Di Sini ada Mantan

Faiz el Faza
Chapter #5

Tujuh Bola Naga

Keesokan harinya, dia pergi ke tempat Eni bekerja dengan niatan memberitahukan kabar bahagia yang terjadi antara dia dengan Amelia. Namun, dia melihat bukan Eni yang berada di balik wajan penggorengan, melainkan seorang karyawan lain. “Iya, mau pesan apa, Mas?” tanya perempuan itu.

“Oh, nggak, Mbak. Cuma mau bertemu temenku, Eni.” Jawabnya. “Bukannya harusnya sore ini Eni yang jaga ya?”

“Dia memintaku untuk menggantikannya sore ini.”

“Tumben, memang dia ke mana?”

“Katanya sih mau menghadiri acara nikahan.”

Dika terkejut. “Acara nikahan?”

“Iya.”

Dia beranjak menjauh dari kedai. Lalu, dia menghubungi Jo untuk bertanya tentan Eni yang menghadiri pernikahan siapa. “Eni lagi menghadiri pernikahan wakil OSIS kita dulu, Fahmi. Lu diundang nggak?” tutur Jo di telepon.

“Enggak.”

“Aku sama Andre juga enggak.”

Suara Dika meninggi. “Dari kita berempat hanya Eni seorang yang diundang?”

“Iya.”

“Wah, brengsek banget tuh anak!”

“Sabar, Bro.”

“Ya kasihanlah Eni. Dia mantannya Fahmi. Gue merasa seolah-olah dia ingin Eni melihat bahagianya dia sekarang. Jo, gue coba WA dan nelpon Eni nggak bisa.”

“Gue juga enggak. Tadi ada klien yang nanyain Eni soalnya. Tapi, Eni-nya nggak bales. HP-nya kayaknya dimatiin deh.”

“Ya, udah Jo. Gue nyari Eni dulu.”

Perasaan Dika terhadap Eni pun tak keruan. Dalam perjalanan, dia berkata kesal dalam hati, “Eni, lu bego banget sih. Dia udah nyakitin lo. Ninggalin lo gitu aja. Bahkan sebenarnya lo lebih parah dari gue. Eh, sekarang lu malah menghadiri pernikahannya. ‘Gimana sih lu, En?”

Dika telah sampai di depan rumah Fahmi. Ada pernikahan di halaman rumah. Sebuah terop berdiri di depan rumah Fahmi. Dia telah membuka pintu dan berniat untuk mencari Eni di dalam. Namun, dia mengurungkan niat dan kembali menutup pintu mobilnya. Dia memilih menunggu.

Dia pun teringat saat masa-masa dulu, masa kelulusan SMA, tepatnya setelah pengumuman UN. Saat itu dia mencari Eni untuk memberikan selamat dan hadiah. Dalam keramaian itu, dia mencari Eni ke sana ke mari namun tidak ada. Ketika berada di belakang sekolah, dia melihat Eni sedang bersama Fahmi yang dia ketahui merupakan kekasihnya.

Sebenarnya, dia enggan mengintip, namun gelagat mereka berdua membuatnya ingin tahu.

“Eni, lu cinta sama gue, ‘kan?” tanya Fahmi.

“Kenapa lu tanya seperti itu, lu kayak nggak yakin?”

“Kalau lu cinta sama gue, ayo tidur bareng.”

“Maksudnya?”

“Lu, jangan pura-pura nggak tahu.”

“Gue emang nggak tahu maksud lu apa?”

Fahmi tiba-tiba hendak mencium Eni. Eni menolak dengan mendorongnya. Fahmi yang marah kemudian menampar Eni. Mata Dika seketika membelakak berapi-api. Dia segera keluar dari persembunyiaannya dan berlari ke arah Fahmi. Dengan melompat, dia langsung menendang tubuh Fahmi sampai terperosok ke lantai. Tidak cukup sampai di situ. Dia kemudian menghujami Fahmi dengan bogeman-bogeman mentah. “Lu, kalau berani ngancam-ngancam Eni lagi, gue bunuh lo!” serunya dengan nanar.

Teriakan Dika yang sangar terdengar membuat beberapa orang segera menuju ke lokasi. Lalu datanglah puluhan lainnya termasuk Andre dan Jo yang segera menarik Dika yang kesetanan.

“Gue bunuh lo!” teriak Dika saat tubuhnya sudah ditarik menjauh oleh Andre dan Jo. Karena Dika masih saja berusaha mendekat ke arah Fahmi, Andre dan Jo menariknya lagi hingga Dika jatuh ke lantai dan menindih tasnya sendiri yang berisi hadiah untuk sahabatnya, Eni.

Dika dan Fahmi kemudian dipanggil ke ruang BK. Sang guru BK, Pak Nasrul, jengkel dan kecewa kepada mereka. “Kalian ini ngapain? Hah!” Dia menggebrak meja. “Dika, kamu ini siswa berprestasi, rangking terus dari kelas sepuluh. Fahmi, kamu ini mantan wakil OSIS. Untuk apa kalian berkelahi. Dika, lihat wajah Fahmi babak belur kayak gini. Kamu mau tanggung jawab kalau orangtuanya menggugat!”

“Dia emang pantas, Pak!” tanggap Dika.

“Sudah-sudah, kalian akan saya kasih surat pernyataan. Sebagai jaminan, kalau kalian kudengar berkalahi lagi, ijazah kalian yang sebentar lagi turun akan aku segel. Mengerti! 

Saat pulang sekolah, Eni menghampiri Dika yang berada di warung bersama dengan Jo dan Andre. “Jo, Andre, gue mau ngomong sama Dika, bentar aja. Kalian pergi dulu ya,” pintanya.

Dika berwajah suntuk saat melihat Eni. “Dika, lu nggak kenapa-kenapa, ‘kan?” tanya Eni.

“Gue nggak kenapa-kenapa, tapi lu, En. Untuk apa sih lu jadian sama cowok brengsek itu.”

Eni terdiam sejenak. “Maafin gue, Dika.”

“Lu harus putus dari dia. Gue nggak mau melihat sahabat gue disakiti. Apalagi lu cewek.”

“Sebenarnya, dia itu cemburu Dika. Jadinya salah paham. Aslinya gini ....”

“—Stop! Lu masih sempat-sempatnya ngebelain dia.”

“Dengerin dulu.”

“Kalau lu masih jadian sama dia, lu nggak usah sahabatan lagi sama gue.”

“Iya-iya maaf Dika. Aku juga udah berencana putus kok.” Karena Dika masih saja marah, Eni segera menelpon Fahmi dan memintanya putus.

Saat itu, wajah Dika mulai kelihatan tenang. “Dika, maafin gue ya,” lirih Eni.

Dika mengangguk. Eni teringat saat Dika terjatuh. “Oh iya, sepertinya ada yang pecah di dalam tas lu, tadi pas lu jatuh,” katanya.

Dika sadar dan kebingungan. Dia segera mengecek tasnya. Saat itu, dia melihat sebuah kado yang remuk.

“Kado buat siapa itu?” tanya Eni. “Buat Dinda gebetan lu?”

Lihat selengkapnya