DI UJUNG PRAHARA

Nuraini Mufidah
Chapter #12

#11 Danang Difitnah

Dengan dana segar yang didapat dari pagelaran Malam Kesenian, pembangunan Masjid Al Jihad yang sedikit tersendat, kini dapat dikerjakan dengan lebih cepat dan hanya dalam tempo dua bulan bangunan masjid sudah tampak lebih rapi, lebih bersih. Dan hal ini membuat Danang, selaku Ketua Remaja Masjid Al Jihad terdorong untuk lebih menggalakkan kegiatan Remaja Masjid.

    Pertama-tama dibuka kelas mengaji untuk anak-anak SD dan Danang sendiri yang akan bertindak sebagai guru mengajinya. Peminatnya banyak dan yang mendaftar sebagai peserta bukan hanya anak-anak SD, tapi juga anak SMP dan SLA. Rupanya di sekitaran Masjid Al Jihad masih banyak anak remaja yang masih buta aksara Arab, masih belum bisa mengaji. Maka terpaksa Danang membuat dua kelas mengaji; satu kelas mengaji untuk anak-anak SD, satunya lagi kelas mengaji untuk anak-anak remaja. Waktunya: Senin sampai Jumat, selepas shalat asar, diselang-seling, satu hari kelas mengaji untuk anak-anak SD, hari berikutnya untuk kelas mengaji anak-anak yang sudah remaja.

   Sedang hari Sabtu dan Minggu diadakan kajian Agama Islam dengan mendatangkan penceramah-penceramah kondang dan biaya penyelenggaraannya ada dua kas. Sebagian diambil dari iuran anggota Remaja Masjid, sebagian lagi sumbangan dari kantong pribadi Pak Miswar.   

    Ada satu lagi kegiatan yang digalakkan oleh Danang—hal ini juga yang dulu Danang lakoni selama ia mondok di pesantren—yaitu shalat sunah tahajjud berjamaah pada jam 3 dini hari dan usai shalat tahajjud berjamaah dilanjutkan dengan dzikir sampai waktu shalat subuh tiba. 

    Alhamdulillah sudah tiga bulan semua kegiatan yang digalakkan Danang di Masjid Al Jihad itu berjalan lancar, sampai suatu hari, malapetaka kembali menerjang Danang.   

    Pagi itu cuaca cerah. Matahari yang belum terlalu tinggi dan sinarnya masih belum terlalu menyengat tentu nyaman kalau dipergunakan untuk berjemur menghangatkan badan. Tapi bukan, bukan berjemur yang ingin Danang lakukan pagi itu. Sesekali ia ingin duduk santai di kursi teras depan rumahnya sambil memandangi bunga-bunga yang tertata dan terawat dengan baik yang tumbuh di halaman depan, meski halaman depan itu tidak terlalu luas.

    Danang ingat, waktu ia mulai masuk SD, sore-sore selepas asar, kala sinar matahari sudah mulai meredup, sinarnya sudah tidak menyengat lagi, sering kali Bunda mengajaknya menanam bunga baru sekaligus merawat bunga-bunga yang sudah tumbuh di halaman depan itu. Dan didikkan Bunda yang bagus itu akhirnya menjadi kebiasaan. Bila ada waktu senggang Danang senang merawat bunga-bunga yang tumbuh di halaman depan itu dan kebiasaan yang bagus itu terhenti ketika Ayah memindahkannya sekolah dengan mondok di pesantren. Ah ah...memang baru sekarang Danang ingat, sudah lama, lama sekali ia tidak ikut merawat bunga-bunga yang tumbuh di halaman depan rumahnya itu. Tapi walau begitu halaman depan rumah tetap asri, karena Bunda terus merawatnya dengan intens. Dan sekarang, entah mengapa tiba-tiba saja ia ingin menikmati keasrian taman halaman depan rumahnya itu. Ya, siapa tahu ada inspirasi baru untuk obyek lukisannya, sehingga tidak melulu melukis kaligrafi...

    Tapi belum lama Danang duduk santai di kursi teras depan rumah, sudah ada yang mengganggu. Sebuah sepada motor berwarna orange berhenti di luar pintu pagar dan pengendara sepeda motor itu berteriak:

   “Pos...”

    Danang bangkit berdiri dari duduk, lalu ia beranjak menghampiri Pak Pos. Sesudah sepucuk surat yang disodorkan oleh Pak Pos disambuti oleh Dadang, Pak Pos pun berlalu.

    Sambil berjalan kemabli ke arah teras, Danang membaca pengirim surat itu, ternyata dari Bandung, dari sahabat kentalnya waktu ia mondok di pesantren dulu, Dadang Hendrawan. Danang pun tersenyum sedikit kecut; walau belum membaca, ia sudah dapat menduga apa isi surat itu. Ia memang belum sekalipun mengirimkan kaligrafi karyanya ke Bandung, ke rumah Dadang. Keinginan yang terlalu menggebu untuk memakmurkan Masjid Al Jihad membuat Danang lupa akan penawaran dari Dadang yang menggiurkan itu. 

    Kembali duduk di kursi teras depan, Danang segera membaca surat dari Dadang itu:

    Assalamualaikum Wr. Wb.

    Hei Danang... sekarang kamu benar-benar sudah jadi orang kaya, ya? Sudah nggak butuh

   duit,y a? Tapi walau begitu bantulah aku. Kirimkan segera lukisan-lukisan kaligrafi karyamu

   ke aku. Saat ini percetakan punya Bapakku sangat membutuhkan banyak lukisan kaligrafi

,  Danang. Dan aku tahu, lukisan kaligrafi karyamu sangat indah, sangat bagus.

   Jadi kalau kamu nggak butuh uang, anggap saja hal itu membantu aku, sahabatmu kentalmu

   di pondok pesantren dulu. Oke. Aku tetap menunggu kiriman lukisan kaligrafi karyamu.

   Oya, di Bandung aku dalam keadaan damang, sehat selalu. Semoga demikian pula

   keadaanmu di Jakarta.

   Sahabat kentalmu,

  Dadang Hendrawan

    Selesai membaca surat dari Dadang itu, Danang menghela nafas lega. Dalam hati ia berteriak riang: Oke, Dang. Hari ini juga akan aku kirim lukisan kaligrafi karyaku ke rumahmu!     

    Tapi saat Danang sudah berdiri dari duduk dan akan melangkah masuk ke dalam rumah untuk memilih lukisan-lukisan kaligrafi karyanya yang akan ia kirim ke Bandung, terdengar ada derum mobil berhenti persis di depan pintu pagar rumahnya. Dan waktu pandangan Danang tertuju ke sana, ternyata itu mobil patroli polisi. Ada apa gerangan? hatinya bertanya-tanya. 

    Dan sesaat kemudian tiga orang polisi sudah berdiri di hadapan Danang.

    “Apakah kamu yang benama Danang?” tanya salah satu polisi itu dengan suara garang. Kumisnya yang tebal membuat polisi itu tampak semakin garang.

     “Benar, Pak..,” Danang sedikit grogi. “Ada apa, ya?”

Lihat selengkapnya