TAHUN 2023.
Hiruk-pikuk keramaian kota memenuhi rungu. Suara bising transportasi yang sudah maju mengikuti zaman. Kemajuan modernisasi yang diterima baik di negeri ini tersebar luas di setiap sisi jalan kota.
Kota penuh kenangan dan air mata.
Setiap langkah, setiap waktu berjalan dan setiap momen terlewati, sudah menjadi bukti kalau akan ada perubahan di dalam kehidupan. Semua berubah dan berbeda. Bahkan sangat berbanding terbalik selama dua puluh lima tahun belakangan ini.
Cukup lama, atau lebih tepatnya sangat lama. Bahkan untuk berbicara kembali menggunakan Bahasa Indonesia baku begitu terasa sulit sekarang.
Sangat berbanding terbalik saat dulu Bahasa Indonesia selalu diucapkan ketika memberikan kata manis kepada seseorang dan bahkan digunakan untuk protes kepada orang tuanya dikala dirinya selalu dilarang.
Tidak lupa juga termuat pada kata-kata kritis yang tercoreng di kertas putih dengan begitu sempurna untuk mewakili suara-suara rakyat yang dibatasi.
Senyum kecil muncul, dikala mengingat kenangannya saat berumur dua puluh tahun. Dilihatnya sapu tangan yang sudah kusam di tangannya. “Apa kamu hidup dengan baik sekarang?” Tidak ada kesenduan di wajahnya, hanya ada kelegaan dengan tatapan yang begitu dalam.
Langkah kakinya terhenti ketika menyadari tempat tujuan utamanya berada di sekitar sini. Mengingat kembali kenangan yang telah lama dia simpan. Membuka tumpukan ingatan di dalam kepalanya.
Ada kerutan di keningnya yang sudah memiliki keriput itu. Dengan mata monolid-nya dia semakin menyipitkan tatapannya. “Bukankah di sini tempatnya? Tapi di mana pohon itu? Apa sudah ditebang?” Kepalanya mengedar melihat sekitar. “Apa jangan-jangan sudah ditebang untuk jalan trotoar ini?” Dia bergumam sedih dan menatap kakinya yang berdiri di atas trotoar yang terlihat rapi dan sedikit jeriji bulat-bulat kuning untuk disabilitas.
Diangkat kembali wajahnya, hingga angin menerpa rambut yang dipotong pendek dengan sedikit uban. Menari indah di wajahnya. Hingga tatapannya terlihat kabur saat melihat pria paruh baya yang ‘tak kalah tua dengannya sedang menatap kakinya sendiri di atas trotoar.
Di saat pria itu mengangkat kepalanya dan tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. Seketika perkotaan yang padat itu menjadi sunyi.
Ketika tatapan penuh kerinduan itu berubah menjadi senyum kecil, sang wanita itu baru menyadarinya, “Ternyata di sana tempat pohon itu tumbuh sebelumnya.”
***
Tahun 1998
Angin musim panas menerpa jendela yang terbuka di dalam kamar. Ruangan yang dihiasi poster-poster penyanyi dan model dalam majalah yang dipotong-potong sesuai ukuran sang idola. Membuat dinding itu terlihat penuh di antara foto-foto sang pemilik kamar yang terselip di sana.
Tidak lupa banyak batu-batu keramik kecil berbentuk kucing tertempel di dinding dengan rumahan kecil dibuat.
Tangan kecil dan putih mengambil surat putih di atas meja. Mata monolid-nya menyipit bersamaan senyum malu-malu di wajahnya yang muda. Secara perlahan mendekatkan hidungnya ke arah surat itu sambil mencium aroma khas yang tertinggal. Perlahan rona merah di pipi semakin muncul saat melihat tulisan kecil yang tertulis di luarnya.
‘To Inara Tan.’
Dibukanya secara perlahan amplop itu, hingga terlihat kertas yang terlipat dengan kelopak bunga keluar bersamaan. Inara terkekeh, “Kali ini di mana lagi dia memetiknya? Aku harap dirinya tidak terkena masalah lagi.”
Tapi sayangnya dugaannya memang benar. Dia menutup mulutnya menahan tawa sambil sesekali melirik ke arah pintu kamarnya.
Hai Inara.
Aku harap kamu tidak menertawakanku kali ini.
Kamu tahu, seperti dugaanmu yang biasa. Aku terkena masalah, karena aku tidak bisa menahan untuk mengambil bunga kertas yang begitu menyilaukan milik ibu kos. Tibalah bunga ini bersama dengan surat yang kuberikan.
Inara meredakan tawanya dan mulai membenarkan duduknya untuk membaca dengan tenang surat di tangannya.