INARA menundukkan kepala dengan tangan yang bergerak memilin baju. Atmosfer ketegangan begitu terasa di dalam ruang tamu yang terbuka. Tidak ada keberanian untuk cuma sekedar mengangkat kepala di hadapan kedua orang tuanya dan kedua kakak laki-lakinya.
Termasuk salah satu kakaknya yang tadi menegurnya saat pulang bersama Adji. Ternyata pria itu tidak tepat janji, melihat situasi menjadi seperti ini. Inara yakin kalau kakaknya itu mengadukan kepada kedua orang tuanya.
“Kamu datang dari mana?”
“Membeli CD.”
“Di mana? Papa tidak melihatnya.”
Kedua tangan Inara berpindah ke belakang dan semakin menundukkan kepalanya. Bibirnya bergetar tidak tahu harus mengeluarkan kata apa lagi.
“Dengan siapa?”
“Te-teman.”
“Teman atau pacarmu?”
“Inara! Jangan diam saja, Papamu bertanya dan angkat kepalamu.” Sentakan Mama Inara membuatnya terkesiap. Dia mengangkat kepalanya dengan ragu, hingga matanya bisa melihat tatapan datar papanya. Begitu juga dengan tatapan penuh permusuhan mamanya setelah berteriak tadi memanggil namanya.
“Pa-pacar, Pa.”
“Sejak kapan?”
“Hampir setahun.”
“Dasar kurang ajar! Jadi selama ini kamu diam-diam pacaran dengan pria itu tanpa sepengetahuan kami!” Mama Inara memukul tangan Inara, hingga Inara bergerak kesakitan dan berusaha bersembunyi di belakang Richardo—kakak nomor duanya—yang mulai mendekat ke arahnya dan mencoba melindunginya.
“Richardo! Jangan berani-berani kamu melindunginya! Sini kamu Inara!”
Inara menggeleng panik dan meremas kuat kaos baju Richardo. Dia mulai menangis dan menatap penuh permohonan ke arah mamanya. “Maafin aku, Ma. Sakit,” cicitnya.
“Hentikan.” Suara Papa Inara terdengar, hingga menghentikan Mama Inara yang berusaha menjangkau Inara dan duduk dengan nafas memburu. “Jadi, siapa namanya?”
“Pa!” Mama Inara memprotes. Tapi, langsung terdiam ketika tatapan Papa Inara penuh peringatan agar dia diam.
Terjadi keheningan cukup lama menunggu Inara membuka mulutnya. Dia keluar dari persembunyian di belakang Richardo dengan pelan dan ragu-ragu memberitahu, “Adji Giandra. Dia or—”
“Jadi dia bukan orang kita, dan putuskan dia nanti,” potong Papa Inara yang langsung berdiri ingin meninggalkan kursinya.
“Pa!” Inara langsung protes memanggilnya, hingga Papa Inara menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Inara. Inara menelan ludahnya susah payah dan mengeluarkan keinginannya, “Aku tidak bisa putus dengannya, Pa!”
“Kenapa? Ada hal lain yang kamu sembunyikan?”
“Tidak Pa!” Inara terkejut dan menggeleng dengan cepat, dengan berani dia mendekat dan memegang tangan papanya yang terlihat tidak percaya.
“Sungguh tidak, aku mencintainya. Dia orang yang baik dan sangat penyayang. Dia tidak akan pernah menyakitiku atau membuatku jatuh ke dalam lubang kegelapan. Dia... dia cahaya penerang hari-hariku dan aku tidak akan menemukan pria sepertinya lagi. Jadi, Pa, kumohon jangan menyuruhku putus dengannya.”
“Kalau tidak, buat apa kamu memohon seperti itu. Lupakan dia, dia tidak akan diterima di keluarga kita apalagi keluarga besar kita. Jadi buang jauh-jauh impianmu bersamanya. Kita tidak menerima menantu pribumi, hanya orang yang sama dengan kita yang bisa diambil keluarga. Ingat itu, Inara!”
Inara menggeleng dan menghapus kasar air matanya. Bertekuk lutut di hadapan papanya hingga membuat mereka semua terkejut dengan tindakan Inara. Tangan kecil Inara mengepal erat kedua lutut dengan tetesan air mata yang membasahi kedua tangannya.
“INARA!” Teriakan Papa Inara membuat Inara tersentak, tapi dia tetap pada posisinya. “Kamu melakukan ini hanya untuk pria itu! Apa yang sudah dilakukannya padamu hingga kamu berani merendahkan dirimu deminya, hah!” Tatapan datar dan tenang sebelumnya berubah murka dengan urat kemarahan terlihat di lehernya, meskipun sudah terlihat tua. Dia menarik tangan Inara agar berdiri dengan kasar.