Malam itu, Fadli berdiri di depan pintu ruang kerja ayahnya, membawa tumpukan dokumen yang telah ia kumpulkan bersama Alina. Ia mengetuk perlahan, dan suara berat Pak Darmawan menyuruhnya masuk.
“Ada apa, Fadli? Sudah malam,” ujar Pak Darmawan tanpa menoleh, sibuk membaca laporan di mejanya.
Fadli menarik napas panjang. “Pak, aku ingin bicara soal proyek lama yang melibatkan keluarga Alina.”
Pak Darmawan mendongak dengan ekspresi datar. “Untuk apa membahas itu lagi? Sudah jelas siapa yang salah.”
“Belum tentu, Pak,” Fadli berkata tegas, menyodorkan dokumen yang ia bawa. “Aku menemukan bukti bahwa kesalahan itu sebenarnya bukan sepenuhnya tanggung jawab Pak Rinaldi. Ada manipulasi dari manajer keuangan kita waktu itu.”
Pak Darmawan membaca dokumen itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Perlahan, alisnya berkerut. “Jadi, kamu ingin mengatakan bahwa kita telah menyalahkan orang yang salah?”
“Bukan Cuma itu, Pak,” lanjut Fadli. “Aku ingin kita memberi kesempatan pada Alina untuk membuktikan kemampuannya tanpa bayang-bayang masa lalu. Kalau tidak, kita terus mengulang kesalahan yang sama.”
Pak Darmawan terdiam lama. Hening di ruangan itu hampir membuat Fadli kehilangan keberanian, tapi ia tetap berdiri tegak.
“Aku akan memikirkan ini,” kata Pak Darmawan akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Tapi jangan berharap aku langsung berubah pikiran.”
Meski belum mendapatkan jawaban pasti, Fadli merasa sedikit lega. Ia tahu ini adalah langkah kecil, tapi setidaknya ia telah memulai percakapan yang sulit.
Di sisi lain, Alina memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar untuk membuktikan ketulusannya. Ia mengetahui bahwa Darmawan Group sedang menghadapi tantangan besar terkait strategi ekspansi mereka ke pasar baru. Tanpa ragu, ia mengerahkan seluruh timnya di Prima Consulting untuk menyusun rencana yang brilian.