“EKHM! Ekhm! Satu, dua, tiga.”
Adji berdeham berulang kali dan terus merapikan pakaiannya agar terlihat rapi. Mengambil kaca kecil yang dia simpan di saku, melihat dirinya dengan rambut klimis berkat teman satu rumah kos-kosanya. Adji meringis melihat dirinya dan langsung mengacak-acak rambutnya agar terlihat seperti biasanya.
Sudah cukup lama Adji berdiri di depan pagar berwarna merah dengan simbol aksara cina di dinding pagar. Kian kemari berjalan sambil merapikan dirinya hingga akhirnya Adji membuka pagar dan masuk secara perlahan. Pertama kali Adji disambut dengan lampion berwarna merah yang berjejer di antara dua pagar. Dinding rumah berwarna putih dengan pintu yang berwarna coklat tua membuat semua yang ada di dalam halaman rumah menjadi satu kesatuan. Halaman rumah yang tidak terlalu besar membuat Adji sudah berada di depan pintu, tanpa ada keraguan Adji mengangkat tangannya.
Tok! Tok! Tok!
Ada keheningan untuk beberapa saat hingga bisa terdengar suara gagak di atas rumah. Sekali lagi Adji mengetuk pintu hingga muncul teriakan seseorang dari dalam rumah yang berjalan dengan tergesa menuju pintu. Ketika pintu itu terbuka, terpampanglah wajah wanita paruh baya yang begitu mirip dengan Inara. Adji seperti melihat Inara di masa tuanya di wajah wanita paruh baya itu.
“Siapa ya?”
Adji berdeham singkat dan mengulurkan tangannya, “Perkenalkan saya Adji Giandra paca—”
“Inaranya tidak ada.” Jawaban cepat itu membuat Adji terdiam dan menurunkan tangannya yang mengambang. Saat wanita itu ingin menutup pintunya terdengar suara lain dari dalam berbicara padanya.
“Siapa, Ma?” Keluarlah pria paruh baya menghampiri mereka, yang bisa Adji tebak kalau itu adalah papanya Inara. Dia menahan pintu dengan tangannya dan menatap Adji dengan tajam. “Anda siapa?”
“Dia pacarnya Inara.” Mama Inara yang menjawab, hingga Adji hanya bisa mengatupkan bibirnya sebelum perkataannya keluar. Papa Inara menatap Adji dari atas sampai bawah, seolah menilai.
“Suruh dia masuk.”
Mama Inara ingin membuka mulutnya, tapi saat melihat tatapan wajah Papa Inara, dia langsung mengurungkan niatnya dan menatap Adji seolah memberi isyarat untuk masuk sambil membuka lebar dua pintu rumah mereka.
“Terima kasih,” lirih Adji pelan dan berjalan perlahan karena untuk pertama kalinya dia memasuki rumah Inara. Di saat itu juga Adji menggunakan kesempatannya sebaik mungkin, dia mengedarkan matanya untuk melihat seisi rumah sang kekasih. Dilihatnya ada foto masa kecil Inara dan keluarganya, beserta hiasan-hiasan yang tertempel dengan warna merah menyala.
“Silahkan duduk.”
Adji mengangguk dan duduk dengan sopan, menyatukan kedua pahanya dengan kedua tangan di atas.
Cukup lama mereka terdiam, Adji merasa resah karena terlihat Papa Inara menunggunya bicara. Dia berdeham singkat, “Saya kemari, karena ingin mengenalkan diri sebagai kekasihnya Inara. Maaf jika saya baru saja mengenalkan diri, seharusnya dari sebelumnya waktu saya mau mendekati Inara. Saya hanya ingin memberitahu kalau saya di sini bersungguh-sungguh terhadap perasaan saya pada putri kalian.”
Adji menjeda dengan menarik nafas panjang, “Meskipun bukan dalam jenjang pernikahan, karena saya tahu kita sama-sama punya impian yang masih ingin dicapai. Jadi biarkan saya ingin membuktikan diri berusaha menjadi pria yang baik dan pantas untuk bersanding dengan Inara di masa depan. Saya tahu, mungkin kalian hanya akan menganggap kalau perkataan saya sebagai bualan semata, biar bagaimanapun pasti tidak akan mudah percaya karena ini masih dalam lisan saja. Saya akan berusaha....”