Pagi harinya Danang sudah bisa ikut sarapan bersama seperti biasanya, tapi raut wajahnya masih muram, tidak ceria seperti biasanya. Berbeda dengan kedua adiknya, Didit dan Dian yang tampak sangat ceria. Dan di sela-sela sarapan itu Didit bertanya:
“Yah, atas kenaikan kelas saya kali ini, hadiahnya apa?” Didit menatap sang Ayah. Ia ingat, tahun lalu saat naik kelas, ia, Danang dan Dian diajak Ayah beli sepatu dan tas sekolah yang baru.
“Iya Yah, hadiahnya apa?” susul Dian setelah menelan nasi di mulutnya.
“Hem, apa, ya?” sambil mengunyah nasi Nugroho tampak berpikir. “Nanti ya, selesai makan, baru Ayah kasih tau.”
Didit dan Dian jadi nggak sabaran, tampak keduanya mengunyah nasi dengan terburu-buru, ingin cepat selesai sarapannya. Tapi ternyata tetap Ayah dan Bunda yang lebih dulu menghabiskan santapannya.
Dan begitu selesai mengunyah dan menelan suapan terakhir, Didit dan Dian secara bersamaan langsung menyergah: “Hadiahnya apa, yah?”
“Hem...,” sambil melap mulut dengan tisu Ayah tersenyum-senyum. “Bagaimana kalau hari Minggu besok kita jalan-jalan ke Ancol?” katanya kemudian.
“Cihuy...,” Didit dan Dian bersorak girang.
“Yah, di Ancol nanti kita ke Sea World, ya?” pinta Dian.
“Ah, jangan!” potong Didit. “Kurang seru. Kita ke Dufan aja, Yah.”
“Sudah sudah, kalian berdua nggak usah bertengkar,” sela Nugroho. “Hari Minggu nanti, kita ke Sea World dulu, setelah itu, baru kita ke Dufan.”
“Hore...,” Didit dan Dian melonjak-lonjak girang.
“Saya boleh ikut ke Ancol kan, Yah?” Danang yang dari tadi diam, tiba-tiba bersuara.
“Tidak. Kamu di rumah aja,” sahut Nugroho cepat. Lalu bangkit dari duduk dan ditatapnya Danang dengan pandangan sinis. “Anak kok pandainya cuma menggambar,” katanya dengan suara sinis pula. “Masa depan apa yang bisa kamu raih dengan kepandaian menggambar itu.”
Tika hendak protes dengan sikap suaminya yang terus bersikap sinis pada Danang, tapi Nugroho segera beranjak meninggalkan meja makan. Tika pun beranjak mendekati Danang, lalu didekapnya anak sulungnya itu dengan penuh kehangatan.