DI UJUNG PRAHARA

Nuraini Mufidah
Chapter #10

#9 Surat dari Sahabat

Sejak keluar dari Aliyah di pondok pesantren dan tidak perbolehkan kuliah, bahkan keberadaannya di rumah tidak digubris oleh Ayahnya, Danang tidak pernah lagi terlibat, atau tepatnya tidak pernah dilibatkan dalam acara keluarga, sehingga semua aktivitas kesehariannya selalu ia lakukan dan ia kerjakan seorang diri. Begitu juga saat makan; ia tidak pernah lagi sarapan pagi, maupun makan malam bersama Ayah, Bunda dan kedua adiknya, Didit dan Dian. Sehingga ia makan sesuka-sukanya. Kalau sudah benar-benar lapar, baru ia makan.

    Seperti hari ini. Jam 9 Danang baru sarapan; setelah tadi berolah raga ringan—seusai shalat subuh—dan mencuci baju. Dan saat sedang sarapan inilah pembantu rumah, Bi Diah menghampirinya.

    “Den, ada surat dari Pak Pos,’ kata Bi Diah sambil menyorongkan sepucuk surat.

    “Oh, terima kasih, Bi,” ucap Danang sambil mengunyah nasi.

    Bi Diah berlalu dan Danang sambil terus makan membaca sepintas lalu pengirim surat itu. Ternyata itu surat dari Dadang—teman akrabnya selama mondok di pesentren—yang rumahnya di Bandung. Ada apa nih, kok tiba-tiba Dadang mengirim surat? batin Danang, penasaran. 

    Maka selesai makan, di kamarnya Danang membaca surat dari Dadang itu:   

Lihat selengkapnya