DI TITIK 8760

Dalilah Razan, Rauf Adila
Chapter #3

Salam Kenal, Perpisahan

Dalam hidup, semua mengacu pada pilihan.

Dalam hidup, semua berakhir dengan kesakitan.

Hati-hati mengambil langkah.

Takutnya jadi masalah yang berkepanjangan.

***

Allysa sudah tidak keluar kamar sejak jam 9 pagi, dihabiskannya waktu dengan terus-menerus menangis, tidak heran jika bantal yang sedari tadi ia gunakan sudah banjir air bening yang keluar tanpa jeda dari pelupuk matanya. Hidup memang selalu punya pilihan, harusnya selalu ada toleransi dalam setiap jawaban. Namun ayah dan ibu bukanlah hal yang dapat dijadikan pilihan, mereka punya tempatnya masing-masing di dalam hati Allysa. Jika keduanya harus terpisah maka hasilnya adalah kesedihan yang berkepanjangan.

Mengalah nyatanya bukanlah solusi, sejak kelas 6 SD Allysa harus menelan kenyataan bahwa ia tidak terlahir sempurna, bukan fisik melainkan kehidupannya. Allysa sadar menjadi sempurna tidak akan pernah ada ujungnya, lagian sempurna bukan milik insan yang bernafas, tapi mencoba untuk selalu menyempurnakan tidak ada salahnya, kan? Memang tidak nyaman hidup dengan kemewahan, saking besarnya petakan bangunan ini, semakin banyak ruang kosong yang membuat komunikasi menjadi tidak sempurna. Sulit untuk melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan, seperti bercerita, berpelukan hingga bercanda, padahal dulu semua itu dilakukan tanpa mengenal waktu.

Pras, menjadi panutan seorang Allysa, selalu mengajarkan nilai-nilai kebajikan. Pras senantiasa berpesan, bahwa bersikap baik dan selalu melemparkan senyum pada orang lain adalah sebuah keharusan yang mesti dijadikan kebiasaan, sebab sesuatu yang menjadi kebiasaan jika tidak dilakukan pasti terasa ada yang kurang. Sedangkan Linda adalah sosok penenang bagi Allysa. Kata Linda, siapa pun yang berbuat buruk pada kita, jangan pernah kita balas, api jangan dibalas dengan api yang lebih besar, lebih baik mengalah. Tapi, apakah dalam situasi seperti ini Allysa harus tetap mengalah?

Pagi tadi, kira-kira pukul 8.20 Pras memanggil Allysa untuk turun ke bawah, tepatnya di meja makan berukuran 2x1.5m. Pras begitu pun Linda sudah duduk rapi, mereka saling berdiam diri, semua hening.

"Bu, di mana Airin?" Allysa duduk di sebelah Linda, Allysa sempat terdiam sebentar, bola matanya mencari keberadaan Airin.

"Ayah mau bicara dengan Icha." Icha adalah panggilan Allysa sejak kecil.

"Minggu depan Ayah harus pindah ke Yogyakarta," ucap Pras.

"Loh, kenapa?" Allysa masih kebingungan dengan ucapan Pras.

"Icha ikut Ayah, ya."

"Airin dan ibu juga ikut, kan?"

"Ibu tetap di Jakarta," jawaban Linda sukses membuat otak Allysa berpikir lebih keras. "Butik Ibu baru saja akanĀ grand opening, nggak mungkin Ibu tinggal, Sayang," lanjut Linda.

Allysa membolak-balikkan pandangannya pada Linda dan Pras seakan tak percaya, hingga akhirnya pandangan Allysa jatuh pada meja makan. Gadis itu menunduk, air matanya mulai menggenang namun masih ia coba pertahankan agar tidak terjatuh.

"Ayah akan urus secepatnya surat pindah Icha dan Airin."

"Kenapa harus pindah? Apa Ayah nggak bisa untuk pulang seminggu sekali?" Allysa sudah tidak berani untuk menatap wajah kedua orang tuanya.

"Icha masih ingat nggak, Ayah sering bilang kalau hidup selalu tentang sebuah pilihan?" Pras mencoba mendekatkan kursinya. Kini hanya terdengar suara isakan tangis Allysa yang mulai memenuhi rongga sepi ruang makan.

"Icha ingat Ayah selalu ngajarin Icha tentang kenyataan yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Tapi Icha capek, Yah. Icha capek, Bu." Allysa menyeka air matanya lalu melanjutkan kembali dengan suara yang tersendat-sendat, "Dari kecil, Icha nggak pernah membantah Ayah apalagi Ibu, dari kecil Icha selalu dengerin nasihat Ayah dan Ibu, sampai Icha sendiri bingung gimana ngatasin hati dan pikiran yang kadang bertolak belakang. Icha harus tetap tersenyum, kerena itu keharusan yang udah jadi kebiasaan buat Icha."

Linda mendekatkan dirinya, dipeluknya putri sulungnya itu dengan sangat erat. Allysa yang sejak tadi sudah menangis, setelah jatuh ke pelukan wanita terbaik dalam hidupnya itu tangisannya justru semakin penuh emosi dan pecah sejadi-jadinya. Sudah lama Icha tidak pernah merasakan pelukan Linda, pelukan yang selalu terasa hangat dan menenangkan. Namun kini rasanya menyakitkan.

Lihat selengkapnya