Tidak ingin membuang waktu, pulang dari Gramedia Danang langsung menulis surat buat Bundanya. Hasrat yang begitu menggebu pada mulanya, tapi ketika sudah ia tuangkan dalam kertas surat, dua kali ia batalkan, karena merasa ada kata-kata yang kurang sreg, kurang tepat. Terpaksa ia membuat konsep dulu. Setelah merasa sreg, baru konsep itu ia pindahkan ke kertas surat yang tadi ia beli di Gramedia. Ia tulis surat itu dengan tangan, karena ia belum punya komputer, juga belum punya printer.
Keesokaan harinya, saat jam istirahat, saatnya makan, ia sempatkan mampir ke Kantor Pos, mengirimkan surat yang tadi malam ia tulis buat Bundanya di Jakarta.
***
Sang Bunda, Tika tidak habis mengerti, kenapa tadi malam secara tiba-tiba ia gelisah tak menentu dan tiba-tba saja ia rindu, sangat rindu dengan putra sulungnya, Danang. Semula ia ingin curhat rasa gelisahnya pada Nugroho, suaminya, tapi langsung ia batalkan. Ia segera ingat, suaminyalah yang mengusir Danang dari rumah, jadi mana mungkin suaminya bisa diajak curhat masalah Danang? Begitu juga ia enggan curhat dengan Didit dan Dian—kedua anaknya yang tinggal di rumah—karena takut mengganggu konsentrasi keduanya yang sedang tekun belajar, mempersiapkan pelajaran yang akan diajarkan di sekolah besok pagi. Akhirnya Tika memendam sendiri rasa gelisahnya, rasa rindunya pada Danang. Dan alhasil, selama menemani suaminya nonton TV, Tika tidak konsentrasi dengan apa yang ditontonnya. Matanya tertuju ke layar TV, tapi pikirannya tertuju ke Danang yang keberadaannya entah di mana. O, anakku, Danang, di mana pun kini kamu berada, di mana pun kini kamu berdomisili, semoga keselamatan dan kesuksesan selalu menyertaimu, Nak, doa itu tak henti-hentinya dipanjatkan Tika di dalam hati, untuk mengurangi rasa gelisahnya.
Begitu juga saat hendak tidur, dalam hati Tika terus berdoa demi keselamatan dan kesuksesan Danang. Setelah itu kegelisahannya sedikit berkurang dan ia dapat dengan mudah memejamkan mata, dapat dengan mudah tidur. Tapi pagi harinya, setelah kedua anaknya yang tinggal di rumah, Didit dan Dian berangkat ke sekolah dan setelah suaminya pergi kerja ke kantor,
ia kembali disergap rasa gelisah, rasa rindu yang dalam pada Danang. Maka, untuk membunuh rasa gelisah dan rasa rindunya pada Danang itu, sang Bunda, Tika merapih-rapihkan bunga-bunga yang tumbuh di halaman depan rumahnya. Padahal, sejak Bi Diah bekerja di rumahnya, pekerjaan ini selalu di kerjakan oleh Bi Diah, setelah memasak di dapur.
Entah sudah berapa lama Tika bekerja di taman halaman depan rumahnya itu, ketika terdegar deru sepeda motor berhenti persis di jalanan depan rumahnya. Dan sesaat kemudian ia tahu kalau yang berhenti itu sepeda motornya Pak Pos. Maka Tika segera meletakkan gunting rumput yang sedang dipegangnya di atas rumput dan segera pula ia menghampiri Pak Pos yang kini telah berdiri di luar pintu pagar rumah.
“Surat dari Bandung, Bu,” kata Pak Pos sambil menyodorkan sepucuk surat.
Tika menyambutinya dan mengucapkan terima kasih. Dan setelah sepeda motor Pak Pos kembali melaju, segera Tika membaca pengirim surat itu. Dan begitu tahu pengirim surat itu Danang, Tika merasa sangat gembira. Lalu dengan langkah sedikit tergesa ia berjalan ke arah teras. Dan setelah duduk di kursi teras, ia baca surat dari Danang itu.
Bunda yang saya cintai
Tiga bulan sudah kita berpisah, tiga bulan yang bagi saya terasa amat panjang, tiga bulan