Sekitar pukul satu siang, sepeda motor kulajukan ke Pangkep, jam kerja memang setengah hari jika Sabtu. Rencananya, saya ingin singgah di rumah emak[1] di desa Kabba untuk mencetak proposal penelitian penyelesaian skripsi yang akan kuajukan ke PT Semen Tonasa, BUMN yang yang sudah ada di Pangkep di awal tumbuhnya Orde Baru. Di Tahun 1968.
Sejak informasi itu kuketahui melalui Facebook, seketika semangatku membuncah untuk menyelesaikan tugas akhir strata satu, agak telat memang, malah saya lebih dulu menikah dan menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen ketimbang menyelesaikan skripsi.
Setiba di rumah, seorang kawan datang, kami berbincang cukup lama dan saya harus melupakan mencetak proposal. Menjelang azar, barulah komputer kuaktifkan dan mesti menyervis printer. Pasalnya, mesin cetak itu sudah setahun tidak kugunakan, tentu tinta di catridge sudah membeku, pikirku. Dan, itu benar adanya.
Sekitar satu jam saya harus berjibaku, kedua tanganku belepotan tinta, kaos bolaku pun kurelakan menjadi lap. Ah! Apa peduliku, yang jelas printer dapat digunakan kembali. Di selah kesibukan itu, pesan pendek dari istri menggetarkan telepon genggamku, menanyakan keadaan dan memintaku segera pulang. Setelah menikah tiga bulan lalu, saya memang lebih banyak tinggal di rumah mertua.
Pesan itu kubalas sekenanya, menyampaikan kalau printer belum bisa difungsikan. Balasannya, istri memintaku agar mencetak proposal di jasa rental komputer dekat kampus saja. Saya menampiknya, pengalamanku menyervis printer belum pernah gagal. Sebatang rokok kusulut, seorang kemanakan kupinta ke warung untuk membeli kopi kemasan. Proposal harus selesai dicetak sore ini juga. Tekadku.
Tak berselang lama, emak memanggilku, ia ingin diantar ke Poskesdes. Segera kupenuhi. Kutinggalkan printer yang tengah mengeluarkan sampel cetakan. Sesampai di Poskesdes yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah, kami hanya disambut dua orang tua yang kuyakin bukan petugas kesehatan.
Emak menghampiri, ketiganya lalu terlibat pembicaraan akrab, karena mereka memang saling mengenal. Situasi demikian masih terjalin di desa, lekat dan sepertinya tak tersentuh gap status sosial.