Di Tepian Pasifik

Akhmad Zamroni
Chapter #1

Raport Kehidupan #1

IPK 3,73, predikat cumlaude ini membayangiku saat mengingat moment enam bulan lalu saat toga kebanggaan kukenakan. Amplop transkrip nilai ini masih saja aku bawa di tas kerjaku. Tadinya hanya aku bawa saat seleksi penerimaan kerja di sini, tapi sampai lupa untuk mengembalikannya lagi bersama stopmap ijazahku, beberapa bulan sudah berada di dalam tas kerjaku. Ah biarlah…

Awal perjuangan justru baru dimulai, senang-senangnya satu hari itu saja saat euforia kawan-kawan memberiku selamat sebagai lulusan pertama di angkatanku. Armada Zumar, S.T., seperti itulah name tag di meja kerjaku sekarang. Kini jalan yang kupilih serasa tepat, hadiah atas kerja kerasku dalam kuliah, Allah menempatkanku di bagian analisis geokimia di salah satu perusahaan swasta di bidang minyak dan gas bumi di ibukota. Walau fresh graduate, perusahaan ini tak segan menggajiku dengan nominal yang cukup banyak. Memang normalnya perusahaan di bidang energi gajinya termasuk di atas rata-rata.

“Zumar, tolong buat laporan analisis geokimia dari lapangan Kutai kemarin,” kata Pak Sembiring sebagai senior geologi di perusahaan ini.

“Siap Pak, sebagian sampel sudah saya uji kandungan karbon totalnya, tinggal analisis maceral saja yang belum,” ujarku yang tak digubris Pak Sembiring, ia melangkah lagi menuju ruang sebelah. Rasanya Pak Sembiring punya disiplin tinggi untuk tidak menyia-nyiakan waktu.

Sebenarnya sederhana yang aku lakukan di sini, aku bekerja di laboratorium geokimia organik, bersahabat dengan mikroskop mineral organik, mengamati sampel-sampel batuan dari lapangan dan duduk di depan komputer untuk menganalisis data laboratorium tersebut. Hasil analisis yang kubuat sangat menentukan kebijakan dalam eksploitasi minyak dan gas bumi kedepannya. Sangat kontras dengan dunia perkuliahan yang padat materi, menghafal rumus-rumus, menggambar, menghafal mineral dan fosil, untung sudah bermodal rasa cinta pada geologi sejak SMA, jadi lebih enak menjalani kuliah sesuai apa yang aku senangi.

Tidak semua mahasiswa seberuntung aku, masih banyak teman-temanku yang belum lulus kuliah, bahkan lebih dari 50% jumlah angkatanku masih dalam proses menamatkan studinya. Masih banyak mereka yang harus mengulang mata kuliah, atau ada juga yang masih belum rela melepaskan status mahasiswanya, mungkin karena memilih lebih sibuk di organisasi, lebih sibuk main, atau ada juga yang memiliki part time job. Terserahlah jalan yang mereka pilih karena hidup ini menawarkan banyak pilihan dan ini pilihan terbaikku.

“Ini Mas Zumar es cappuccino pesanan Mas,” kata Pak Yazid meletakkan cangkir putih dengan tatakan di atas mejaku.

“Makasih ya Pak,” ucapku beralih dari pandangan monitor sebentar. Pak Yazid meletakkan secangkir teh untuk Nilna dan kopi hitam untuk Reinald yang juga satu ruangan denganku, lalu ia berjalan kembali ke pantry.

Secangkir cappuccino dingin rasanya cukup membuat rileks tubuh ini, jam 11.21 di arloji digitalku ini memang waktu-waktu suntuk dan ngantuk di kantor, apalagi kalau sudah jam dua siang, ingin rasanya segera nempel di bantal dan guling. Reinald terkadang sampai mendengkur seperti kambing dan kaget saat Pak Sembiring membangunkannya meminta data-data laporan segera diserahkan. Biasanya aku dan Nilna tertawa sampai harus menutup mulut kami melihat tingkah kelabakan Reinald, sementara dia hanya manyun saja. Mata yang silih berganti menatap mikroskop dan monitor membuat mataku pegal, sesekali aku beralih pandangan melihat Kota Jakarta dari lantai enam tempat aku bekerja. Sekadar melihat kemacetan di ruang terbuka saja membuat mata ini sedikit rileks. Sebentar lagi jam istirahat siang. Aku lanjut menganalisis data geokimia dengan referensi geologi regional.

“Akhirnya istirahat juga,” seruku mendengar bunyi bel istirahat di gedung ini. Aku renggangkan otot-otot tubuh seraya menguap lalu mata memandang keluar jendela.

“Kantin yuk Zum,” ajak Nilna yang juga sudah beralih dari monitornya.

“Iya duluan aja Nil,” kataku masih asyik dengan handphoneku.

“Ya udah kalau gitu kita duluan ya,” kata Nilna melangkah bersama Reinald.

Zum pulangnya aku nitip flashdisk 16 GB ya, memori flashdiskku penuh nih, banyak data kantor yang harus aku save, kayaknya malam ini aku lembur”.

Hanya aku balas dengan kata Insya Allah.di whatsappku.

Whatsapp dari Zamsy, teman sekosku, akhir-akhir ini dia sibuk dengan pekerjaannya di dunia agribisnis. Beberapa hari ini sering pulang setelah isya, katanya sibuk memanage data-data pemasaran di salah satu perusahaan pertanian organik. Sejak semester lima sewaktu kuliah di Unsoed Purwokerto kami tinggal berdua di satu kontrakan yang hanya ada dua kamar, kurang lebih sudah dua tahun kami tinggal bersama.

Aku menuruni lift ke lantai dasar. Menuju mushola kantor. Sholat dhuhur sering diimami oleh Pak Hasan, satpam kantor. Dua shaf jama’ah laki-laki dan tiga orang perempuan di belakangnya. Mungkin ada yang lebih memilih untuk makan siang dulu kemudian sholat.

Usai sholat, aku makan siang di kantin, Sebagian besar karyawan makan siang di kantin kantor ini. Aku memilih duduk bersama Nilna dan Reinald yang sedang menyisakan setengah gelas es tehnya. Beberapa karyawan mulai keluar dari kantin ini, beberapa sedang mengobrol menyisakan piring dan gelas yang sudah kosong.

“Zum lu kapan nih bantu gue promoin ke mahasiswi tetangga kontrakan lu,” kata Reinald yang sedang memegang sedotan.

Lihat selengkapnya