“Oke, sudah fix ya. Aku, Andre, dan Jo di bagian kameramen dan Eni di bagian desain dan publikasi, dan lu, Laura, lu di bagian pengolah pengolah data,” tutur Dika pada Laura, seorang teman Jo yang baru bergabung di tim itu.
“Lalu, sebagai langkah paling awal, kita bareng-bareng mengunggah wallpaper ini ke IG kita masing-masing,” sambung Eni.
Laura, seorang gadis berkaca mata, berkomentar, “Sebentar, memang nama studio ini jadi ‘Mahardika’?”
“Iya,” jawab Eni dengan tegas.
“Kenapa harus nama lengkapnya Dika?’
“Maksudnya?”
Jari telunjuk Laura yang berada di meja bergerak ke kanan dan kiri saat berkata, “Iya, kenapa harus namanya Dika gitu, kenapa bukan yang lain?”
“Maksud lu nama yang lain seperti Laura Safira, atau Joko Hariadi, atau Andre Argapratama, atau nama gue sendiri, Eni Setiawati, gitu?”
Laura merengut. “Ya, bukan itu?”
“Lalu apa?”
“Mahardika itu bagi gue umum banget gitu loh. Ini studio yang fungsinya untuk melayani foto pernikahan, nah, Mahardika itu kayak nggak ada karakter yang merujuk ke arah pernikahan. Coba aja semisal evencio.pic, shineandstroywedding, atau zahranawedding, itu punya arah. ”
“Oke deh. Tapi, lu harusnya punya usulan itu kemarin-kemarin. Kita ini sudah menyepakati nama ini. Dan lu sendiri sudah sepakat. Malam ini kita rencananya launching kecil-kecilan di IG kita masing-masing. Masak mau dirubah?”
“Nggak apa-apa, daripada risiko. Nama itu penting.”
“Ya, nggak bisa dong!”
“Ya, bisalah. Daripada kita nanti ngubah di tengah perjalanan.”
“Gini, kita pakai nama Mahardika karena beberapa faktor.”
“—Faktor karena kalian udah sahabatan sama Dika udah lama dan Dika juga merupakan pemilik peralatan dan tempat studionya, ‘kan?”
“Jangan potong kalau gue ngomong!” Suara Eni meninggi.
Dika, Andre, dan Jo, sedari tadi terdiam melihat perdebatan sengit Eni dan Laura dalam forum itu. Beberapa pengunjung kafe bahkan mulai memperhatikan dua perempuan yang sedang berdebat sengit dengan tiga laki-laki yang pasrah. Jo berbisik pada Dika, “Gue masukin Laura supaya Eni bukan cewek sendiri dalam tim kita, eh malah jadinya gini.”
Dika menjawab dengan berbisik, “Sekarang bukan lagi zaman patriarki.”
Eni melanjutkan perdebatannya dengan Laura. “Faktor pertama adalah karena dari kita-kita, yang follower IG-nya terbanyak adalah Dika. Maka, IG-nya Dika akan menjadi langkah pemasaran awal. Faktor kedua adalah Dika udah dikenal sebagai fotografer berkat postingan-postingannya. Dan ketiga, dia udah punya beberapa klien yang mempercayakan pengambilan gambar kepadanya walaupun toh itu bukan pernikahan. Jadi, kita menjual nama yang tidak perlu kita ubah lagi dan kita udah sepakat.”
“Kesepakatan bisa berubah sewaktu-waktu, ‘kan? Lagi pula, yang diunggah di IG-nya Dika rata-rata adalah gambar-gambar alam, perkotaan, langit, dan lain sebagainya. Nggak ada foto cewek cantik atau dua orang yang lagi pacaran. Gue juga udah mempelajari IG-nya Dika. Jadi, trackrecord-nya juga akan dipertanyakan jika tiba-tiba menaruh bio tentang fotografi perniakahn di bawah nama akun IG-nya.”
“Dulu ada kok foto cewek, nggak cantik tapi. Foto orang lagi pacaran juga ada.”
“Mana?”
“Udah gue hapus semua. Karena itu mantan gue,” ungkap Dika, menengahi.
“Nah, itu masalahnya. Seharusnya, ada minimal satu, dua, atau tiga foto yang bertema wedding di dalamnya. Jadi, kita harus nyari dulu. Baru, kita resmikan nama itu sebagai nama studio kita. Aku nggak ngelarang kok, pakai nama Mahardika.”
“Katanya tadi ngelarang?” sahut Eni kembali.
“Siapa yang ngelarang?”
Jo melibatkan diri. “Gini aja. Pendapat Laura ada benarnya. Karena kita masih nggak punya foto klien untuk dipajang di IG-nya Dika. Bagaimana kalau kita akting.”
“Maksud lu?” tanya Dika.
“Begini, kita pura-pura menikah. Jadi, ada dua pasang mempelai yang nantinya diunggah di IG-nya Dika.”
“Gile lu Jo. Nanti kalau jadi pembicaraan orang ‘gimana? Kalau suatu saat nanti pacar gue lihat gimana?” bantah Laura.
“Tenang aja. Setelah dapat orderan pernikahan, foto itu kita hapus. Lagi pula, Laura, lu kan jomblo.”
“Gue juga jomblo loh,” terang Dika.
Andre menyadari sesuatu. “Gue juga.”
“Eh gue juga,” ujar Jo.
Dika seperti mendapatkan pencerahan. Dengan diselingi tawa, dia berkata, “Kalian sadar nggak sih kalau kita semua jomblo.”
Muda-mudi yang sedang malam mingguan di kafe itu seketika menoleh ke arah mereka karena perkataan Dika yang terlalu keras. Andre menutup muka. Jo berbisik pada Dika, “Tempe menjes! lu kalau ngomong jangan keras-keras, malu brengsek!”
Suasana di antara mereka hening sejenak.
“Pokoknya ide itu nggak jelas, nggak asik,” kata Eni selang beberapa saat.
Laura langsung membantah, “Ide Jo itu sebenarnya bisa jadi jalan keluar.”
“Terus nentuinnya gimana?”
Andre punya ide. “Kita pakai botol seperti truth or dare.”
Semuanya mengangguk kecuali Dika. Lelaki itu tiba-tiba berdiri dengan kedua tangan terangkat.
“Kenapa lu?” tanya Andre.
“Ini ceweknya cuma ada dua. Maka salah satu cowok di sini yang nggak kebagian. Terus, kalau andai di sini jumlah cewek cowoknya genap, lalu yang ambil foto siapa. Jadi, gue yang ambil foto. Pas, ‘kan?”
Andre menerangkan. “Ya udah, Ka. Jadi, peraturannya gini. Nanti botol ini akan diputar. Arah botol ini berarti menentukan pasangannya, misal ujung atau bawahnya lurus ke arah gue dan Eni, berarti itu pasangannya. Aturan selanjutnya, hanya cewek yang memutar. deal?”
Permaianan yang telah disetujui pun dimulai. Eni memutar botol di atas meja. Botol kaca itu pun berputar dan akhirnya berhenti. Pasangan pertama akhirnya keluar. Mereka adalah Laura dan Jo.
Sekarang giliran Laura yang memutar. Pasangan kedua muncul. Di antara mereka pun saling tengok satu sama lain. Pasangan yang muncul ternyata adalah Eni dan Dika. Dika menunjuk ke arah dirinya sendiri, “Gue? Eh nggak bisa, ‘kan? gue yang ambil gambar.”
“Oke, gue putar lagi,” kata Laura.
Putaran kedua hasilnya mengejutkan: sama saja. Arah botol itu tetap mengarah ke arah Eni dan Dika.
Seorang penjaga kafe pun mendatangi mereka. “Maaf, Mas, Mbak, ini kami mau tutup karena ada peristiwa mendesak. Mohon segera pulang ya.”
“Iya, Mas,” jawab Laura. Dia melihat ke arah Dika. “Nggak apa-apa deh, Dika. Nanti yang ambil gambar Andre.”
“Sepakat!”