Keesokan harinya, Dika duduk termenung sendiri di kamarnya. Mama mendatanginya. “Dika, setelah kamu bercerita tentang apa yang terjadi, setelah semua yang kamu lakukan, sekarang kamu mau bagaimana?” tanya Mama.
Dia menggeleng. “Aku tidak tahu, Ma. Tadinya aku ingin ke Singapura untuk meminta maaf serta membawanya pulang. Tapi, ada perkataan Nenek Sulis yang membuat kepikiran terus. Katanya, permintaan maafku tidak cukup. Lantas, menurut Mama kenapa permintaan maafku tidak akan cukup?”
“Jika kamu sekarang punya gelas, lalu gelas itu kau pecahkan, apakah cukup hanya meminta maaf kepada gelas itu? jika kau meminta maaf, apakah gelasnya bisa kembali seperti semula?”
Dika menggeleng. “Tentu saja tidak. Lalu aku harus apa, Ma? Aku akan meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Eni apapun yang terjadi, mau dia memaafkan aku atau tidak, yang penting aku meminta maaf.”
“Itu berarti, kamu sudah tahu bahwa permintaan maafmu tidak akan diterimanya.”
“Jadi, aku harus benar-benar membuatnya menerima permintaan maafku?”
“Itu tandanya kamu terlalu ambisius. Memaksa dia untuk menerima permintaan maafmu malah membawa masalah baru. Keinginan yang terlalu kaupegang erat, justru akan membuatnya menjadi remuk. Bukankah itu yang menyebabkan Amelia pergi?”
“Lantas, aku harus apa, Ma?”
“Lakukan apa yang harus kamu lakukan? Selama ini kamu belum melakukan apa-apa.”
“Tapi, aku sudah melakukan banyak hal, Ma.”
“Jika aku bertanya apakah kamu akan suka jika seandainya Eni tidak memaafkanmu? Kamu akan menjawab tidak, ‘kan? Aku tahu kamu telah melakukan banyak hal selama ini, tapi kamu hanya melakukan hal-hal yang kamu suka saja. Dika, kamu sudah pergi ke pusara ibunya Eni?”
“Belum, Ma.”
“Berarti kamu belum melakukan banyak hal.”
Setelah itu, Dika pergi ke rumah Nenek Sulis. Di sana, dia akan meminta ditunjukkan letak pusara ibunda Eni. Saat berada di rumah itu, dia melihat kardus yang kemarin diberikannya masih berada di ruang tengah. “Nenek, ini ditaruh di sini? Jikalau boleh, biar aku bawakan saja ke kamarnya,” tawarnya.
“Iya, Cucuku,” jawab Nenek Sulis sambil memegangi punggung.
Dia kini berada di kamar itu. Dia mencari tempat di mana harus menaruh kardus yang berisi barang-barang Eni. Dia kemudian menaruh kardus itu di bawah meja belajar. Badannya membungkuk untuk mendorong kardus itu ke kolong meja. Saat bangkit, dia melihat di rak meja belajar terdapat sebuah mug unik dengan garis-garis zig-zag berwarna emas. Dia penasaran dan mengambilnya, lalu duduk di kursi untuk memperhatikannya.
Ketika melihat gambar pada mug yang bergambar Menara London, dia sadar bahwa mug itu adalah hadiah yang akan diberikannya kepada Eni sewaktu kelulusan SMA, namun dia mengurungkan sebab mug itu pecah. Saat itu, Eni tetap bersikukuh mengambil mug itu. Saat itu dia bingung mengapa Eni bersikukuh mengambil mug yang telah pecah. Tapi, kini dia sadar apa yang Eni lakukan. Eni merangkai mug pecah itu kembali. Dia melihat garis-garis tidak rata pada bekas pecahan-pecahan mug. Warna garisnya adalah kuning emas. Kini dia bingung apa tujuan sebenarnya Eni merangkai kembali mug yang telah pecah itu.
Pikirannya berusaha menerka-nerka. Lalu, dia melihat di balik tempat mug itu, ada sebuah tulisan kecil yang tertempel di dinding,
Tendangan Spekulasi
Sebuah pencapaian, rezeki, dan jodoh serupa tendangan spekulasi
Goal atau tidak, yang penting kita pernah mencoba
Terus belajar dan berlapang dada
Letakkan harapan pada Tuhan semata
Setelah itu, dia memandang ke arah mug itu lagi. Dia bingung apa hubungan mug pecah yang dirangkai kembali dengan kalimat-kalimat tersebut. Apa yang dipegangnya benar-benar membuatnya bingung. Namun, dia begitu tertarik. Dia membalik mug ini dan menemukan sebuah kata yang tampak seperti kata dalam bahasa jepang. “Kintsugi?” ucap seseorang dari luar. Itu adalah Nenek Sulis.
“Itu kesenian Jepang,” imbuh Nenek Sulis.
Nenek Sulis mendekat. “Kamu pasti tahu kalau dari dulu dia memiliki tangan cekatan sehingga dia menyukai kerajinan tangan atau kesenian. Ini adalah apa yang dipelajarinya ketika di sekolah. Dulu saat pulang sekolah, Eni sering pergi ke toko loak lalu pulang dengan membawa barang-barang pecah untuk dirangkainya di rumah.” terang Nenek Sulis.
Dika teringat guci yang berada di dekat pintu ruang tamu. “Seperti yang berada di pintu masuk?” tebaknya.
“Iya.”
“Aku kira itu adalah pola asli dari guci itu. Jadi, itu adalah kintsugi, Nek?”
“Iya betul. Ini adalah kesenian yang paling Eni sukai. Kamu tahu kenapa?”
Dika menggeleng.
Nenek Sulis menjawab, “Eni pernah menerangkan seperti ini. Kesenian ini adalah kesenian dari Jepang. Kesenian ini bukan membuat kerajinan tangan, melainkan memperbaiki kerajinan tangan yang telah rusak, pecah, dengan cairan emas supaya mencolok. Tapi, kamu tahu pasti bahwa Eni tidak mungkin merangkainya kembali dengan emas. Untuk itulah dia merangkainya kembali dengan lem berwarna emas. Kamu tahu apa tujuan kesenian ini?”
“Tidak, Nek.”
“Inilah alasan Eni menyukainya. Kesenian ini adalah sebagai terapi. Karier, asmara, persahabatan, persaudaraan, dan keluarga bisa hancur berkeping-keping dan menjadi sebuah trauma yang berusaha untuk ditinggalkan. Eni pernah trauma ketika ditinggal ayahnya yang bersikap seolah-olah tidak mengenalnya lagi. Eni merasa bahwa dia seharusnya tidak diperlakukan seperti itu. Dia sangat tidak menyukai perilaku ayahnya. Untuk itulah Eni selalu bersikap kebalikannya. Dia selalu merangkai setiap hal dalam hidupnya yang pecah untuk dirangkai kembali. Dia merangkai kehangatan kembali di dalam keluarga ini yang telah hancur. Lihatlah mug ini. Mug ini memang tidak bisa kembali seperti semula. Tetapi, bukankah sekarang menjadi lebih indah? Pola retakan yang ditutupi dengan lem warna emas ini adalah bagaimana cara Eni dalam menghadapi persoalan perjalanan hidupnya. Pola-pola indah dalam bekas pecahan-pecahan mug ini adalah cara pandangnya dalam memahami hidup. Sesuatu yang telah hancur memang tidak bisa dikembalikan seperti awal lagi, namun kita bisa memperbaiki pola pikir kita dalam menghadapi sesuatu yang telah hancur.”
Kini, Dika tahu pola pikir Eni, seorang gadis periang yang selalu menutupi duka-duka dalam hidupnya di balik senyuman. Dia menatap tulisan di dinding itu dan membacanya bukan dengan mata semata, melainkan dengan hati.
Selanjutnya, dia pergi ke pusara ibunda Eni. Setelah membacakan Yasin dan Tahlil dengan kemampuan baca Alqurannya yang asal-asalan. Dia meminta maaf kepada ruh sang makam. “Bunda, maafkan saya selama ini. Maafkan saya yang telah berbuat jahat kepada anakmu. Maafkan saya yang telah mematahkan hatinya menjadi berkeping-keping. Sekarang, izinkan saya menjemput dia pulang. Maafkan kekhilafan saya selama ini. Saya berjanji akan membangun hati yang terbuat dari gelas kaca yang selama ini memberi saya kelegaan dalam setiap dahaga, namun saya pecahkan begitu saja,” lirihnya dengan meneteskan airmata.
Dia beranjak pergi meninggalkan area pemakaman. Dia menelpon Andre dan mengatakan kepadanya untuk mengumpulkan Jo dan Laura di kafe yang mereka sepakati untuk ketemuan. Setiba di lokasi, dia menuturkan permintaan maafnya. “Andre, Jo, dan Laura, gue minta maaf sedalam-dalamnya kepada kalian. Gue ingin kita bareng-bareng lagi. Gue ingin kalian kembali ke studio gue untuk membangunnya kembali.”
“Gue maafin lu, tapi gue nggak bisa kembali ke studio itu lagi,” jawab Jo.
“Gue akan membawa Eni pulang. Kalau Eni kembali ke studio, kalian janji ya bakal balik.”
“Lu yakin bisa membawanya pulang?” tanya Laura yang meragukan..
“Gue nggak bisa mengatakan iya. Tapi, gue bisa mengatakan insallah. Gue udah ngeletakin harapan gue pada Yang Maha Kuasa,” jawab Dika seraya berdiri dan pergi.
Laura kaget dan bergumam pada Jo dan Andre, “Anak itu kok jadi religius. Ini pertama kali gue dengar dia bilang gitu.”
Andre tersenyum. “Genre hidupnya mungkin sudah berubah.”
Setelah itu, Dika pergi ke rumah kedua Dinda, untuk meminta maaf dan menyambung tali silaturahmi kembali. Lalu, dia menemui Sarah yang bekerja di sebuah kantor periklanan. Sarah yang melihatnya, tiba-tiba kaget. Sarah berlari seperti melihat hantu. Dika mengejarnya. “Sarah, Sarah!” panggil Dika.
Sarah berhenti. “Dika, kenapa lu ke sini?”
“Kenapa lu ketakutan kayak gitu?”
“Gue takut lu dendam sama gue, lalu ke sini untuk membalas dendam.”
“Lu kira gue arwah penasaran yang balas dendam. Sarah gue minta maaf ya dulu nggak hadir di pernikahan lu untuk doain lu. Sekarang, doanya gue lunasin. Gue berdoa semoga lu dan suami lu jadi rumah tangga yang sakinah mawaddah warrahmah. Lu mau kan menerima permintaan maaf gue.”
Sarah mengangguk dengan mimik wajah aneh karena Dika sudah seperti seseorang yang pernah dikenalnya.
“Kalau gitu, ya udah, gue lega. Gue mau pulang dulu. Lu jaga diri baik-baik ya,” kata Dika seraya pergi.
“Dika!” panggil Sarah.
Dika berhenti dan balik badan. “Iya, Sarah.”
“Dika, gue ingin temanan sama lu lagi.”
Dika tersenyum. “Bukankah permintaan maaf itu adalah tanda bahwa kita akan selalu berteman? Oh iya, Sarah, kalau gue nikah lu datang ya.”