Waktu memang sesuatu yang boleh dibilang aneh. Bila kita menunggunya, waktu serasa berjalan lambat, bahkan terkadang terasa berjalan sangat lambat, seperti jalannya siput. Tapi bila kita tidak menunggunya, maka waktu terasa berjalan begitu cepat, sangat cepat, bahkan terkadang waktu serasa melesat bagai meteor. Dan hal itulah yang terjadi pada Danang. Empat tahun mondok di pesantren, rasanya hanya sekejap, hanya sebentar saja, karena ia menemukan kedamaian, ketentraman di sana. Betapa tidak. Karena di pondok pesantren, tak ada waktu yang terbuang percuma, hampir tak ada waktu untuk berhura-hura. Sepenuh hari, sepanjang minggu terus-menerus dipergunakan untuk belajar dan belajar dalam segala hal—baik itu pelajaran agama maupun umum—dari bangun tidur jam 3 dini hari untuk shalat tahajjud, sampai jam 9 malam waktunya tidur. Bayangan!.
Jadi tidaklah mengherankan, kalau anak-anak jebolan pesantren, rata-rata tumbuh menjadi anak-anak yang penuh pecaya diri, ulet dan mandiri. Begitu pula dengan Danang. Lulus dari pesantren yang kurikulumnya mengikuti patron pemerintah alias aliyah (setingkat SMA), Danang ingin sekali melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Dan niatan itu ia utarakan pada Ayah dan Bunda, seperti biasanya, di ruang santai, ruang keluarga sambil nonton TV, seusai makan malam bersama.
Bunda langsung menyambut keinginan Danang itu dengan antusias.
“Bagus Danang,” kata Bunda lagi. “Bunda setuju. Kamu memang harus melanjutkan pendidikanmu ke perguruan tinggi, biar masa depanmu cerah, seperti Ayah.”
“Tapi saya ingin mengambil seni rupa, Bun,” ucap Danang. “Boleh?”
“Tentu boleh,” sahut Bunda. “Itu kan sesuai dengan hobimu, dengan kepandaianmu, menggambar.”
Namun belum sempat Danang mengucapkan terima kasih atas persetujuan dari Bunda, sang Ayah, Nugroho sudah lebih dulu menyembur.
“Tidak, aku tidak setuju Danang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi,” nada suaranya sinis. “Walau dia sekolah di pesantren, liat nilai-nilai raportnya, tetap pas-pasan. Kalau dipaksakan kuliah, nanti malah akan jadi beban mental untuk dirinya.”
“Jadi beban mental itu, kalau kita yang memaksa Danang untuk kuliah,” Tika, sang Bunda coba membela anak sulungnya itu. “Tapi ini yang berhasrat untuk kuliah Danang sendiri. Jadi mana mungkin hal itu akan jadi beban mental untuk dirinya? Apalagi Danang juga ingin mengambil seni rupa, bidang yang sesuai dengan hobinya, dengan kepandaiannya.”
“Tidak,” potong Nugroho cepat, sangat cepat. Nada suaranya terdengar makin sinis. “Sekali tidak , tetap tidak. Apalagi mengambil jurusan seni rupa. Itu hanya buang-buang duit. Seni rupa, masa depan yang nggak jelas. Lebih baik cari pekerjaan, itu lebih realistis.”
“Yah...!” Tika akan protes, tapi Nugroho sudah merentak pergi ke ruang depan.
Tika menghela nafas sepenuh dada dan setelah itu ia akan memeluk Danang, untuk menentramkan hatinya. Tapi rupanya Danang juga sudah pergi dari ruang santai, menuju ke kamarnya. Maka dengan sedikit bergegas Tika mengayunkan langkahnya menuju ke kamar Danang. Pas sampai di depan kamar Danang, pintu itu akan ditutup oleh Danang, tapi cepat Tika menahannya. Tahu akan hal ini Danang tidak jadi menutup pintu, tapi ia langsung menghambur ke arah kasur dan sambil tengkurap di atas kasur terdengar ia sesenggukan.
Tika menghampirinya, lalu dibelai-belainya buah hatinya yang sulung itu. Rasa haru diam-diam merambati hatinya, hati seorang wanita, hati seorang Ibu. Tapi ia pun segera sadar, ia harus tegar. Karena ketegaran itu pula yang ingin ia salurkan pada Danang.
“Danang, jangan kamu menangis, Nak,” ucapnya dengan suara yang ia buat tegar. “Kamu harus tetap sabar dan tetap tabah dalam menghadapi sikap kasar Ayahmu.”
Danang membalikkan badan, lalu dengan mata berlinang ia berkata: “Tapi kenapa Bun, Ayah selalu bersikap kasar pada saya, selalu menolak keinginan saya, walau itu untuk masalah pendidikan?”
Sejenak Tika tercekat, terdiam, tak tahu harus ngomong apa. Tapi celah yang baik untuk bicara segera ia temukan.
“Danang, masa kuliah itu sebenarnya menunjukkan, bahwa kamu sudah mulai dewasa,” katanya kemudian dengan lembut, tapi penuh tekanan. “Jadi maksud Ayahmu sesungguhnya baik. Karena kamu dianggap sudah mulai dewasa, kalau ingin kuliah, ya pakek biaya sendiri.”
Kali ini Danang yang terdiam. Setelah menghapus air mata dengan tangannya, ia coba memahami kata-kata Bundanya.
Kemudian: “Tapi saya bisa punya uang dari mana, Bun. Kan saya belum bekerja?”
Sang Bunda tersenyum, karana ia merasa, walau sedikit telah berhasil mengikis rasa benci Danang pada Ayahnya.
“Ya untuk itu kamu memang harus cari kerja dulu, untuk cari uang.,” tukasnya kemudian. “Tapi kerja cari uang itu nggak harus di kantor, atau di pabrik. Bisa juga melalui ketrampilan dan kepandaian yang kamu miliki. Kamu kan pandai menggambar, carilah murid yang mau belajar menggambar ke kamu, dari sana tentu kamu akan dapat duit. Kamu juga kan udah cukup pandai berbahasa Inggris dan bahasa Arab, cobalah kamu melamar jadi staf pengajar di Lembaga Kursus bahasa Inggris, atau bahas Arab. Dari sana tentu kamu juga bisa dapat duit. Atau mungkin kamu mau memberi les privat untuk kedua bahasa itu? Hal itu juga bisa mendatangkan uang.”
Kali ini Danang mengangguk-angguk, kesedihan sudah lenyap dari hatinya, wajahnya kini tampak menyemburatkan rasa senang.
“Terima kasih Bunda, atas sarannya,” katanya kemudian. “Saya akan segera mencoba untuk mencari uang sendiri. Dan setelah terkmpul nanti, saya akan kuliah dengan biaya sendiri.”
Mendengar ini Bunda merasa sangat gembira dan ia langsung mendekap Danang. Dan dengan rasa haru dan bahagia yang melingkupinya kini, ia berkata: “Bunda doakan Danang, semoga nanti Allah memberi kamu jalan yang mudah dalam mencari uang.”
“Aamiin,” ucap Danang spontan. “Terima kasih atas doanya, Bun.”
Dan malam itu, tatkala melaksanakan shalat tahajjud, hanya satu doa yang Danang panjatkan: Semoga Allah memberi jalan yang mudah baginya untuk segera bisa mencari uang sendiri.
***
Danang mulai aktif shalat berjamaah di masjid yang ada di kompleks perumahan tempat tinggalnya, dari shalat subuh sampai shalat isak. Namun Danang bukan hanya sekadar shalat, tapi ia juga mengamati dengan seksama semua aktivitas yang ada di masjid itu, Masjid An-Nuur namanya. Danang tahu, nama itu diambil dari salah satu surat dalam Kitab Suci Alquran, yang artinya cahaya.
Seminggu kemudian, Danang sudah bisa mengambil kesimpulan, segala sesuatu yang ada di Masjid An Nuur sudah fix, sudah teratur, sudah mapan. Bangunan masjid dua lantai itu sudah rampung dan mentereng pula, bagus dan megah. Lantai kedua khusus dipergunakan untuk shalat berjamaah, sedang lantai pertama dipergunakan untuk berbagai macam kegiatan, dari belajar mengaji sampai komersial, karena lantai pertama memang disewakan untuk orang-orang yang mau mengadakan resepsi pernikahan. Dan uang hasil dari sewa dipergunakan untuk merawat masjid dan membiayai semua aktivitas yang ada di masjid itu. Dengan keadaan yang sudah fix seperti itu, tentu saja Dewan Pengurus Masjid sudah terbentuk dan semua agenda kegiatan masjid juga sudah terjadwal dengan baik, termasuk di dalamnya kegiatan Remaja Masjid.
Dengan keadaan yang sudah mapan seperti itu, sebenarnya Danang tahu, kalau ia tidak akan dapat berbuat banyak di Masjid An Nuur. Tapi walau begitu ia tetap mencoba aktif mengikuti semua kegiatan yang ada di masjid itu, termasuk kegiatan Remaja Masjid.
Dan dugaan Danang benar, tak ada sesuatu yang dapat ia perbuat di masjid itu, kecuali menjadi peserta biasa. Ia tidak puas. Sayangnya Danang sedikit telat bergerak. Baru sembilan bulan kemudian, sesekali ia mulai mencoba shalat berjamaah di masjid yang ada di perkampungan yang letaknya ada di belakang kompleks perumahan tempat tinggalnya.
Satu minggu kemudian, Danang dapat mengambil kesimpulan, kalau di masjid ini, Masjid Al Jihad namanya, ia akan dapat berbuat banyak. Karena Masjid Al Jihad bangunannya belum seutuhnya rampung dan kegiatan yang ada di masjid juga belum banyak, walau Dewan Pengurus Masjid sudah terbentuk. Maka hari-hari berikutnya Danang selalu shalat berjamaah di Masjid Al Jihad. Akhirnya ia pun tahu, kalau di Masjid Al Jihad belum terbentuk Remaja Masjid.
Maka satu bulan kemudian, seusai shalat magrib berjamaah Danang memberanikan diri menemui Ketua Dewan Pengurus Masjid Al Jihad, Pak Miswar, di bilik ruang kerjanya yang nyempil di sisi kiri masjid. Danang memang sudah tahu, bila selesai shalat magrib berjamaah Pak Miswar selalu masuk ke bilik ruang kerjanya.
“Assalamualaikum...,” Danang memberi salam setelah lebih dulu mengetuk pintu yang terbuat dari kayu triplek yang belum dicat itu.
“Waalaikumssalam...,” sahut Pak Miswar, lalu mengangkat wajah dari pekerjaan yang sedang ditekuninya di atas meja.
Lalu: “Oh Danang, silakan masuk...,: katanya ramah. Tadi pagi, di dalam masjid seusai sahalat subuh berjmaah, Danang memang telah berpesan pada Pak Miswar, kalau magrib ini ia ingin bicara dengan Pak Miswar.
Danang pun masuk dan duduk di kursi plastik yang ada di seberang meja di hadapan Pak Miswar.
“Sibuk, Pak?” tanyanya basa-basi.
Pak Miswar tersenyum. “Biasa, urusan masjid,” ucapnya lagi. “Kalau pagi saya sibuk di kantor tempat saya bekerja. Dan selesai shalat magrib baru bisa mengerjakan urusan masjid.”
“Memang Pak Miswar kerja di mana?” Danang kembali berbasa-basi.
“Staf di Kantor Gubernur,”
“Wah, ternyata Pak Miswar orang hebat,” puji Danang.
“Ah, bisa aja, ente...,” kali ini Pak Mikswar ketawa. “Oya, apa yang mau kamu omongkan ke saya?” tanyanya kemudian.
“Saya mau usul, Pak...”
“Usul masalah apa?” sela Pak Miswar tak sabar, keningnya sedikit berkerut.
“Bagaiamana kalau di Masjid Al Jihad ini dibentuk Perkumpulan Remaja Masjid.”
Pak Miswar mengangguk-angguk. “Sebenarnya masalah itu sudah agak lama saya pikirkan,” katanya kemudian. “Tapi saya masih maju mundur untuk membentuknya, karena pembangunan masjid ini masih berjalan, masih belum rampung. Jadi saya pikir, membentuknya nanti saja setelah pembangunan masjid selesai.”
“Kalau saya berpikir sebaliknya, Pak,” ujar Danang. “Justru sekarang saat yang tepat untuk membentuk Perkumpulan Remaja Masjid, karena anak-anak remaja masjid bisa membantu bergerak untuk mencari dana, supaya pembangunan masjid ini cepat selesai.”
Pak Miswar kembali mengangguk-angguk. Ucapan Danang telah mencerahkannya.
“Benar juga kamu, Nang,” tukasnya kemudian. “Idemu cemerlang. Nggak percuma kamu empat tahun mondok di pesantren.”
“Jadi boleh ya Pak, kalau sekarang saya membentuk Perkumpulan Remaja Masjid?” sela Danang. Kali ini ia yang tidak sabaran.
“Ya boleh, boleh. Bagus itu,” Pak Miswar mengacungkan jompol kanannya. “Untuk sementara ini, kamu saya tunjuk sebagai Ketuanya. “
“Oh, terima kasih, Pak. Ini kehormatan buat saya.” Wajah Danang tampak haru dan bahagia.
“Saya minta kamu cepat bergerak,” saran Pak Miswar. “Agar ide kamu membantu cari dana untuk menyelesaikan pembangunan masjid ini dapat segera terealisasi.”
“Baik, Pak,” kata Danang dengan anggukkan dan suara yang mantap.
***
Biasanya malam hari selesai melaksanakan shalat isak berjamaah di Masjid Al Jihad, di rumah Danang nontion TV atau coret-coret, asyik membuat kaligrafi; tapi kali ini ia tekun di depan komputernya, sibuk membuat woro-woro, pengumuman, untuk pembentukkan Perkumpulan Remaja Masjid.
Hanya dalam tiga puluh menit, setengah jam, pengumuman itu rampung ia garap. Setelah ia baca ulang, lalu ia print.
Danang melihat jam weker di atas meja belajarnya: 08. 25 menit. Ah, belum terlalu malam, batinnya. Jam segini Ayahnya belum pulang dari kantor, mungkin ada rapat. Maka Danang hanya pamitan pada Bunda dan setelah mencium tangan Bunda, Danang pun kembali beranjak ke Masjid Al Jihad dengan membawa kertas print pengumuman dan paku payung.
Sampai kembali di Masjid Al Jihad, kebetulan pintu gerbang—yang sementara ini masih terbuat dari bambu—belum ditutup oleh takmir, pengurus masjid, Danang pun langsung menuju ke papan pengumuman yang dipajang di dinding dekat pintu masuk dan segera pula dengan paku payung ia menempelkan kertas print pengumuman itu di papan pengumuman.
Sesudah pengumuman itu tertempel dengan baik di papan pengumuan, Danang membaca ulang sekali lagi pengumuman yang ia buat sendiri itu: