Satu tahun kemudian ...
Dalam gemerlap lampu, jedag-jedug suara musik bertempo cepat, keramaian orang-orang yang sedang berjingkrak-jingkar, terdapat seorang Dika yang duduk sendiri di kursi dengan sebotol minuman yang kini membuatnya teler. Dika melakukan hal paling jahanam dalam lingkup keyakinannya, mabuk. Dia berada di ambang keputusasaan sebagai seorang lelaki yang patah hati dalam luka baru yang kelabu.
Sementara itu, Eni pergi ke rumah Andre, sahabat Dika. Dia bertanya, “Dre, lu tahu di mana dia sekarang?”
Satu minggu yang lalu, hubungan Dika dan Sarah kandas di tengah jalan. Sebabnya adalah karena Dika enggan bertamu ke rumah Sarah. Dia tidak tahu bahwa permintaan Sarah sebenarnya sangat penting karena itu mengenai hubungan Dika dan Sarah selanjutnya.
Ribuan orang bisa melihat Sarah. Ya ribuan orang. Sarah adalah selebgram yang kini memiliki dua juta pengikut. Sekali Sarah mengunggah foto, akan ada ribuan like dan komentar di berandanya. Sarah seperti bunga dengan ratusan ribu lebah di sekelilingnya. Dari sekian ratusan ribu lebah di sekeliling Sarah, ada satu lebah superior dengan sarang bernilai miliaran juta rupiah. Lebah itu adalah seorang pemuda, cucu dari salah satu konglomerat Jakarta, yang melamar Sarah. Sarah mencintai Dika dan itu adalah fakta. Namun, Sarah dicecar berbagai opini di sekelilingnya yang memaksanya untuk mengacuhkan fakta yang ada.
Sementara itu, Dika yang baru lulus dari kuliahnya, tentu masih membangun kariernya sendiri. Dia sedang menunggu laporan penerimaan kerja di tempat yang dilamarnya. Saat Sarah membicarakan tentang jenjang pernikahan kepadanya, dia selalu bilang untuk menunggu. Sarah bisa menungguu. Tetapi, lebah superior tidak sabaran.
“Dika, lu ke rumah dulu deh, jelasin ke orangtua gue bahwa lu serius,” kata Sarah saat mengabarkan tentang rencana silaturahmi cucu konglomerat itu.
“Gue sudah pernah ke rumah lu. Apa yang terjadi? Tidak ada sambutan. Tidak ada keramahan. Kedua orangtua elu nggak bangga akan gue. Yang bisa lu lakuin sekarang adalah bagaimana lu meyakinkan orangtua lu untuk menunggu.”
“Udah Dika, udah. Tapi, lu mesti ke rumah gue. Please!”
“Lu cinta nggak sama gue. Kalau lu cinta, lu pasti akan berusaha agar orangtua lu percaya sama gue.”
“Udah Dika, udah, itu semua udah gue lakuin.”
“Kalau udah lu lakuin, pastinya semua nggak akan kayak gini.”
“Oh, atau mungkin saja orangtua lu mata duitan.”
Sarah terdiam. Dia menatap Dika dengan nanar. Sejurus kemudian, Dika sadar bahwa kata-katanya merupakan pedang tajam yang memblerek jantung Sarah. Dika insaf. “Sarah, Sarah, maafin gue,” ucapnya saat Sarah mulai menangis.
“Ini kita belum nikah Dika, lu ‘dah berani ngomong kayak gitu. Gimana nanti kalu kita sudah berkeluarga. Bisa-bisa bukan hanya orangtua gue yang lu hina. Bisa-bisa seluruh keluarga gue yang lu hina. Gue pernah sangat-sangat mencintai lu dan kini gue sadar gue salah. Pada dasarnya, masih ada perjuangan di hati gue akan lu. Namun, gue sadar bahwa lu adalah cinta yang salah.”
“Sarah, Sarah, maaf gue terbawa emosi.”
Sarah tidak menggubris. Matanya malah semakin nanar. “Lu hina orangtua gue mata duitan? Sarah menunjuk muka Dika, “Ngaca dong lu! Lu bisa apa, hah? Lu cuma anak mama, brengsek! Lu cuma anak mama yang minta ini itu kalau nggak diturutin ngompol, iya, ‘kan? Lu cuma lelaki ambisius yang bisanya cuma ‘ngabisin harta orangtua. Lu itu kelas menengah. Lu anak kuliahan tapi lu nggak mau ngekos seperti anak kuliahan lain. Lu malah minta dibelikan sebuah rumah tanpa lu tahu bagaimana susahnya orangtua lu. Karena lu berambisi ingin jadi mahasiswa yang dikagumi banyak orang, lu nggak mau naik motor. Lu cupu! Lu nggak mau kehujanan dan kepanasan. Lu itu hanyalah anak manja brengsek yang nggak tahu diri.”
“Cukup, Sarah, cukup!”
“Nggak! Ini belum cukup. Ini belum cukup! Perlu gue tekankan bahwa orangtua gue nggak butuh uang. Lu tahu, orangtua gue hanya butuh seorang mantu yang bisa jaga putrinya. Dua puluh empat tahun gue hidup bersama orangtua gue yang berusaha jaga gue dan membesarkan gue dengan susah payah. Sebrengsek itu diri lu dan gue dengan bodohnya mencintai cowok brengsek kayak lu.”
“Cukup, Sarah, Cukup! Lu dari tadi bilang gue cowok brengsek, oke. Tetapi, siapa yang nolongin karier lu mulai dari nol?”
“Gue nggak minta! Setelah gue nikah, akan kukembaliin semuanya. Lu mau minta uang berapa?”
“Oh, jadi sekarang lu mau bayar gue. Sebelumnya, dibayar berapa lu sama cucu konglomerat itu sehingga bisa bayar gue?”
Sarah melompat ke tubuh Dika. Dika terjatuh ke lantai. Sarah berada di atasnya sekarang. Seperti anak kecil, Sarah memukuli Dika. Lelaki itu hanya bisa menangkisnya.
“Brengsek, brengsek, brengsek!” seru Sarah.
Eni datang dan memergoki peristiwa memilukan terjadi di depan matanya. Eni langsung menghaburkan diri untuk memisahkan Sarah. Dia menarik Sarah yang sedang ngamuk. Saat itu, kekalapan Sarah seperti seorang perempuan dalam The Exorcisme of Emily Rose. Sarah mengumpat banyak sekali dengan nada suara yang mengerikan.
Eni kemudian menenangkan Sarah dengan memeluknya erat-erat. Tanpa terasa, Eni juga menangis di pelukan Sarah. Setelah Sarah tenang, dia berkata pada Eni, “Eni maafin, gue, maafin gue.”
Setelah itu, Sarah mengambil tasnya. Saat hendak pergi, di ambang pintu dia berhenti. Dia berkata tanpa menoleh, “Dika, Eni, terima kasih atas waktu kalian selama ini. Kepergianku sekarang adalah kepergian untuk selamanya.”
Sarah kemudian berlalu. Eni membisu. Lalu dia mendengar suara kaca pecah di kamar mandi. Dia segera berlari ke sana untuk mencegah hal yang tidak-tidak. Dia mendapati kaca kamar mandi yang pecah. Sementara itu, tangan kanan Dika berdarah-darah.
Seharian itu, Eni merawat Dika yang rapuh dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dengan telaten, Eni mengobati tangan Dika yang terluka. Ketika dia mengelurkan serpihan kaca yang menancap di jari tengah Dika, dia tidak melihat Dika mengerang kesakitan sedikit pun. Bahkan, Dika tidak berekspresi sama sekali. Rasa sakit di rohani bisa membius segala macam sakit di jasmani.
Dan malam ini, Eni berkunjung ke rumah Andre untuk menanyakan ke mana Dika pergi sebab beberapa menit yang lalu, mamanya Dika menelpon kalau Dika tidak ada kabar.
“Sarah, gue tahu di mana Dika sekarang. Tetapi, kalau cuma dua orang saja, rasanya tidak akan cukup. Gue anterin lu ke rumah Jo sekarang,” ujar Andre.
Eni baru tahu maksud Andre untuk membawa Jo. Dia berada di sebuah diskotik. Andre menunjuk ke arah depan. Eni sekarang bisa melihat Dika sedang mabuk di sebuah diskotik. Melihat Dika seperti itu, dia menangis karena sahabatnya sedang melakukan hal terlarang dalam keyakinannya. Andre dan Jo pastinya iba melihat seorang perempuan di tengah-tengah antara mereka menangis sesegukan sambil jongkok dan dilihati banyak orang.
Andre segera mendekati Dika dengan wajah muak. Begitu pula Jo. Ketika mereka berdua akan menarik Dika untuk pulang, dalam keadaan teler, Dika menatap ke arah Jo. “Eh, lu yang pernah midioin gue, ‘kan? Mohon bersabar, ini ujian. Ha-ha-ha. Sekarang bisa nggak lu midioin gue lagi biar gue viral lagi.”
Andre mengangkat Dika agar lekas berdiri, tiba-tiba Dika bergerak untuk memukul Jo. Pukulannya meleset karena Andre segera menarik badan Dika. “Lu yang midioin gue, ‘kan? Jovi, sini, tarung sama gue! Lu mau midioin gue lagi, ‘kan? Vidioin sekarang. Viralin lagi!”
“Dika, udah, ayo pulang. Kita ingin lu pulang. Mama lu nyariin lu,” ucap Andre.
“Ndre, kenapa lu nggak bilang gini aja, kapan lu Dik, bunuh diri, seperti yang dulu lu ucapin ke gue? Hah! Lu jangan sok peduli deh.”
Andre melepaskan pengangan tangannya kepada Dika sehingga lelaki yang mabuk itu tersungkur duduk. Saat itulah Eni mendekat ke arahnya. Melihat Eni yang bercucuran airmata, Dika pun menunduk.
“Dika, ayo pulang. Nyebut, Dika, nyebut. Lu nggak sendiri. Masih ada gue, Andre, Jo, dan keluarga lu yang sayang sama lu.”
“Gue sekarang malu sama lu, Eni,” lirihnya.
Dika mencoba sekuat tenaga dan berdiri. Dia berjalan keluar meninggalkan ketiga sahabatnya. Eni, Andre, dan Jo, yang mengikutinya dari belakang. Di pelataran diskotik, Dika ambruk dan tak sadarkan diri.
***
Di rumah Jo, pagi hari. Eni berdiri di depan foto Dika, Andre, dan Jo, yang berseragam SMA. Eni sangat ingat bahwa dulu mereka adalah sahabat dekat yang hubungannya merenggang saat Jo memvidio Dika di pernikahan sang mantan. Dika terbawa perasaan dan semenjak itu sudah jarang bergaul lagi dengan Jo yang mempengaruhi persahabatan trio kampret: Dika, Andre, dan Jovi.
Pintuk kamar yang menghadap ke ruang tengah terbuka. Di situ ada Andre, Jo, dan Eni yang kini menatap Dika yang berdiri lemas di ambang pintu. Dika menatap ketiga sahabatnya dan tak berkedip. Andre, Jo, dan Eni terdiam mematung untuk menunggu dirinya berbicara. “Jo, gue mau berak. Perut gue mules banget,” ucapnya.
Selesai membersihkan diri, Dika keluar dari kamar mandi. Ketiga sahabatnya masih ada di ruang tengah. Eni berkata, “Dika, ayo sarapan dulu. Aku ‘udah pesan makanan.”
“Iya, tapi setelah makan aku ingin main PS. Christiano Ronaldo udah pindah ke Juve. Tapi aku masih Madridista,” ungkapnya.
Sedari tadi, omongan-omongan Dika yang masih melantur membuat para penghuni rumah itu merasa jenaka, namun ada keengganan untuk tertawa lepas karena masih dalam suasana duka.
Dalam keseruan bermain PS, Andre bertanya, “Dika, habis ini lu pulang ya.”
“Ya, tentu saja.”
“Dika,” sambung Jo. “Habis ini, gue ingin lu ikut kita ke Jogja. Udah lama kita ngak ke sana. Terakhir kita ke sana saat lulus SMA.”
“Ide bagus. Gue juga udah kangen ke alun-alun Jogjakarta.”
Eni menyahut. “Kalian nggak ngajak gue?”
“Tentu saja kita harus membawa mantan ketua OSIS ke sana,” jawab Andre dengan bersemangat.
Nostalgia di antara mereka pun terjadi dan momen hangat itu akan membawa mereka sampai ke Jogja.