DI UJUNG PRAHARA

Nuraini Mufidah
Chapter #8

#7 Derita Danang, Kegembiraan Didit dan Dian

Selang satu bulan kemudian, Nugroho resmi menjabat sebagai Direktur di kantor tempatnya bekerja. Ekonomi keluarganya pun semakin terangkat. Bukan hanya gajinya Nugroho yang semakin besar, tapi fasilitas kemewahan lainnya juga ia dapatkan, seperti mobil dinas yang mewah sekaligus bersama sopir pribadinya. Sehingga sangat wajar kalau kedua anaknya yang berada di rumah, Didit dan Dian, ikut menikmati fasilitas kemewahan itu. Kalau dulu, saat Nugroho masih sebagai manajer pemasaran, ketiga anaknya selalu berangkat dan pulang sekolah naik kendaraan umum, (walau sekali-kali, sambil berangkat kerja, suka juga Nugroho mengantar ketiga anaknya sampai sekolahnya masing-masing). Tapi sekarang, demi memanjakan kedua anaknya yang tinggal di rumah, Didit dan Dian, Nugroho membeli mobil yang baru dan menggaji sopir pribadi khusus untuk keluarganya, yang tugasnya mengantar dan menjemput Didit dan Dian bersekolah, juga mengantar istrinya, Tika, bila hendak shopping. Dan bukan hanya itu, Didit dan Dian juga menikmati kemewahan lainnya, yaitu uang saku keduanya semakin besar. 

    Sebagai wanita, istri dan juga sebagai Ibu, tentu Tika senang dengan semua kemewahan yang ia dapatkan dari karier suaminya yang terus menanjak itu. Tapi di sisi lain, hatinya terenyuh, karena putranya yang sulung, Danang, mondok di pesantren. Tika pernah mendengar dari tetangganya, seberapa pun besar dan ternamanya sebuah pesantren, fasilitas yang disediakan untuk para santrinya, pasti ala kadarnya, sangat sederhana. Tidur bersama-sama di kamar yang besar, alasnya hanya kasur busa yang tipis. Saat mandi harus antri di kamar mandi yang mirip dengan kamar mandi umum. Begitu pula saat makan, juga harus antri, dengan menu ala kadarnya pula. Kalau begitu keadaannya, oh, betapa nelangsanya hidupmu, Danang, hati Tika merintih sedih. Sementara di sini, di rumah ini, kedua adikmu, Didit dan Dian hidup dalam kemewahan yang melimpah.

    Tiba-tiba Tika rindu, sangat rindu pada anak sulungnya itu. Apalagi saat ini memang sudah tiga bulan Danang mondok di pesantren. Ingin sekali Tika mengunjunginya dan mencurahkan sepenuh hati kasih sayangnya pada Danang, seperti saat Danang masih tinggal di rumah, sebelum ia mondok di pesantren. Tapi bagaimana caranya? Sebab suaminya, jelas-jelas sudah melarangnya untuk mengunjungi Danang, selama Danang mondok di pesantren. Oleh karena itu, ketika siang ini telpon rumahnya berdering dan ternyata itu telpon dari Danang, Tika sangat gembira. (Saat itu masih tahun 90 an, belum ada HP di Negeri ini). 

        “Danang, bagaimana kabarmu, Nak?” tanya Tika kemudian dengan suara penuh kerinduan pada putra sulungnya itu.

    “Baik-baik, Bunda,” ucap Danang dari seberang sana, tapi nada suaranya terdengar sedikit murung.

     “Betah kamu mondok di pesantren?” tanya Tika pula. 

    “Ya dibetah-betahin, Bunda,” sahut Danang. “Ini kan kehendak Ayah.”

    Diam-diam Tika menghela nafas panjang, sejuta pilu menusuk hatinya.

    “Bunda, kapan Bunda, Ayah, Dik Didit dan Dik Dian mengunjungi saya di pesantren?” tanya Danang kemudian.

    Sejenak Tika gelagapan, harus menjawab apa? Tapi secepat itu ia sadar, ia tidak mau membuat Danang terlalu mengharap, agar tidak terlalu kecewa. Maka Tika pun bicara jujur:

    “Nanti Bunda tanyakan pada Ayah. Kalau Ayah setuju, pasti kami semua segera mengunjungimu.”

     “Baik, Bunda,” kata Danang pasrah. “Tapi saya sangat menunggu kunjungan Bunda, bersama Ayah dan Dik Didit dan Dik Dian.”

    Diam-diam Tika kembali menghela nafas panjang. Sejuta pilu juga kembali menusuk hatinya.

    “Oya Danang, ini kamu telpon dari mana?” tanya Tika kemudian.

    “Dari wartel, Bunda,” jelas Danang lagi. “Kebetulan ini jam istirahat dan ada keperluan sekolah yang harus saya beli, jadi diijinkan keluar dari pesantren.”

     Penjelasan ini membuat Tika jadi ingin tahu, dari mana Danang punya uang.

     “Oya Danang, dari mana kamu punya uang?” tannya kemudian. 

     “Dari pengurus pesantren, Bunda,” terang Danang. “Katanya itu uang saku pemberian dari Ayah.”

     Kali ini Tika menghela nafas lega, suaminya masih mau memberi uang saku pada Danang, walau Tika yakin, jumlahnya nggak akan banyak. Maka kemudian, sebelum mengakhiri telpon itu Tika menanyakan alamat Danang yang bisa dihubungi. Tika berencana, secara diam-diam akan mengirim uang melalui wesel, untuk tambahan uang saku Danang.

***

    Seperti biasanya, sebelum Nugroho berangkat kerja, Tika selalu menjabat dan sekaligus mencium tangan suaminya itu, sedang Nugroho membalasnya dengan mencium kening Tika. Itulah kemesraan yang telah keduanya lakukan sejak awal mereka menikah dan sampai kini tetap terjaga dengan baik. Memang awalnya Nugroho yang memulai kebiasaan yang baik ini, tapi akhirnya Tika yang merasa ada yang kurang, kalau belum menjabat dan mencium tangan suaminya, saat sang suami akan berangkat kerja. Dan dampaknya memang menjadi kebaikan untuk keduanya. Karena bila ada masalah keluarga dan keduanya terpaksa harus cekcok, bersitegang, ketegangan itu pasti sudah mencair saat Nugroho akan berangkat kerja. Dengan demikian keharmonisan rumah tangga itu tetap terjaga dengan baik.

    Sehingga Tika pun merasa, inilah waktu yang tepat untuk mengemukakan hasratnya yang ingin mengunjungi Danang. Tapi sungguh di luar dugaan Tika, suaminya tetap saja meradang dengan permintaannya ini.  

    “Aku kan sudah bilang, jangan mengujungi Danang. Biar anak itu tumbuh jadi anak yang mandiri di pesantren. Kenapa kamu masih minta ijin juga untuk mengunjunginya?!” kata Nugroho dengan nada tinggi. 

    Langsung Tika diam, karena ia tidak ingin cecok yang membuat pikiran suaminya rusuh saat berada di kantor tempatnya bekerja nanti. Dan ini memang ketegangan pertama yang terjadi di antara keduanya, di saat Nugroho akan berangkat kerja. Tapi hasilnya: sekarang Tika benar-benar yakin, tak ada kesempatan baginya untuk mengunjungi putra sulungnya itu.

    Akhirnya, Tika pun hanya bisa menulis surat dan mengirim tambahan uang saku untuk Danang melalui pos wesel.

Lihat selengkapnya