Di Tepian Pasifik

Akhmad Zamroni
Chapter #3

Prinsip Zamsy #3

Aku tiba di kontrakan pukul lima sore. Kuletakkan sepatuku di rak sepatu depan kamar. Rupanya Zamsy sudah di kontrakan terlebih dulu dari pada aku. Ia sedang asyik tidur tengkurap sambil memandang laptopnya di ruang tengah.

“Tumben Zam, dah balik duluan, gak lembur lagi?” tanyaku pada Zamsy, ia masih asyik dengan laptopnya.

“Pekerjaan dah beres semua Zum jadi bisa pulang lebih cepat,” katanya tak menatapku, masih asyik dengan laptopnya.

“Namira Imani, ceilah rupanya lagi buka facebook dia Zam,” godaku yang melihat Zamsy sedang mengamati facebook adik kelas SMAnya. Ia tak menggubrisku.

“Kangen banget aku ama dia Zum.”

“Kapan dia pulang dari Malaysia?” tanyaku.

“Katanya tahun depan, setelah menyelesaikan studinya di teknik arsitektur USM, ia akan segera pulang ke Palembang.”

“Bagus dong Zam, bisa langsung kamu lamar.”

“Ngaco kamu ini Zum, wong hubungan kami aja belum jelas, selama ini aku sering nanya-nanya kabar ke dia, kontak-kontakan ke dia tapi aku sendiri gak tahu apa dia ada perasaan lebih ke aku atau gak,” katanya bimbang.

“Makanya Zam biar hubungan kalian jelas kamu segera lamar dia aja, segera temui orang tuanya di Palembang, kamu ganteng, pekerjaanmu mapan, lulusan terbaik Agribisnis Unsoed, ilmu agamamu aku rasa juga bagus, ya nantinya bisa belajar bareng ilmu agama dengan Namira,” pujiku pada sahabatku ini.

“Berlebihan banget kamu muji aku Zum, aku masih belum siap Zum, apalagi kalau nantinya ditolak, aku seperti belum siap dengan kenyataan buruk yang bakal terjadi nanti.”

“Bismillah Zam, menikah itu kan ibadah, berarti jika diniatkan dengan baik Insya Allah akan diberikan kebaikan selalu,” kataku menyemangati.

Aku tahu akhir-akhir ini sahabatku Zamsy seperti sedang terjangkit virus merah jambu, ia teringat masa saat berpacaran dengan Namira Imani, adik kelasnya sewaktu di SMA. Prinsip hidup keduanya berubah saat Zamsy semester 3 dan Namira yang akan masuk kuliah, mereka memutuskan untuk tidak berpacaran lagi. Hanya berteman saja, tanpa embel-embel pacaran. Zamsy yang sudah lama tidak menjalin komunikasi dengan Namira akhir-akhir ini menyambung lagi komunikasi dengannya setelah ia menemukan facebook baru Namira, seseorang yang sempat menghilang sekitar tiga tahun darinya. Semenjak Namira mendapat beasiswa di Universitas Sains Malaysia, hampir tidak ada komunikasi lagi di antara mereka berdua. Beberapa minggu ini ketika Zamsy menemukan facebook baru Namira, ia aktif berkomunikasi dengan seseorang yang pernah ia cintai dulu, Namira pun rutin membalas kabar.

“Aku gak ingin mengulang masa jahiliyahku dulu Zum, aku gak ingin buru-buru menyatakan rasa cinta pada wanita yang aku cintai, mungkin saja itu hanya rasa kagumku semata saja,” kata Zamsy.

“Dijaga saja Zam komunikasimu jangan sampai berlebihan, setan mudah menyusup dicelah yang tak terduga,” kataku memberi nasihat. Zamsy hanya mengangguk.

Sosok Namira yang pernah Zamsy perlihatkan ke aku di profil facebooknya ternyata seorang wanita yang mengenakan jilbab panjang. Tapi kata Zamsy, Namira berubah lebih alim semenjak masuk kuliah dan semenjak memutuskan hubungan pacaran dengannya. Namira yang dulu Zamsy kenal masih sering memakai jeans ketat dengan kerudung yang hanya menjulur sampai pundak.

“Prinsip hidupku sekarang sudah berubah Zum, aku gak ingin buru-buru mengatakan cinta pada wanita yang aku cintai, jika aku sudah mengatakannya, namun takdir tidak menjodohkan kami, aku takut akan menyakiti hati wanita itu, biarkan hidup ini menjadi sebuah proses untukku dalam memilih, memilih wanita terbaik untuk hidupku, belum tentu juga Namira adalah jodoh dari Allah buatku. Aku tak tahu jika suatu saat nanti akan menemui wanita yang lebih baik dari Namira, mungkin Namira akan aku sisihkan dari daftar calon istri,” jelas Zamsy, aku mengangguk mendengarkan prinsipnya tersebut. Aku kagum mendengarkan penuturan prinsip hidupnya.

Aku berteman dengan Zamsy sejak semester 5 saat kami kuliah di Unsoed. Walaupun kami berbeda jurusan, aku jurusan Teknik Geologi dan Zamsy jurusan Agribisnis tapi kami saling mengenal sejak bergabung dalam satu kabinet di Badan Eksekutif Mahasiswa Unsoed, karena kami merasa cocok dalam bergaul akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di satu kontrakan, kebetulan kami menemukan kontrakan yang hanya terdiri dari dua kamar. Walau pun budaya kami sangat berbeda tapi komunikasi kami berdua sangat cocok, Zamsy dengan wong kito Palembang dan aku dengan budaya jawa ala Yogyakarta.

Sudah sekitar dua tahun kami tinggal bersama, jadi sudah tahu kebiasaan kami masing-masing. Zamsy sering kali tidur lebih awal dariku, biasanya 22.30 lampu kamarnya sudah dimatikan dan aku tidur sekitar satu jam kemudian. Urusan bangun tidur, Zamsy pun yang sering ketuk-ketuk pintu kamarku mengajakku ke masjid. Biasanya dia menyempatkan tahajud dan witir sebelum subuh. Setiap jam 6 pagi kami sama-sama nonton berita pagi di ruang tengah sambil menikmati secangkir teh hangat. Biasanya di ruang ini selalu terdengar bunyi-bunyian yang bersahutan, suara kentut pagi hari yang menjadi kebiasaan kami berdua di pagi hari. Urusan mandi Zamsy lebih lama dari aku, sepertinya masalah penampilan ia pun lebih rapi dan lebih klimis dibanding aku yang terkesan lebih cuek. Buktinya anak-anak cewek SMP dan SMA dekat kontrakan kami sepertinya lebih sering caper ke Zamsy dari pada aku, bahkan ada anak ABG SMP yang pernah mengirim surat cinta ke Zamsy di depan pintu kontrakan. Waktu itu aku tertawa karena ikut membaca surat yang sedikit alay itu. Sementara Zamsy hanya tersenyum cuek tak menanggapi.

Aku masuk kamar melepas kemeja dan celana levis, bergegas mandi. Aku lihat Zamsy masih asyik melakukan chat di facebook dengan Namira. Aku masuk kamar mandi, menyalakan shower, rileks sekali tubuh ini saat kepala terkena air dari shower, sepertinya saraf-saraf otak kembali rileks setelah bersitegang dengan urusan pekerjaan yang kadang menjenuhkan. Rasa-rasanya ingin berlama-lama relaksasi dengan air. Aku keringkan tubuhku, mengusap dengan handuk, dengan hanya handuk yang menutupiku aku kembali masuk kamar. Zamsy masih asyik menyelami dunia maya sambil sesekali tersenyum.

“Hati-hati Zam dengan godaan setan, kamu sudah punya prinsip, harusnya diimbangi juga dengan ikhtiar yang baik,” kataku sedikit menyindir. Ia hanya mengangguk.

Aku masuk kamarku. Memakai baju dan celana kolor pendek, tak lupa deodorant yang selalu kupakai sehabis mandi, lalu aku sisir rambutku sambil bercermin di kaca lemari. Kukenakan sarung kotak-kotak warna biru bersiap sholat maghrib.

“Zam rencanamu dengan si Namira gimana?” tanyaku sambil menarik engsel pintu kamar.

“Pingin aku lamar Zum saat dia pulang nanti, tapi jujur masih ada keraguan, aku kurang pede Zum, aku gak tahu perasaan dia ke aku?” keluh Zamsy.

“Makanya dengan menanyakan ke orang tuanya kamu nantinya bakal tahu bagaimana perasaan Namira ke kamu, kalau Namira menerimamu kan kamu lega, kamu sudah dapat jawaban kepastian darinya.”

“Iya kalau nerima, gimana kalau dia menolak aku?”

“Nah itu juga ada risikonya Zam, tapi setidaknya kan kamu tahu kalau dia sudah tidak menyimpan rasa ke kamu, kamu jadi terbebas dari kegalauan. Bismillah saja…,”

Lihat selengkapnya