Kau boleh menyebutku bajingan. Namun, sebajing-bajingan seorang pria, dia tetap memilih perempuan baik-baik untuk dijadikan istrinya dan Ibu bagi anak-anaknya kelak.
***
Gadis bertubuh ramping dengan aroma tajam ini terus saja terisak. Matanya bengkak, wajahnya terlihat sangat kusut. “Aku tidak mau kita pisah, Aku sangat mencintamu, Mand.”
Kubelai lembut rambutnya yang bergelombang. Kugenggang jemarinya yang kian basah. “Aku pun demikian, Na. Tidak pernah kujumpai gadis sebaik kamu. Aku sangat mencintamu, takkan pernah ada yang bisa menggantikan posisimu di hatiku. Tapi kamu tahu sendiri, kita tidak mungkin bersama. Orang tuamu menentang kehadiranku.”
“Aku tidak peduli. Aku yang akan menjalani kehidupanku, bukan mereka.” Ah, dia masih ngeyel.
“Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dan sempurna dari aku, Na. Sosok yang membuat kedua orang tuamu bangga. Kamu gadis yang luar biasa, sangat cantik dan baik. Seratus lelaki akan antre untuk bisa bersanding denganmu. Hubungan kita mungkin ditakdirkan Tuhan untuk menjadi kenanagan.”
“Enggak, Mand. Aku enggak mau yang lain, aku maunya kamu. Kita lari saja, aku punya cukup tabungan untuk kita memulai hidup baru.” Tangan kami saling bertaut dan terjatuh tepat di atas pahanya yang sedikit tersingkap. Aku menelan ludah. Walau wajahnya tampak aut-autan begitu, rasanya tetap ingin menelannya bulat-bulat. Belum lagi lekukan dadanya yang sangat menonjol, besar dan berisi. Astaga!
“Suatu hari kelak kita juga akan menjadi orang tua, Na. Maukah kamu jika anak kita lari dengan kekasihnya karena kita tidak merestui?” Tsah, rasanya umurku naik beberapa tahun ke atas lalu menjadi sosok yang paling bijak. Bagaimana caranya agar gadis ini mengerti dan segera pergi?
Brak!
Suara pintu kamar terbuka paksa. Seorang laki-laki bertubuh kekar dengan kulit legam dan berkepala plontos menerobos masuk.
“Devina, PULANG!” ucapnya sengit. Matanya semerah saga. Sudah seperti makhluk astral yang siap menelan mangsa. Akan tetapi aku tidak gentar.
“Enggak, Kak. Aku mau di sini, aku enggak akan niggalin Armand. Kakak pergi saja. Aku sudah besar bisa menentukan mana yang baik untuk diriku” Devini berlindung di belakang tubuhku, mencengkeram lenganku erat-erat.
“Tidak tahu malu, kamu bilang begini caranya yang baik? Mendatangi laki-laki macam perempuan murahan! Ayo pulang!” Laki-laki itu berusaha menggeret lengan Davina dengan paksa.
“Dan kau bajingan, masih belum puas ngerusak anak gadis orang, heh?” Bola matanya seakan mau melompat. Aku bergeming, sia-sia melawan pria berbadan kekar dengan kekuatan emosi maksimal.
“Tolong jangan pisahkan kami, Kak!” Devina mengiba, tetapi laki-laki itu semakin keras menggeret tangan adiknya hingga ke luar rumah. Entah caci maki dan sumpah serapah apalagi yang laki-laki itu lontarkan hingga Devina menyerah, lalu masuk ke mobil diiringi isakan tangis.
Hoaaemmm ... Akhirnya, bisa bernapas lebih lega, semoga urusanku dengan Devina benar-benar berakhir. Kunyalakan sebatang rokok kemudian mengisapnya perlahan.
Sebenarnya hubungan kami telah berakhir sejak dua mingu yang lalu. Keluarga besarnya tidak sepenuhnya merestui hubungan kami. Aku berandal bemasa depan suram, dengan bobot, bibit, dan bebet yang buruk, kata mereka. Devina sebenarnya bersikeras mempertahankan, tetapi itu akan sia-sia. Bukankah pernikahan sesungguhnya menyatukan dua keluarga?
Aih, ini alasan klasik dikemukakan oleh kaum adam. Sebenarnya aku sendiri ragu apa Devina itu belahan hatiku yang tersesat atau sekedar persinggahan. Walau jiwaku penuh dengan dosa, aku tetap menginginkan sebelahnya lagi suci tanpa cela. Perawan kalau bisa.
Memang, jika laki-laki telah mendapatkan apa yang dia inginkan, semuanya akan terasa hambar, memudar, kemudian menguap begitu saja. Aku mengambil kesuciannya atas nama cinta, dan dia terpedaya. Cinta adalah kamuflase bagi kami pecinta perempuan menggoda.
Matahari masih terlalu garang di luar sana. Kurebahkan tubuh di atas kasur sambil menonton film. Film biru lebih tepatnya. Udara dari pendingin ruangan yang bertengger di atas jendela membuatku semakin betah menatap layar kaca. Si Begundal Ismail tiba-tiba menerobos masuk tanpa permisi. Wajahnya berseri seakan baru memenangkan hadiah dari toko sembako dengan peralatan dapur beserta satu boks rokok yang bisa menopang hidupnya selama satu bulan.
“Ikut aku, Mand!” ucapnya penuh semangat sambil mengambil parfum Versace yang tergeletak di meja nakas. Seketika menyemprotkan ke sekeliling tubuh. Membaui aroma sendiri kemudian mengerlingkan mata penuh ekspresi.
Satu lagi contoh laki-laki brengsek yang hanya bisa pacaran dengan modal pas-pasan. Gaya sok romantis dan dilebih-lebihkan, beli rokok saja masih batangan. Dua hari lalu, celana jinku belum juga dikembalikan. Utang piutangnya? Beh … Deretan angkanya sudah menyerupai rel kereta api Ambarawa menuju Stasiun Depok, Jakarta.
“Kemana?” aku tidak mengindahkan ajakannya. Film di depan layar jauh lebih mendebarkan dan sedang panas-panasnya. Mengganggu saja.
“Ke rumah Lia, kamu tidak akan menyesal.” Ismail berdiri tepat menghalangi pandangan, mengangkat sebelah alis seolah memberi sebuah isyarat.
“Lia punya tetangga super bening,” tukas Ismail lagi sambil menyapu bibirnya. Seketika telingaku meninggi, gadis cantik? Cantik mana dengan Devina? Perempuan beraroma tajam barusan, sering membuat jiwa lelaki petualang manapun seketika bergejolak. Namun, hanya berhasrat meniduri.
Gegas kumatikan tivi. Mengambil anakan kunci, masih di atas meja nakas dan melemparkannya tepat ke arah Ismail. Ditangkapnya secara otomatis seperti lemparan bola.