Setelah konflik di ruang rapat itu, hubungan antara Alina dan Fadli menjadi lebih rumit. Meski mereka tetap profesional dalam proyek, bayang-bayang masa lalu keluarga mereka terus menghantui. Alina merasa semakin tertekan ketika mendengar desas-desus dari rekan-rekannya bahwa Pak Darmawan mempertimbangkan untuk memutuskan kerja sama dengan Prima Consulting.
Suatu sore, Alina sedang menyiapkan presentasi di kantor ketika ia menerima telepon dari ibunya. Suara di seberang telepon terdengar lelah, namun penuh perhatian.
“Alina, apa kamu baik-baik saja?” tanya ibunya.
“Aku baik, Bu,” jawab Alina, meski nadanya tidak meyakinkan. “Hanya sedikit sibuk dengan proyek besar ini.”
Ibu Alina terdiam sejenak sebelum berkata, “Proyek itu melibatkan keluarga Darmawan, kan?”
Alina tertegun. “Ibu tahu?”
“Ya, dan aku khawatir. Alina, kamu tahu betapa sulitnya hubungan kita dengan mereka setelah apa yang terjadi dulu,” suara ibunya terdengar berat. “Ayahmu menyesal, tapi kerugian itu sudah telanjur membuat hubungan kita hancur.”
Alina menelan ludah. Ia tahu ayahnya pernah terlibat dalam konflik dengan keluarga Darmawan, tapi tidak pernah mendengar detailnya.
“Apa sebenarnya yang terjadi, Bu?” tanyanya pelan.
Dengan suara pelan, ibu Alina mulai bercerita. Bertahun-tahun lalu, Pak Rinaldi pernah bekerja sama dengan Darmawan Group dalam proyek besar di sektor real estate. Namun, kesalahan manajemen dan pengambilan keputusan yang buruk menyebabkan proyek itu gagal. Akibatnya, keluarga Darmawan menderita kerugian besar, sementara Pak Rinaldi dicap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab.