Pagi harinya, Nugroho dan Tika sudah kembali damai. Ketegangan yang tadi malam pecah antara suami istri itu sudah mencair. Sedikit pun tak tampak bahwa tadi malam, menjelang tidur keduanya cecok masalah Danang. Lihatlah pagi ini keduanya sudah kembali akrab, seakrab pagi-pagi yang lalu, sarapan bersama disertai dua buah hati kesayangan Nugroho, yaitu Didit dan Dian. Dan selama sarapan sedikit pun Tika tidak mau menyinggung masalah Danang. Tika tidak mau terjadi ketegangan di meja makan, saat makan bersama anak-anak mereka. Tika memang sangat teguh memegang prinsipnya, tidak mau cecok dengan suami di hadapan anak-anaknya.
Baru tatkala sang suami akan berangkat kerja dan Tika mencium tangannya, saat itulah sepintas lalu, Tika bertanya tentang masalah yang tengah dihadapi putra sulungnya.
“Bagaiamana dengan Danang, Yah?” tanyanya hati-hati.
“Ya, pagi ini juga akan aku urus dan harus segera tuntas,” jawab Nugroho tegas.
Tika pun menghela nafas lega.
***
Di Kantor Polisi kedatangan Nugroho disambut dengan ramah oleh polisi yang bertugas menerima tamu dan ditanya tentang keperluannya.
“Saya akan minta penjelasan yang rinci, tentang penangkapan anak saya, Danang,” jelas Nugroho.
Petugas pun mempersilakan Nugroho untuk menghadap Kepala Polisi.
“Pagi, Pak,” sambut Kepala Polisi ramah dan bertanya: “Ada yang bisa saya bantu?”
Dan Nugroho menjelaskan maksud kedatangannya.
“Bapak Ayahnya Danang?” tanya Kepala Polisi kemudian ingin kejelasan.
“Benar, Pak,” angguk Nugroho tegas.
“Bapak kerja di mana?” tanya Kepala Polisi sambil memperhatikan Nugroho dengan cermat.
Setelah Nugroho menyebutkan kedudukannya sebagai Direktur sebuah BUMN, Kepala Polisi mengangguk-angguk dan merasa sedikit heran juga kalau anaknya seorang Direktur mencuri peralatan elektronik di sebuah masjid. Tapi siapa tahu juga, namanya dunia, banyak ceritanya...
“Saya nggak habis mengerti, kenapa anak saya mendapat tuduhan yang begitu keji,” ucap Nugroho kemudian. Nada suaranya terdengar sangat kesal, seakan menuduh polisi asal tangkap.
“Kami bekerja berdasarkan laporan dari masyarakat, Pak,” ujar Kepala Polisi, seakan membela diri atas tuduhan itu.
“Siapa yang melapor, Pak?” kejar Nugroho.
Kepala Polisi membuka laci meja kerjanya, kemudian menyorongkan sepucuk surat ke hadapan Nugroho.
“Ini surat laporan dari masyarakat itu,”: katanya pula. “Silakan Bapak baca.”
Nugroho menyambuti surat itu dan langsung membaca isinya. Lalu ia mengangguk-angguk. Ada lima orang yang melaporkan kejahatan yang telah diperbuat oleh Danang itu dan Nugroho tahu, kelima orang itu semuanya pengurus Masjid An Nuur yang ada di kompleks perumahan tempat tinggalnya. Nugroho sekarang yakin akan keberanaran ucapan istrinya: Pasti Danang telah difitnah. Kalau begitu persoalan yang menimpa Danang ini harus segera dituntaskan, batin Nugroho kemudian. Aku harus segera menemui Ketua Dewan Pengurus Masjid An Nuur, Pak Gomoh, di kantor tempatnya bekerja. Aku harus menekan dia, agar dia mencabut pengaduannya ke polisi. Harus! Biar Danang bisa segera keluar dari sel tahanan di Kantor Polisi.
“Pak, saya mohon berkas perkara anak saya, Danang jangan dilimpahkan ke pengadilan dulu,” pinta Nugroho kemudian. “Saya akan bicara dulu dengan kelima pelapor itu.”
“Baik, Pak,” angguk Kepala Polisi. “Berkas perkara Danang memang masih dalam proses pengerjaan.”
Nugroho pun mohon permisi.
***
Toyota Great Corolla itu perlahan-perlahan meninggalkan tempat parkir di Kantor Polisi. Bebearapa saat setelah melaju di jalan raya, Pak Zeni yang mengemudikan sedan itu bertanya:
“Kita ke kantor, Pak?”
Sang majikan, Nugroho yang duduk di jok belakang sesaat gelapagan. Ia memang sedang melamun. Perkara yang menimpa Danang rupanya jadi beban pikirannya juga. Tapi segera ia berkata: “Jangan, Pak. Kita ke Priok dulu, ke Kantor Dingin Angin.”
Maka Toyota Great Corolla itu pun melaju ke arah Tanjung Priok. Sampai di Kantor Angin Dingin, Nugroho ditanya oleh Satpam apa keperluannya.
“Saya mau ketemu dengan Pak Gomoh,” jawab Nugroho.
“Pak Gomoh yang Kepala Satpam atau Pak Gomoh yang office boy?” Satpam kembali bertanya.
“Wah, ini yang saya tidak tahu,” ucap Nugroho pula. “Yang saya tahu, Pak Gomoh itu pernah bekerja sebagai pelaut, sebagai Awak Kapal.”
“O, kalau gitu yang dimaksud Bapak tentu Pak Gomohetenan, Kepala Satpam di kantor ini,” kata Satpam lagi. “Beliau sedang cuti, Pak.”
Nugroho mengangguk-angguk, mengucapkan terma kasih, lalu mohon permisi pada Pak satpam itu. Aku harus kejar Pak Gomohetenan sekarang juga, batinnya tegas sambil melangkah ke arah mobil.
***
Sampai di rumah Pak Gomohetenan belum terlalu siang, masih jam 9. 40 menit. Tampak Pak Gomohetenan sedang asyik bercengkrama dengan Burung Beo peliharaanya.
“Assalamuaikum...,” Nugroho memberi salam.
“Waalaikumssalam...,” Burung Beo yang membalas salam dari Nugroho, sedang Pak Gomohetenan hanya langsung menoleh ke arah sumber suara. Baru begitu tahu siapa yang datang, ia berucap:
“Waalaikumssalam...,” senyum ramah terlukis di bibir Gomohetenan, walau firasat buruk sedang menyergap hatinya. “O, Pak Nugroho,” suara Gomohetenan ramah, walau hatinya mulai dag-dig-dg. “Silakan masuk, Pak Nugroho...”
Dengan langkah-langkah pasti—langkahnya orang yang sedang marah—Nugroho melewati pintu pagar yang terbuka lebar, lalu tanpa dipersilakan ia duduk di kursi yang ada diteras depan, di samping Gomohetenan yang sudah lebih dulu duduk di situ.
“Ada perlu apa ya, Pak ?” tanya Gomohetenan tetap dengan suara yang ramah.
“Saya ingin menyelesaikan perkara anak saya, Danang,” kata Nugroho tegas, to the point.
“Ada apa dengan Danang?” Gomohetenan berlagak nggak tahu, dahinya sedikit berkerut.
“Pak Gomoh jangan belagak nggak tahu, ya!” kata Nugroho dengan nada kesal. “Danang di tahan di sel Kantor Polisi, karena laporan Pak Gomoh dan Dewan Pengurus Masjid An Nuur lainnya!”