku kira pacar barumu. Biasanya cowok kalau baru putus, cepet banget dapat yang baru.”
“Ah, itu mitos di kalangan kaum Hawa. Justru malah cowok itu move-on-nya kayak cepat, tapi itu hanya berlangsung satu bulanan. Setelah itu, berbulan-bulan kemudian bakalan terasa nelangsanya. Bagi seorang cowok, putus cinta itu seperti halnya operasi, ketika tubuh dibedah, nggak kerasa apa-apa karena masih ada efek bius. Tapi, ketika efek biusnya habis, perihnya baru terasa.”
Sarah tersenyum. “Iya-iya, menarik sih pendapat lu. Oke nanti kita mulai sesi pemotretan setelah UAS selesai.”
Pertemuan itu membuat Dika bahagia. Saat mengerjakan UAS, dia senyam-senyum sendiri. Dari jauh dia diperhatikan oleh Eni. Gadis itu melihat sahabatnya sumringah.
***
Beberapa hari kemudian, Dika mendatangi tempat Eni bekerja. Dia melihat Eni berdiri di balik kedai kebab bernama Siteteh. Dengan memakai topi warna kuning dan kain pelindung tubuh bergambar kebab jumbo, dia melihat Eni membalik-balikkan daging yang sedang digoreng di atas wajan datar. Pesanan tampaknya sedang ramai. Dika memperhatikannya dari jauh sambil menikmati segelas es coklat bertoping.
Dia teringat kesibukan Eni selama ini demi menjadi seorang mahasiswi. Eni adalah seorang perempuan yang membantu meringankan biaya kuliah orangtua single parent dengan bekerja paruh waktu melalui aplikasi pencari kerja, MR. KRAB. Setahun lalu, Eni bekerja sebagai seorang penata salon. Dua tahun lalu, Eni bekerja di sebuah tempat kerajinan tangan, oleh-oleh, dan mainan.
Dia menatap wajah sahabatnya itu dari kejauhan. Wajah sahabatnya itu selalu ceria. Senyumnya selalu terurai menghiasi setiap gerak dan diam. Dia teringat betapa saat dia mengantarkan mamanya ke salon tempat Eni bekerja. Eni menata rambut mamanya dengan telaten dan cekatan. Banyak canda tawa antara mamanya dengan Eni saat itu.
Pun dia teringat saat Eni membuat kerajinan tangan berupa gantungan kunci. Saat itu dia pernah menemani Eni saat lembur membuat kerajinan tangan demi kejar setoran. Karena tangannya kaku dalam masalah kesenian, dia pun hanya tiduran dan melihat Eni bekerja; menyulam, menjahit, memasukkan kapas ke dalam bakal gantungan-gantungan kunci. Hadiah dari malam penuh orderan itu, dia diberi hadiah gantungan kunci hiu abu-abu.
Sekarang, dia sedang menatap gantungan kunci itu.
“Pesanan dari Mas Faisal Habibi,” panggil Eni dengan lantang untuk memanggil si pemesan. Begitu dia menerima uang dan menaruhnya di laci, ada suara seseorang yang memesan, “Mbak, pesan kebab.”
Eni yang sedang menunduk, mendongak seraya menjawab, “Pesan kebab apa, Mas?”
“Pesan Mbaknya,” jawab Dika.
Eni terkejut. “Dika!”
“Ayo kita duduk dulu, ini aku bawakan kamu minuman coklat kesukaanmu.”
Dika membalikkan tanda “close” yang berada di kaca kedai.
Eni memprotes, “Eh! Sekarang masih jam setengah sepuluh.”
“Nggak apa-apa,” jawab Dika. “Sekali-kali kamu istirahat sejenak.”
“Tapi ....”
“Tenang aja, nanti aku pesan lima. Hitung saja sebagai pembeli terakhir.”
Eni terlihat sulit memutuskan. Dika memegangi kedua pundak Eni dan mendorongnya supaya segera duduk di kursi. “Duduk aja di kursi. Minum dulu. Dari tadi lu berdiri menghadapi pembeli-pembeli yang nggak sabaran ngantre. Ingat, lu bukan kerja di kedai yang berada di Jepang di mana antrean tertib.
Eni menyedot minumannya sampai berkurang setengah. “Ahhh!”
Dika membuka topi Eni dan mengelus-elus rambutnya, “Lu kuat banget sih, En. Heran gue.”
“Ya, mau ‘gimana lagi. Lu mau gue kuliahnya terminal gara-gara telat bayar semester?”
“Gue doain En, lu lulus tepat waktu.”
“Amiiin.” Eni tersenyum. “Eh, tumben-tumbennya lu baik banget. Pakek nungguin gue dari tadi. Pasti ada sesuatu nih.”
“Iya, En, gue mau minta tolong. Tapi, nggak jadi deh.”
“Apa?”