Runi menggandeng tangan kanan Roy dengan erat. Perempuan berusia dua puluh empat tahun itu tak mau Roy pergi darinya, meski sekedar menghampiri kucing liar di dekat mereka.
"Ante ... meong." Jemari telunjuk kurus Roy menunjuk ke arah kucing.
Kucing hitam yang sedang tiduran di sebelah tiang telepon itu, tampak mengangkat kepalanya, matanya menatap Roy seakan menyuruh anak itu mendekat padanya dan meminta untuk mengelus tubuhnya.
"Jangan, kan kita mau jalan-jalan! Nanti Roy kotor," tolak Runi.
"Gak mau!" Roy bersikeras.
Runi berusaha sekuat tenaga untuk menahan Roy. Walau anak itu berusia sepuluh tahun dan berbadan kurus, tapi memiliki kekuatan besar.
Entah, apa karena keadaan Roy yang spesial, lahir normal tapi seiring waktu berjalan, ternyata Roy memiliki cacat down sindrom.
"Ante .... " Roy bersiap mengeluarkan jurus andalannya.
Runi menatap sepasang mata Roy yang mulai berkaca-kaca, sebentar lagi tangis bocah itu akan meledak.
"Roy berhenti! Nanti Tante panggil polisi ya!" ancam Runi.
Roy terdiam. Tangisnya batal pecah, tapi air liurnya mulai berjatuhan.
Runi berjongkok dan menggunakan sapu tangan yang terpasang di baju Roy untuk menghapus air liur keponakannya itu.
"Roy anak baik dan ganteng, jangan nakal ya. Kan kita mau pergi makan dan main sama Oom Danu. Nanti kalau sudah pulang, Roy baru boleh main sama Kinuy," jelas Runi.
Kinuy itu kucing orange kecil milik tetangga depan rumah mereka.
"Gak suka," jawab Roy.
"Nggak suka Kinuy?" tanya Runi menegaskan.
Roy menggeleng.
"Jadi nggak suka apa?" tanya Runi bingung.
"Oom, jahat!" Sinar mata Roy memancar takut.
Ternyata Roy tak suka Danu.
"Nggak kok, Oom Danu itu orang baik. Kan dia yang ajak kita makan dan main di Mall," bela Runi.
Hal yang wajar, karena Runi memiliki cinta pada Danu yang telah dia kenal hampir setahun terakhir. Dia serius pada pria yang empat tahun lebih tua darinya, bahkan telah memiliki rencana untuk menikah, meski niat itu masih belum diumumkan pada ibunya. Menunggu waktu yang tepat.
Roy tak menjawab.