Malam ini, Amelia menggelar konser peluncuran album “Di Sini ada Mantan” di depan ratusan penonton yang hadir di sebuah balai. Konser tertutup ini ditayangkan secara langsung di YouTube. Acara dibuka dengan sarahsehan, mengenai proses kreatif terciptanya mini album ini.
Dika duduk di antara 200 orang penonton yang hadir di balai tersebut. Dia melihat lampu sorot yang menyorot ke arah Amelia dan seorang host. Disamping dia duduk, ada Eni yang hadir di sana untuk menemani.
Setelah host membuka acara dan memperkenalkan sosok Amelia, host yang dalam kesehariannya berprofesi sebagai penyiar radio dan Podcast itu bertanya, “Amelia, bagaimanakah proses kreatif kamu dalam penulisan dan pembuatan album ini?”
“Album ini sebenarnya lebih tampak seperti senandika puisi pada awalnya, tentang seseorang yang kandas dalam percintaan, lalu memilih bangkit dan percaya. Jadi, untuk liriknya, saya yang membuat. Sementara untuk arransement-nya, yang menggarap adalah Mas Revan. Tapi, saya juga ikut membantu, sekalian buat belajar juga. Masih banyak yang harus saya pelajari sebagai musisi pemula.”
“Oke beri tepuk tangan semuanya!”
Suara tepuk tangan kemudian menggema di ruangan. “Amelia, kamu tadi ngucapkan bahwasannya album ini tentang seseorang yang kandas dalam percintaan. Lalu, apakah itu diilhami dari kisah nyata atau hanya dari imajinasi semata nih?” tanya host.
Amelia tersenyum sejenak. Ketika dia mendekatkan mic ke mulut, dia sempat tersenyum ke arah ke penonton. Meski tidak tahu di mana Dika berada, dia ingin menyapa walau hanya dari seuntai senyum. Dia menjawab, “Iya, ini dari kisah nyata.”
“Kisah siapa kalau boleh tahu, apa kisah kamu sendiri?”
“Em, ada deh pokoknya. Yang pasti dari kisah seseorang itu, aku merefleksikannya dalam kenyataan kita bahwa di sekitar kita pasti ada seseorang yang mengalami kandas, patah hati, harapan yang sirna, dan lain sebagainya, tetapi dia memilih bangkit dan percaya.”
Dalam pertanyaan terakhir, si host bertanya, “Amelia, apakah ada pesan khusus yang ingin lu sampaikan kepada penonton, atau harapan tentang album ini?”
“Iya, tentu. Pertama, yang pasti semoga album saya ini bisa menjadi batu loncatanku untuk terus berkarya di negeri kita tercinta. Kedua, untuk seseorang yang menemaniku selama ini, seseorang yang menemani suka dan dukaku selama ini, seseorang yang mencintaiku sepenuh hati, aku sampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya. Tanpa dia, mungkin aku tidak seperti sekarang ini. From deep in my heart, I love you so much.”
Tepuk tangan menggema kembali setelah sesi sarasehan itu selesai. Dengan suara penuh semangat, si host kemudian mempersilakan Amelia untuk bernyanyi. Dia memakai baju bergaya kasual. Paduan hitam dan abu-abu yang seolah kini menjadi ciri khasnya.
Selama Amelia bernyayi, para penonton terhibur. Wajah mereka kelihatan santai dan menikmati alunan lagu yang syahdu, ringan, dan teduh. Apalagi, suara Amelia sangat indah. Dia adalah seorang penyanyi bertipikal falseto. Suaranya sangat khas dan nyaman di telinga.
Ketika penonton mulai mengangkat tangannya untuk melambai-lambai mengikuti tangan Amelia, Eni ikut-ikutan. Namun, lambaian tangannya yang terangkat seperti yang lain menjadi gerak tak beraturan dan berangsur memelan. Dia melihat wajah Dika yang tak bersemangat. Dia berpikir bahwa seharusnya Dika ceria malam ini. Seharusnya, Dika bersuka cita dan menikmati. Tetapi, dia tidak mendapati itu semua.
Apalagi, sekarang sampai pada momen di mana Amelia bernyanyi dengan diiringi seorang pianis tampan berkaca mata. Amelia duduk di kursi dekat piano besar. Ini adalah lagu yang sangat akrab dalam kehidupan Dika, sebuah lagu berjudul Di Sini ada Mantan yang menjadi lagu penutup malam ini.
“Lu diem aja dari tadi?” tanya Eni kepada Dika.
Dika tersenyum. “Gue terbawa suasana lagu, En.”
Dika memang tersenyum kepadanya, tetapi dia tahu bahwa itu bukanlah senyum yang datang dari hati. Eni dan Dika kembali melihat ke depan untuk melihat penampilan Amelia. Saat ini, Dika berkata dalam hati, “Gue jadi teringat perkataan Eni. Dulu, dia berkata bahwa cowok itu kalau sudah fokus terhadap sesuatu, konsentrasinya akan meningkat penuh dan kehilangan separuh kemampuan indra pendengaran. Mungkin, sekarang gue lagi mengalami ini. Fokus gue sekarang hanya tertuju kepada Amelia seorang. Gue nggak ingin kehilangan dia. Gue ingin terus bersamanya. Karena itulah, gue benar-benar tidak bisa menikmati jalinan musik dan suara yang ada. Gue seperti menuli sekarang. Gue merasa seolah-olah gue berada di ruang kedap suara.”
Saat konser selesai, dimulailah sesi foto. Beberapa fans Amelia kini berdatangan untuk foto bersama. Saat keramaian mulai merada, Amelia melihat Dika berdiri di depannya. Dika melihat Amelia dengan mata berkaca-kaca. Setelah konser ini selesai, Amelia akan pergi untuk sementara waktu, pergi untuk mengejar mimpi menjadi penyanyi dengan tour di 18 kota.
Pemandangan mengejutkan kemudian terjadi. Dika mendatangi Amelia dan memeluknya. Amelia kaget bukan main. Dia merasa canggung karena dipeluk di depan umum. Sadar berada di hadapan banyak todongan kamera yang tiba-tiba terangkat, Amelia berusaha untuk tersenyum. Eni yang juga terkejut dengan perilaku Dika tahu bahwa senyum Amelia adalah senyum palsu, senyum terpaksa demi citra baik seorang penyanyi yang menapaki karier emasnya. Walaupun begitu, dia tahu Amelia tidak salah. Dia sangat sadar bahwa sikap Dika amat kekanak-kanakan.
Beberapa saat kemudian, Dika dan Amelia berada di belakang panggung. Mereka berdua saja. Tidak ada siapapun di sana. Tidak akan ada orang yang membicarakannya. Saat ini, wajah Amelia terlihat kecewa. “Dika, lu ngapain sih tadi?” tanyanya.
“Gue ingin menunjukkan ke orang-orang kalau lu milik gue.”
“Astaga, Dika, tapi nggak harus seperti itu. Jujur gue kecewa banget. Lu kenapa sih? Tanpa lu melakukan itu, tanpa semua orang tahu, gue itu hanya milik lu. Cinta yang sesungguhnya itu bukan cinta yang diumbar, tetapi yang dirahasiakan dan dijaga. Kalau yang lu tunjukin barusan, itu bukan cinta, itu ambisi. Lu kenapa sih sampai segitunya. Emang iya gue berpaling dari lu, nggak, ‘kan? Lu takut apa sih?”
“Lu nggak ada hubungan apa-apa, ‘kan, sama pianis lu?”
“Astaga, Dika. Ya nggaklah!” Suara Amelia meninggi. “Kenapa sih lu? gue nggak ada apa-apa sama Revan. Dia cuma pianis gue.”
“Setelah ini, lu akan pergi bersamanya, lu akan jauh dari jangkauan gue.”
“Terus kalau gue jauh dari jangkauan lu kenapa? Bukankah seharusnya hati yang mampu menghubungkan seseorang di mana pun dan bagaimana pun keadaaannya? Lu kayak nggak percaya gue banget. Lama-lama gue jenuh.”
Dika tampak berpikir. Dia berada dalam keputusan berat untuk mengatakan yang kini terpikir dalam benaknya. Akhirnya, dia memberanikan diri. “Mel, Revan habis ke rumah lu, ‘kan?” ungkapnya.
Dika mengulangi pertanyaannya, “Revan ke rumah lu, kan, bersama mamanya?”
Kehehingan tercipta di antara keduanya. Amelia kini seolah terpojok. Dia menunduk dan sesekali menoleh ke kiri. Tetapi, dia menyadari sesuatu yang janggal di sini. “Kalau iya, tapi bagaimana lu tahu?”
“Lu nggak perlu tahu bagaimana gue tahu. Tetapi, bisa lu jelasin kenapa dia ke rumah lu dengan membawa keluarganya.”
“Nggak-nggak, gue ingin tahu dulu bagaimana lu bisa tahu.”
“Itu bukan jawaban.”
“Gue harus tahu dari mana. Jangan sampai gue yang selama ini selalu berbaik sangka ke lu, ternyata penyangkaan gue tentang lu selama ini salah. Seandainya memang iya, lu tahu dari mana, lu punya bukti apa?”
Saat itulah, Dika menjawab, “Gue ngehack WA lu.”
“APAAA!!! Lu ngehack WA gue? Astaga, Dika!”
“Gue punya buktinya. Sekarang lu mau jawab apa?”
Amelia benar-benar meradang sekarang. “Oke Dika, oke! Lu mau tahu kenapa mamanya Revan ke rumah gue. Dia itu guru SMA gue. Dia yang bimbing gue SBMPTN sampai mendapatkan beasiswa. Tidak hanya itu, dia juga yang akhirnya membimbing gue sehingga dapat beasiswa S2. Oleh karena itu, mamanya juga kenal keluarga gue. Sekarang, puas lu, puas!”
Dika terdiam sekarang. Dia mendengar napas Amelia ngos-ngosan.