Setelah berjumpa dan berkenalan di Gramedia, Novi tidak pernah lagi menggoda Danang, karena Danang selalu menyapa lebih dulu bila kebetulan bentrok dengan Novi saat Danang sedang lewat di depan rumah Novi. Bahkan sesekali Danang suka juga bertandang ke rumah Novi. Lebih jauh lagi, sesekali Danang suka juga mentraktir Novi makan di luar, bila sehabis gajian. Tapi saat Danang mentraktir makan, Novi tidak pernah mau jalan hanya berduaan dengan Danang, tapi selalu minta ditemani dengan sahabatnya, Dini. Danang pun tidak keberatan dengan hal ini, karena Danang juga menganggap Novi dan Dini sebagai teman baik, apalagi Novi dan Dini juga masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
Tapi ketika tiba tahun perkuliahan baru, ceritanya jadi berbeda. Walau Novi dan Dini kuliah di universitas yang sama—Universitas Lingga—tapi keduanya beda fakultas. Seperti cita-citanya sajak masa SMP, Novi mengambil psikologi, sedang Dini mengambil publisistik. Dengan demikian Novi dan Dini jarang berjumpa, hanya sesekali saja. Dan saat inilah bila Danang bertandang ke rumah Novi, lalu mentraktir Novi makan di luar, atau nonton film, mereka hanya berduaan saja, hanya sekali saja ditemani dengan Dini. Tapi walau begitu, sejauh ini Danang belum bisa memastikan, perasaan apa sesungguhnya yang ada di dasar hatinya pada Novi, walau sekarang ia juga sudah kuliah, mengambil seni rupa di sebuah universitas yang ada perkuliahan sorenya, kuliah khusus untuk para karyawan.
Tapi orangtua Novi, tepatnya Papanya Novi, Doni—Doni Danuri nama lengkapnya—punya pandangan yang berbeda. Ia menganggap Novi, putrinya mulai menjalin cinta dengan Danang. Apalagi Danang dan Novi sekarang sudah sama-sama masuk di semester tiga perkuliahannya masing-masing. Jadi sangat wajar kalau Papanya Novi ingin tahu sedikit lebih detail tentang identitas Danang. Maka saat malam Minnggu ini Danang kembali berkunjung ke rumah Novi, sang Papa yang mula-mula menemuinya.
Setelah berbasa-basi sesaat, akhirnya sang Papa, Doni bertanya: “Danang kos di rumah Mang Ilik, kan?”
“Ya, benar Oom,,” angguk Danang.
Doni mengangguk-angguk, lalu bertanya: “Memangnya kedua orangtuamu tinggal di mana?”
“Di Jakarta,” jawab Danang.
“Jakarta?” ulang Doni dengan kening sedikit berkerut. Dan entah kenapa, tiba-tiba saja firasat buruk menyergapnya. Kemudian ia bertanya, di Jakarta Danang tinggal di mana? Siapa nama kedua orangtua Danang?
“Saya tinggal di kawasan Bintaro, Oom,” terang Danang. “Ayah saya bernama Nugroho Prakoso dan Ibu saya, Kartika Kurniawati.”
Mendengar penjelasan ini sesaat Doni terdiam dan firasat buruk makin menyentak-nyentak di ulu hatinya. Kemudian ia berkata: “Wah, saya jadi ingin tahu wajah kedua orangtuamu, Danang.”
“O boleh Oom, boleh...,” sahut Danang. “Kebetulan saya selalu membawanya.” Danang mengambil dompet dari saku belakang celananya dan dari dompet itu ia mengeluarkan foto kedua orangtuanya. Foto yang semula ukuran poscard itu telah digunting di kedua sisinya, sehingga ukuran foto itu menjadi lebih kecil dan bisa disimpan di dompetnya Danang. Dan Danang menyodorkan foto itu pada Papanya Novi.
Doni menyambutinya, lalu mengamati foto kedua orangtua Danang itu dengan cermat. Kemudian dalam hati ia berkata: Tak salah lagi, Ibunya Danang adalah Tika—Kartika Kurniawati yang dulu pernah akan aku pinang, tapi aku gagalkan, setelah aku tahu “mahkotanya” sudah tidak suci lagi saat aku menjamah tubuhnya. Dan kini, Danang, anaknya Tika berpacaran dengan anakku. Oh tidak! Ini tidak boleh dilanjutkan! Tidak boleh! Meski saat aku manjamah tubuh Tika “mahkotanya” sudah tidak suci lagi, tapi siapa tahu benih dari aku yang berbuah menjadi janin di rahimnya Tika, lalu lahirlah Danang. Ya, siap tahu...??? Apalagi wajahnya Danang mirip dengan wajahku.
Diam-diam Doni menghela nafas panjang, lalu ia menyerahkan kembali foto itu kepada Danang.
“Terima kasih, Danang,” tukasnya. Suaranya terdengar sedikit lesu.
Danang menyambuti kembali foto kedua orangtuanya itu, lalu kembali menyimpannya di dompetnya.
Doni berdiri dari duduk dan berkata: “Tunggu sebentar ya, saya panggilkan Novi.”
“Baik, Oom,” angguk Danang, wajahnya berseri, karena sebentar lagi ia akan dapat menikmati malam Minggu dengan pujaan hatinya, Novi, seperti malam Minggu-malam Minggu yang lalu. Malam Minggu yang ceria. Danang tidak tahu, bahwa saat masuk ke dalam rumah langkah kaki Doni, Papanya Novi goyah. Danang juga tidak tahu, bahwa sebentar lagi sebuah prahara akan kembali menerjangnya...
***
Malam itu Doni jadi sulit tidur. Hatinya diterjang rasa gelisah. Karena di satu sisi ia sangat sayang pada Novi, putri tunggalnya. Tapi di sisi lain, kini ia harus bersikap tegas, mungkin juga sedikit kasar, agar Novi menjauhi Danang.
Sebenarnya Novi bukan putri tunggal, tapi kakaknya Novi, Angga, meninggal ketika masih kecil karena demam berdarah. Sedang dulu Mamanya adalah marketing di sebuah perusahaan alat-alat berat—seperti traktor, boldser dan yang sejenisnya—yang sering kali mendapat tugas keluar kota. Jadi sering kali di rumah Novi hanya berdua dengan Papanya dan ditemani dengan pembantu rumah yang setia, Bi Manar. Tapi dua tahun yang lalu sang mama juga sudah meninggal karena serangan jantung. Dan sekarang Doni benar-benar hanya hidup berdua dengan putrinya, Novi dan untungnya Bi Manar masih tetap setia mau membantu di rumah mereka.
Doni bangkit dari berbaring, kemudian ia duduk di pembaringan. Ia merenungi liku-liku jalan hidupnya. Setelah menjauhi Tika—Ibunya Danang—dan ia menikah dengan Lilis yang gadis Bandung, ia pun mengajukan permohonan di tempatnya bekerja agar bisa dipindakan tugas kerjanya di cabang Bandung. Permohonan Doni langsung dikabulkan oleh pimpinan perusahaan, karena kebetulan saat itu di cabang Bandung posisi asmennya sedang kosong, setelah asmen yang lama mengundurkan diri, pindah ke perusahaan lain. Waktu itu Doni bersyukur, karena dengan demikian ia bisa mengubur semua kenangannya bersama Tika di Jakarta. Dan ia benar-benar bisa memulai hidup baru dengan Lilis di Bandung. Dengan jauh dari Tika ia berharap, tidak akan ada kontak lagi dengan Tika, dalam bentuk apa pun. Tapi kini, oh... mengapa Novi, putri tunggalku, harus betemu dan berpacaran dengan Danang yang lahir dari rahimnya Tika, dan kemungkin besar Danang itu benih yang berasal dari aku? Mengapa...??? hati Doni menjerit. Kemudian ia mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Ia tidak pernah menyangka, jalan hidupnya akan menjadi ruwet seperti ini.
Doni menghela nafas panjang, lalu ia turun dari ranjang dan jalan mondar-mandir di kamar tidurnya.
“Tapi hal ini harus dihentikan sekarang juga. Harus!” gumamnya beberapa saat kemudian. “Kalau dibiarkan terlalu lama, hubungan cinta Novi dan Danang akan semakin dalam, tentu lebih sulit memisahkannya. Ini berbahaya. Sangat berbahaya!”
Doni kembali menghela nafas panjang. Dan keputusannya bulat sudah; besok pagi ia akan minta supaya Novi mulai menjauhi Danang. Apa pun reaksi dari Novi, aku tidak peduli, batinnya Keputusanku ini sudah final!
***
Setiap hari ke kampus, Novi selalu memakai sepeda motor bebek. Ia tidak pernah mau berangkat dengan sedan bersama Papanya, walau saat berangkat dan pulang kerja sang papa selalu melewati kampus di mana Novi menimba ilmu. Naik sepeda motor bebek lebih bebas, bisa leluasa kapan berangkat ke kampus dan kapan pulang dari kampus sesuai dengan jadwal mata kuliah. Dan acap kali, sang Papa yang lebih dulu meninggalkan rumah, setelah sarapan bersama. Tapi pagi ini, saat Novi hendak pergi ke kampus dan sudah jam 9, ia dapati Papanya masih duduk di kursi ruang tamu. Novi pun heran. .
“Lho Pa, acan angkat? Kok belum berangkat?” kening Novi berkerut.
Sang Papa tidak menjawab pertanyaan putri tunggalnya, ia malah berkata: “Duduk,” telunjuk Papa mengarah ke kursi yang ada di depannya. Suaranya tegas, wajahnya tampak sedikit tegang. Ini di luar kebiasaan Papa yang selama ini selalu bersikap ramah dan lembut pada Novi.
Novi menurut, tapi tak urung ia bertanya: “Aya naon, ada apa Papa ini, kok kelihatan tegang segala?”
Sang Papa menatap Novi dengan tajam setelah putrinya itu duduk di hadapannya. “Papa minta, kamu jauhi Danang?”
“Ha, jauhi Mas Danang?” Novi setengah melongo. “Ada apa sesungguhnya ini, kok tiba-tiba Papa ngomong begini?” kening Novi lipat tujuh.
“Setelah lama mengamati, Papa tahu, Danang bukan lelaki yang baik,” ucap sang Papa lagi. “Tidak pantas kamu pacaran dengan dia.”
“Papa jangan ngaco deh, ngomongnya,” sanggah Novi. “Selama saya berteman akrab dengan Mas Danang, belum pernah Mas Danang bersikap macem-macem. Sesungguhnya Papa dapat laporan dari siapa, kok tiba-tiba mengatakan Mas Danang itu lelaki yang tidak baik? Dari siapa?” Novi menyelidik.
Doni, sang Papa terdiam. Ia telah tersudut. Tapi ia tak mau menyerah. Bagaimanapun juga Novi harus dijauhkan, harus dipisahkan dari Danang. Meski belum dilakukan tes DNA, tapi naluri Doni mengatakan, Danang dan Novi adalah anak-anak yang lahir benihnya, benih yang ia semai, walau lahir dari Ibu yang berbeda. Bagaimana mungkin kakak dan adik menjalin cinta? Ini tidak boleh terjadi! Ini tidak boleh terjadi!
“Sudah, kamu nggak usah banyak tanya!” putus Doni tegas. “Pokoknya, kamu harus menjauhi Danang. Titik!:”
“Ah, asa teuk paruguh! Jadi nggak karuan. Permintaan Papa nggak realistis,” Novi masih membantah. “Bagaimana mungkin saya harus secara tiba-tiba menjauhi Mas Danang, sedang setiap hari, setiap saat Mas Danang lewat di depan rumah kita, bila hendak ada keperluan ke luar tempat kos? Bagaimana mungkin?” Novi mengembangkan kedua belah tangannya lebar-lebar.
“Pokoknya, keputusan Papa ini sudah final! Kamu harus menurutinya!” sela Doni tegas, sangat tegas. “Ngerti kamu?!”
Kali ini Novi yang terdiam, walau dalam hati ia masih bertanya-tanya: ada apa ini sesungguhnya? Mengapa Papa yang selama ini selalu bersikap lembut padaku, secara tiba-tiba secara drastis berubah jadi galak? Ada Apa...???
***
Saat berangkat kerja, di dalam sedan yang dikendarainya sendiri, Doni masih terus berpikir, bagaimana cara yang paling efektif, cara yang paling jitu, agar putrinya, Novi bisa benar-benar berpisah dengan Danang yang notabene adalah kakaknya sendiri, walau beda Ibu. Bagaiamana...??? Kemudian di telinganya terngiang kata-kata Novi di rumah tadi, saat ia meminta Novi untuk menjauhi Danang: “Bagaimana mungkin saya harus secara tiba-tiba menjauhi Mas Danang, sedang setiap hari, setiap saat Mas Danang lewat di depan rumah kita, bila hendak ada keperluan ke luar tempat kos? Bagiamana mungkin?”
Doni mengangguk-angguk, kemudian ia bergumam: “Kalau begitu Danang memang harus dikeluarkan dari tempat kos Mang Ilik. Harus!”
Dan malam itu juga, selepas isak Doni bertandang ke rumah Mang Ilik.
“Aya naon, ada apa Pak Doni, kok tumben bertandang ke rumah saya?” sambut Mang Ilik.
Sesaat Doni tergugu, sedikit bingung, harus mulai bicara dari mana? Tapi kemudian ia bisa dengan lancar mengemukakan maksud kedatangannya, meminta agar Danang dikeluarkan dari tempat kosnya Mang Ilik.
“Ah, permintaan itu terlalu mengada-ada, Pak Doni,” kata Mang Ilik lagi. “Mana mungkin saya mengusir Danang, sedang Danang nggak melakukan kesalaan apa-apa di tempat kos saya. Danang anak kos yang baik dan selalu bayar uang kos tepat waktu.”
Doni terdiam. Sejenak ia berpikir, kemudian ia berkata, ia akan memberi uang yang jumlahnya cukup menggiurkan, asal Mang Ilik mau mengeluarkn Danang dari tempat kosnya.