“Eni, kami pulang dulu, ya,” ucap Laura.
“Iya, terima kasih, Laura, Jo, Andre, sudah mengikuti rangkaian tahlil Bundaku mulai hari pertama sampai hari terakhir ini.”
Laura, Jo, dan Andre adalah tamu terakhir yang pulang dalam acara tahlil malam terakhir. Setelah mereka pulang, dia membersihkan ruang tamu yang telah digunakan untuk tahlilan. Ketika dia sedang mengambili piring, seorang saudaranya memanggilnya. “Dik Eni, ada seseorang di luar.”
“Siapa?”
“Nggak tahu siapa. Temui dulu atuh!”
“Iya.”
Dia keluar dari dalam rumahnya. Ketika dia memakai sandal, dia melihat seorang lelaki berdiri di halaman rumahnya. Dia bingung untuk berekspresi apa melihat Dika yang muncul untuk pertama kali setelah sekian duka.
Dia mencoba tersenyum, “Dika, lu apa kabar?”
Dika mengalihkan perhatian. “Maaf, Eni, gue baru datang sekarang.”
“Iya, ayo masuk dulu.”
“Eni, aku mau menjelaskan dahulu.”
“Sudahlah, ayo masuk dulu.”
Dika mengikuti Eni masuk. Dia menunggu Eni yang pergi ke ruang tengah. Beberapa saat kemudian, Eni keluar. “Dika, maaf rupanya makanannya sudah habis,” ujarnya.
“Oh, tidak apa-apa Eni. Lagian, aku juga nggak ikut tahlilan.”
“Oh ....”
Kemudian, mereka tidak saling berbicara untuk waktu yang lama. Dika tiba-tiba merasa tak enak karena melihat wajah Eni yang murung dan mata yang masih sembab. Eni sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan. Kedukaan mahaberat membuatnya berpikir apakah masih sempat dia menaruh kecewa kepada Dika.
“Eni,” panggil Dika.
“Iya.”
Setelah itu, keduanya tidak saling bicara lagi. Saudara-saudara Eni kemudian pamit pulang. Dia meninggalkan Dika yang berada di dalam untuk mengantarkan saudara-saudaranya yang telah membantunya selama sepekan ini.
“Dika, ayo kita keluar,” ucap Eni saat masuk kembali. “Sudah seminggu gue di rumah terus. Gue ingin cari suasana luar.”
“Kita keluar, Eni?”
“Iya.”
“Ke mana?”
“Enggak tahu, pokoknya ajak gue keluar.”
***
Dika dan Eni duduk-duduk di kafe kecil yang berada di tepi jalan. Suasananya sepi. Lampunya remang-remang. Pun cukup hening dari kebisingan kendaraan. Eni sedari tadi melamun di samping minuman es coklat yang hanya diteguknya sedikit. Dia menatap ke depan. Namun, pandangan matanya kosong. Dika sendiri juga demikian. Dia lebih banyak menunduk. Sesekali, dia menoleh ke kiri untuk melihat Eni di sampingnya.
Saat menengok ke kiri untuk kesekian kali, dia melihat airmata yang keluar dari mata kiri Eni, disusul dari mata kanannya, lalu deras berjatuhan. Tiba-tiba, Eni sesegukan. Setelah itu, dia menangis histeris memanggil-manggil bundanya.
Dika merangkul Eni untuk menaruh kepalanya di dadanya. Di sana, Eni melepaskan tangisnya dengan sangat. “Bunda, Bunda, kenapa kaupergi secepat ini, Bunda. Dika, apa salah gue sama Tuhan? Gue salama ini dosa apa? Mengapa Tuhan tega ambil nyawa Bunda dari gue. Dosa apa gue, Dika. Salah apa, gue?” Keluh Eni.
“Tabah, Eni, tabah.”
“Gue sudah berusaha tabah, tapi rasanya sakit sekali. Gue udah berusaha ikhlas, tapi hati gue susah sekali melepaskan, susah sekali buat merelakan satu-satunya orang yang paling menyanyi gue. Dia yang selama ini merawat gue sejak dari kecil, ketika Bapak gue tiba-tiba pergi ninggalin gue dan keluarga.”
“Sabar, Eni, sabar.”
“Padahal, selama ini gue juga sudah melakukan yang terbaik. Gue dan Mama sudah melakukan yang terbaik. Gue sudah berusaha mati-matian selama hidup gue. Biaya sekolah gue, biaya makan gue, biaya ini itu, semua sudah gue dan Mama usahain sebaik mungkin. Tapi, kenapa, kenapa Bunda gue dipanggil?”
“Berarti Tuhan sayang sama Bunda lu, En.”
“Kalau Tuhan sayang sama Bunda gue, tunggulah dulu. Gue ingin Mama punya kebahagian. Minimal, dia sudah bisa mengantarkan gue nikah, punya cucu. Kenapa harus Mama gue yang mulai dari mudanya hidup susah, lalu harus hidup sebagai single parent. Dia tidak merasakan apa yang orangtua lain rasakan; anaknya menikah, punya cucu, gendong cucu. Gue iri sama orang-orang, sama mereka-mereka yang hidupnya enak banget. Meskipun dalam keadaan nggak punya, yang penting nggak ada konflik keluarga, saling menyayangi, nggak ada konflik, nggak ada sengketa. Lah, keluarga gue? Gue akhir-akhir ini mikir, Dika. Kenapa harus gue yang menerima ini semua, kenapa harus gue? Kenapa bukan mereka aja yang hidupnya normal, yang seandainya ditinggal wafat salah satu orangtuanya, masih ada yang dibuat bersandar. Sedangkan gue, mau bersandar ke siapa coba. Bapak gue aja sampai tujuh harian Mama gue nggak pernah muncul. Gue udah nggak kuat lagi rasanya.”
“Sabar, En, sabar. Gue sekarang juga lagi berduka kok, En.”
Eni melepaskan diri dari rangkulan Dika. Dia mulai mengusap airmatanya.
Dika melanjutkan perkataannya. “Gue habis putus dari Amelia, En, seseorang yang selama ini gue perjuangin. Itulah yang menyebabkan gue tidak datang ke acara pemakaman Bunda lu. Setelah itu, gue dapat undangan Amelia. Semuanya begitu cepat terjadi. Lu sama kayak gue, En. Kita sedang dalam masa-masa bersedih. Eni, setelah gue dapat undangan dari Amelia, gue langsung drop, gue down, gue langsung nggak punya tenaga. Itu yang membuat gue baru bisa ke rumah lu malam ini. Ini adalah cobaan terberat gue, En. Gue sekarang lagi masa pemulihan patah hati gue. Gue sekarang lagi masa pemulihan untuk melewati duka ini.”
Nada suara Eni yang sebelumnya lirih dan dalam, tiba-tiba menjadi datar. “Lu, berduka?” tanya Eni.
“Iya, En, sekarang gue lagi mencoba melewati masa-masa ini. Apalagi, setelah gue menerima undangan dari mantan, rasanya sedih banget, En, seandainya lu ngerasain apa yang gue rasain. Gue periksa ke dokter, tapi nggak ada penyakitnya. Sampai sebegitunya rasa sakit yang gue alami.”
Eni mengusap airmatanya lebih sempurna sampai tak tersisa bekas aliran airmatanya. “Kok gue merasa bingung ya sekarang?” ungkapnya.
“Lu, bingung kenapa?”
“Gue bingung sama lu.”
“Maksudnya?”
“Lu tadi bilang andai gue ngerasain apa yang lu rasain, tapi bagaimana caranya coba, sedangkan kedua orangtua lu masih hidup, utuh, kehidupan lu dari kecil juga normal.”
“Eni, lu kok gitu jawabannya.”
“Iya, orangtua lu masih hidup, ‘kan?”
“Maksud lu apa sih, En, lu kok bisa ngomong gitu. Lu, kayak nggak punya hati tahu nggak.”
Suara Eni kini bergemuruh. “Apa! Lu bilang gue nggak punya hati. Bukan gue yang nggak punya hati, tapi lu yang punya hati!”
Dika berdiri. “Maksud lu apa sih, En?”