Sesuai janji, Eni di jemput pagi ini. Mereka menaiki mobil menuju studio. Dalam perjalanan menuju studio, mereka terjebak macet. Eni bergumam, “Jam pagi itu jam sibuk. Lebih enak kalau pakai motor.”
“Iya-iya, kapan-kapan gue jemput lu pakek motor,” balas Dika.
“Emang bisa?”
“Ya bisalah. Kenapa emang?”
Mata Eni melirik ke kanan atas. “Kayaknya lu nggak pernah deh bonceng gue.”
“Eh, emang iya? Oh iya-iya gue baru sadar.” Dika tertawa. Eni pun demikian.
Kemacetan kini telah mereda. “Habis ini kita beli mie instan cup, snack, sama kopi di minimarket,” kata Dika.
“Makanan yang lu bawa tadi malam udah habis?”
“Sudah. Tadi malem gue nelpon Andre dan Jo untuk makan di rumah. Sebenarnya ada sisa, tapi Andre membungkusnya pulang. Katanya, itu masakan paling enak.”
“Gue kira lu membawanya ke rumah lu buat Mama Papa lu.”
“Mama sama Papa itu orang sibuk. Mulai dari kecil, mereka jarang ada di rumah. Pulang-pulang saat gue sudah terlelap. Lagian gue ada perlu sama Andre dan Jo untuk membicarakan perihal klien kita selanjutnya.”
“Oh, jadi yang ingin lu omongin ke gue tadi malem itu tentang ini?”
“Oh bukan.”
“Terus apa?”
“Gue jadian sama Amelia.”
“Buset, lu jadian sama Amelia?” Eni terkejut sebentar, lalu meringis. “Cieee!”
Dika merasa tergelitik sehingga tersenyum. “Iya, sebenarnya pengen gue omongin kemarin, tapi suasana kurang pas. Lu habis ditinggal mantan lu nikah.”
“Emang apa hubungannya sama gue, emang lu ada hubungan sama gue?”
“Ya nggaklah. Hanya saja, sahabat gue ini habis kena musibah, makanya gue ngerasa kurang pas.”
“Yaelah, masak ditinggal gitu aja gue ngerasa kena musibah. Cemen banget gue kalau nganggapnya sebagai musibah.”
“Bukan itu En, ini sebagai bentuk simpati.”
Eni tertawa mendengar Dika mengatakan kata “simpati”. Dika pun cemberut seraya berkata, “Terserah lu deh.”
Mereka tiba di sebuah minimarket. Di dalam minimarket, Eni membantu Dika membeli keperluan untuk rapat pagi ini. Tidak hanya itu, Dika juga membeli keperluan pribadi. “Eni, lu cari snack-nya, gue cari sampho dulu,” kata Dika.
“Oke.”
Selesai mengisi kerajan belanjaan dengan beberapa snack, Eni pergi ke deret rak perawatan badan. Namun, dia tidak melihat Dika ada di sana. Dia pun mencari ke rak-rak berikutnya, tetapi tidak ada juga. Dia lalu mencarinya ke seluruh area minimarket, lagi-lagi tidak ditemukan ada Dika. Dia bingung ini anak lagi ke mana.
Dia pun membayar dan beranjak pergi menuju parkiran. Saat menengok ke jendela mobil, dia melihat Dika meringkuk di kursi sopir seolah-olah dikerjar hantu. Dia mengetuk kaca jendela mobil dengan keras. Sebuah isyarat tangan menyuruhnya masuk.
“Lu ngapain sih?” tanya Eni sambil menaruh kresek belanjaan di belakangnya.
“Di sini ada mantan,” jawab Dika.
“Loh, masak, di mana?” Eni mengingat-ingat kemudian. Akhirnya, dia teringat jika ternyata perempuan yang berdiri dengan seorang laki-laki di dekat rak perawatan badan itu tadi adalah Sarah dan suami. Benar saja. Sekarang, dia melihat Sarah keluar dari minimarket ke parkiran dan pergi. Sementara itu, Dika masih meringkuk menyembunyikan diri. “Udah-udah, dia udah pergi,” katanya kepada Dika.
“Beneran?”
“Nggak, dia sekarang lagi melototin lu di jendela.”
“Waduh!”
“Ya nggaklah, dia udah pergi. Barusan naik mobil. Lu kalau nggak percaya ya udah gini aja terus sampai siang.”
Mobil yang ditumpangi Dika dan Eni kini telah sampai di halaman rumah. Saat mereka turun, Jo dan Laura baru tiba. Dika dan Eni terdiam menatap mereka yang datang ke studio dengan bergoncengan.
“Kenapa lu?” tanya Jo kepada Dika.
“Jo, lu sama Laura goncengan?” tanya Dika.
“Mata lu nggak lihat, kenapa tanya lagi?”
“Sejak kapan kalian berai bergoncengan?”
“Sejak kita jadian.”
Eni kaget. “Kalian jadian?”
Laura mengangguk malu-malu. “Nggak nyangka gue. Padahal kalian awalnya kayak nggak akur, saat pernikahan pura-pura aja kalian tolak-tolakan,” kata Eni.
“Justru karena pernikahan pura-pura itu kita jadi dekat,” ujar Laura.
Dika melengos masuk sambil berkata, “Oalah, ‘gitu bilangnya reputasi. Reputasi apaan. Reputasi ‘pala lu peang!”
Jo segera mengejar Dika untuk memiting lehernya. “Lu jangan macem-macem sama Laura ya, lu mau gue pukul!” Candanya.
Beberapa menit kemudian, di ruang tamu telah berkumpul tim Mahardika Wedding and Story. Dika mulai menerangkan kepada mereka bahwa ada tender besar dari seorang klien yang merupakan anak dai kondang dengan seorang putri konglomerat dari Lombok. “Ini merupakan The Royal Wedding, kita punya job yang top markotop. Kita usahakan semaksimal mungkin untuk menyempurnakannya,” tutup Dika.
Setelah Dika meneragkan tentang konsep pernikahan yang diinginkan oleh klien, Dika berkata, “Untuk video dokumentasi pernikahannya, kita mencoba berkreasi. Lagunya tidak mengambil dari lagu-lagu yang sudah ada, tetapi kita mengovernya. Kita bisa menggunakan lagu dari Payung Teduh, Akad, atau lagu berjudul Bukti.”
“Yang meng-kover pacar lu?” tebak Andre.
“Ya, tepat sekali.”
Laura kaget. “Apa, lu dan Amelia udah jadian?”
“Iya, itu untuk mengurangi status jomblo di antara kita.”
Andre kesal. Dia menunjuk muka Dika sekarang. “Wah, lu pantes diperkaran. Itu masuk kategori ujaran kebencian.”
***
Dika mengunjungi tempat Amelia kuliah. Kekasihnya itu kini menempuh S2 Bahasa Inggris di salah satu universitas negeri di Jakarta. Dika duduk-duduk di dekat gedung Fakultas Humaniora. “Gue empat tahun di sini, dan nggak pernah kenal lu. Mungkin ini cara Sang Pencipta mengenalkan kita untuk dipersatukan,” batinnya.
Dia kemudian melihat sebuah mobil berhenti cukup jauh darinya. Namun, dia masih bisa melihat jelas akan siapa yang keluar dari mobil itu. Itu adalah Amelia. Dia juga melihat jelas bahwa Amelia keluar bersama seorang lelaki yang sekarang berusaha dia ingat-ingat itu siapa. Dia pun ingat kalau itu adalah seorang pianis yang menemani Amelia perform dalam acara pernikahan Ghofur dan Citra. Berusaha ditepis jauh-jauh, perasaan tidak enak itu tetap mengakar juga di dalam dada, lalu memancar keluar melalui air mukanya hingga menjadi setengah keruh.
Amelia beranjak pergi meninggalkan sang pianis. Dia berjalan ke arah fakultasnya. Dia melihat Dika duduk di kursi sendiri. Langkahnya pun semakin cepat. Perasaan rindunya dimunculkan melalui senyum dari bibir tipisnya yang disaput lipstik merah muda. “Sayang, lu kok nggak bilang kalau mau jemput gue?” tanyanya.
“Gue mau bikin surprise,” jawab Dika.
“So sweet banget. Eh bentar ya, gue mau ambil dokumen gue dulu di dalam.”
“Iya silakan.”
Tak berselang lama menunggu, Dika mendapati Amelia sudah datang kembali dengan wajah tergesa-gesa. “Lu, ngapain lari-lari?” tanyanya.
Amelia menjawab sambil memasukkan map plastik yang berisi tumpukan kertas berbandel, “Ya, gue nggak mau buat lu nunggu terlalu lama.”
Mengetahui betapa perhatiannya Amelia terhadapnya, perasaan tak enak dalam diri Dika mengabur. “Ya ampun, sebegitunya lu ini,” ungkapnya.
Kini, dia melihat tatapan senyum indah di bawah hidung minimalis. “Mel, gue mau ngomong sama lu. Tapi, kita cari tempat dulu. Gue juga lapar. Eh, lu udah makan siang belum? Kalau belum, sekalian aja sambil makan siang.”
“Belum kok.”
“Pas banget.”
Dalam perjalanan, dengan nada suara yang nyaman, Dika bertanya pada Amelia, “Lu tadi masukin dokumen apa?”
Amelia tertawa malu-malu. “Gue editor skripsi, Dika, lumayan buat cuan.”
“Lu itu bagi waktunya gimana? Kuliah, ngeditin skripsi, nyanyi.”
“Kalau kuliah sih karena gue mulai dari S1 murni beasiswa, sayang kalau nggak diambil. Terus kalau ngeditin skripsi, ya itu mudah sih nggak nguras tenaga. Kalau nyanyi itu passion.”