DI UJUNG PRAHARA

Nuraini Mufidah
Chapter #3

#2 Petaka Masa Lalu

Jam 12 malam. Seisi rumah sudah tidur, rumah itu pun tampak sunyi. Tapi tidak, tidak, masih ada yang terjaga, Tika belum bisa memejamkan mata; peristiwa kekerasan Nugroho—suaminya pada Danang, putra sulung mereka berdua, masih menghantui pikirannya. Pikirannya kosong, hampa, sehampa tatapan matanya. Tapi tiba-tiba ia mendengar mendengar suara erangan, suara rintih kesakitan. Ia tajamkan pendengarannya. Dan ketika yakin suara rintihan itu ada di dalam rumahnya, ia pun merentak bangun, lalu beranjak keluar kamar dan ia pun tahu, suara erangan itu berasal dari kamar Danang. Maka ia pun merentak menuju ke kamar Danang. Di bukanya pintu kamar Danang yang tidak dikunci itu dan ia dapati mata Danang yang terpejam, tapi mulutnya mengerang-erang seperti orang kesakitan, rupanya Danang mengigau. Melihat hal ini Tika merasa cemas dan spontan ia berteriak-teriak membangunkan suaminya. Tapi seisi rumah ikut terjaga.

    Ketika suami dan kedua anaknya yang lain muncul di kamar Danang, tampak Tika sudah berada di pembaringan sambil mengelus-elus lembut kepala Danang. Wajah Tika tampak sedikit cemas.

    “Sayang, bangun, Danang, ini Bunda sudah ada di sampingmu,” suara Tika juga terdengar lembut, tapi bercampur cemas. Namun Danang masih terus mengigau, suhu badannya tinggi. Melihat hal ini, sang suami ikut merasa cemas. Ia merasa bersalah, telah menghajar Danang terlalu keras tadi. Ia pun menghela nafas berat.

    “Aku panggil Dokter ya, Bun?” tananya kemudian

     Tika menggeleng kuat-kuat sambil terus membelai-belai lembut kepala Danang, sampai akhirnya Danang terjaga. Tika pun menghela nafas lega.

    “Bunda, teman saya tidur...,” pinta Danang dengan suara lirih dan parau.

    “Ya, ya, Bunda temani kamu tidur, sayang,” kata Tika sambil terus membelai-belai rambut Danang. Sementara itu dengan isyarat tangan ia menyuruh suami dan kedua anaknya yang lainnya untuk kembali ke kamarnya masing-masing. Ketiganya mengerti dan segera berlalu, tapi sebelum berlalu Nugroho menutup dulu pintu kamar Danang.

    Ada Bunda menemani tidurnya, Danang tampak tenang, ia pun segera kembali terlelap. Tapi Tika belum juga bisa memejamkan mata. Kata-kata suaminya yang terdengar sinis tadi, kembali mengiang di telinganya: “Danang bukan anakku, tapi anakmu!” Oh, benarkah begitu? Benarkah begitu? Ia pun menghela nafas berat dan teringatlah ia pada lika-liku cintanya di masa lalu.   

***

     Kartika Kurniawati adalah gadis yang cantik dan anggun, karena itu tidak mengherankan ketika ia mulai duduk di bangku SMA banyak cowok teman satu sekolah yang memburu cintanya. Tapi saat itu Tika bersikap acuh, seakan tak menghiraukan, padahal diam-diam ia sedang menilai, cowok mana yang paling ideal untuk dijadikan kekasih. Dan ketika sudah duduk di kelas 2, pilihan Tika jatuh pada Nugroho Prakoso, cowok yang paling ganteng, paling keren dan paling pintar di sekolah, walau sesungguhnya keduanya beda tingkat; Tika masih duduk di kelas 2, sedang Nugroho sudah duduk di kelas 3. Tapi saat itu keduanya sering bertemu, karena 

kebetulan keduanya sama-sama duduk sebagai pengurus Osis. Nugroho sebagai Ketua Osis, sedang Tika duduk di Seksi Bendahara.

    Lulus dari SMA Nugroho melanjutkan kuliah mengambil elektro dan setahun kemudian setelah lulus SMA Tika kuliah mengambil ekonomi. Dan sejauh ini jalinan cinta keduanya tetap berjalan dengan baik. Tapi ketika Nugroho sudah sampai di semester tujuh, datang prahara. Kala itu Doni—yang boleh dibilang masih kerabat jauh dari keluarga Tika—jatuh cinta pada Tika. Doni sudah bekerja di sebuah perusahaan multi nasional dengan posisi yang cukup mapan, sebagai Asisten Manajer alias Asmen. Walau begitu Tika enggan menerima cinta Doni, cinta Tika seutuhnya tetap untuk Nugroho. Tapi Doni pantang menyerah, ia dekati kedua orangtua Tika, bahkan langsung pula melamarnya, dengan janji yang begitu manis: Kalau sudah menikah nanti, Doni bersedia menanggung biaya kuliah Tika yang tinggal tiga semester lagi. Saat itu Tika sudah sampai di semester lima. Orangtua Tika yang memang bukan termasuk orang kaya, tergoda dengan rayuan Doni yang memang sudah mapan, rumah sudah punya, mobil juga sudah punya. Maka kedua orangtua Tika pun memaksa, agar Tika mau menerima cinta Doni. Tentu saja Tika menolaknya. Tika ingat, kala itu ia bersitegang dengan kedua orangtuanya, karena ia menolak lamaran dari Doni.

    “Bapak dan Ibu jangan memaksa,” ucap Tika kala itu. “Karena saya sudah terlanjur jatuh cinta pada Kak Nugroho, apalagi ikatan cinta kami berdua sudah terjalin cukup lama.”

   “Alaa... cinta anak anak sekolahan, cinta remaja, lama atau sebentar itu bukan jaminan untuk bisa hidup bahagia dalam membina rumah tangga,” sela Bapak. “Karena kalau sudah berumah tangga, bukan hanya cinta yang dibutukan, tapi juga materi, harta. Walau pada mulanya tidak cinta, tapi kalau ada materi, ada harta, disertai dengan kasih kayang, perlahan-lahan pasti cinta itu akan menghampiri hatimu. Tapi bila rumah tangga tanpa materi, tanpa harta, cinta yang menjulang pada awalnya, perlahan-lahan pasti akan ambyar, akan hancur.”

    “Benar Tika, apa yang diucapkan oleh Bapakmu itu,” Ibu ikut bersuara. “Walau Nugroho sudah hampir rampung kuliahnya, tapi masa depannya masih teka teki. Kau tahu kan, berapa banyaknya sarjana yang menganggur. Tentu begitu juga nantinya Nugroho, walau dia bakal menyandang gelar Sarjana Tehnik. Tapi Doni, masa depannya sudah jelas. Di usianya yang baru duapuluh tujuh tahun sekarang ini, dia sudah cukup mapan, jabatannya sudah Asisten Manajer.”   

    Tika terdiam. Ia tahu, apa yang dikatakan oleh Bapak dan Ibunya itu memang benar. Tapi, cinta itu masalah hati, tentu tidak semudah itu mengalihkannya. Lidahnya jadi kelu, tak tahu harus ngomong apa; karena ia enggan terus bersitegang dengan kedua orangtuanya.

    “Ingat Tika, kamu punya tiga adik yang masih membutuhkan banyak biaya untuk pendidikannya,” Bapak terus nyerocos. “Kalau kamu menikah dengan Doni, tentu beban Bapak sedikit ringan dan cita-cita Adikmu yang terkecil, Aster yang ingin kuliah di kedokteran pasti bakal tercapai.”

    Jadi supaya Aster bisa menggapai cita-citanya, aku sebagai Kakak tertua harus mengorbankan cintaku? Cis! Ingin Tika berkata begitu, tapi ditahannya, sehingga dadanya merasa sesak.  

    “Benar Tika,” Ibu menambahkan. “Apalagi, sekitar dua tahun lagi Bapakmu akan pensiun.  Tentu nanti pengasilannya akan jauh berkurang, walau Bapakmu masih bisa nyambi kerja di tempat yang lain.”

     Pak Karta Raharjo—Bapaknya Tika adalah pegawai negeri golongan empat, gajinya memang lumayan besar, tapi demi membuat keluarganya dapat hidup lebih sejahtera, sepulang kerja ia nyambi kerja di sebuah perusahaan swasta, part timer.   

    “Jadi memang sangat tepat kalau kamu menjatuhkan pilihan cintamu pada Doni,” lanjut Ibu.  

    Tika masih membisu. Lama.

    “Kenapa kau diam saja?” suara Bapak meninggi.   

    “Beri saya waktu untuk berpikir, Pak,” suara Tika pelan.

      “Alaa... kok pakek mikir segala,” potong Bapak cepat. “Sudah jelas, ceto welowelo, secara ekonomi Doni sudah mapan, buat apa pakek mikir segala?”

    Kali ini Ibu bersikap bijaksana. “Sebaiknya memang kita beri waktu Tika untuk mempertimbangkan masalah ini, Pak,” katanya.”Tapi aku yakin, Tika nggak akan mengecewakan kita. Pasti nanti, pilihan cintanya jatuh pada Doni.” 

    Tika menghela nafas lega atas pembelaan yang diberikan oleh Ibunya, tapi akibatnya semalaman ia tidak bisa tidur; pikirannya dilibat kebingungan, antara memenuhi kata hati atau menuruti permintaan kedua orangtuanya. Tapi entah dari mana datangnya, menjelang subuh sebuah ide melintas di benaknya. Dan setelah itu baru ia bisa terlelap.   

***

    Minggu pagi itu Tika datang bertandang ke rumah Nguroho dan Nguroho sedikit terkejut, karena tadi malam ia telah wakuncar ke rumah Tika dan Tika tidak ngomong kalau Minggu pagi ini ia akan bertandang ke rumahnya. 

    “Ada apa nih, pagi-pagi udah datang ke sini?” kening Nugroho berlipat.

    “Pingin aja...,” ucap Tika dengan gaya manja. “Nggak ganggu acaramu, kan?”

Lihat selengkapnya