Seminggu setelah pertemuan pertama mereka dalam proyek, dinamika antara Fadli dan Alina mulai berubah. Meski diskusi mereka sering diwarnai perdebatan, ada sesuatu yang mulai muncul di antara keduanya. Itu adalah sebuah rasa penasaran yang tak bisa mereka abaikan.
Fadli mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Alina. Cara Alina mengatur tim dengan tenang namun tegas, cara ia berpikir cepat saat menghadapi masalah, dan bahkan kebiasaannya menyelipkan rambut di belakang telinga setiap kali ia fokus mengetik di laptop. Semua itu membuat Fadli diam-diam terkesan.
Di sisi lain, Alina mulai melihat sisi lain dari Fadli. Meski sering terlihat ceria dan santai, Fadli ternyata sangat bersemangat saat membahas ide-ide kreatifnya. Kepribadiannya yang hangat dan caranya memperlakukan anggota tim dengan penuh hormat membuat Alina merasa nyaman berada di sekitarnya, meskipun ia belum mengakui itu pada dirinya sendiri.
Hari itu, tim mereka melakukan kunjungan ke salah satu toko milik Darmawan Group untuk mengevaluasi strategi pemasaran di lapangan. Alina datang lebih awal, mencatat pengamatan di notebooknya. Ketika Fadli tiba, ia membawa dua gelas kopi.
“Ini buatmu,” kata Fadli sambil menyodorkan salah satu gelas.
Alina mengangkat alis, tampak terkejut. “Kenapa tiba-tiba membawakan saya kopi?”
Fadli tersenyum kecil. “Anggap saja sebagai permintaan maaf untuk semua perdebatan kita minggu ini. Lagipula, aku ingat kamu suka kopi hitam tanpa gula.”
Alina tersenyum tipis. “Terima kasih, Fadli. Itu perhatian yang… tak terduga.”
Mereka duduk di pojok toko, mengamati pelanggan yang datang dan pergi. Percakapan ringan pun terjadi di sela-sela pekerjaan mereka. Untuk pertama kalinya, suasana di antara mereka terasa santai.