Kami mulai mengatur beberapa strategi. Diawali dengan kembali ke rumah Lia. Sebelumnya, kupersiapkan diriku sedemikian rupa. Mematut diri di depan cermin. Dengan pakaian terbaik. jin dan kemeja biru polos. Rambut disisir rapi. Tidak lupa minyak wangi. Sudah keren. Sudah cakep. Sudah pantas dan terlihat sebagai pasangan hidup yang bisa diandalkan.
Bagaimana kalau Zahara sebenarnya penyuka laki-laki ber-style acak-acakan? Bad boy semisal. Karena tidak sedikit perempuan yang memilih kekasih berbanding terbalik dengan karakternya. Apalagi Bad boy terkenal karena liar dan menggoda. Segera kuganti pakaian kemeja dengan kaos dan celana panjang dengan rombengan pada kedua lutut. Kembali mematut diri di depan cermin. Mengacak rambut agar terlihat sedikit berantakan. Tetapi bukankah wanita baik-baik itu biasanya lebih menyukai laki-laki yang berpenampilan rapi? Aku kembali membongkar lemari, mencari pakaian yang lebih formal. Alamak, kenapa aku deg deg-an seperti ini? Kubentur-benturkan kepala ke pintu lemari.
Dari halaman rumah, klakson mobil sudah berulang kali berbunyi memekakkan telinga. Dan aku masih berkutat diri dengan pakaian. Aku menyerah, akhirnya kembali mengenakan kemeja. Tidak lupa parfum kebangsaan. Perempuan dari belahan manapun tentu menyukai laki-laki beraroma wangi.
Aku sudah duduk di depan bersama Ismail. Ia kusuruh untuk menyetir. Sepanjang jalan anganku mengembara. Ismail menutup hidungnya.
“Berapa liter parfum yang kamu seprotkan, Mand?”
“Kenapa?” Aku mulai membaui aroma sendiri.
“Nyengat banget, Mand. Gini sih kuntilanak juga pada kabur.”
“Duh, aku ganti baju lagi aja kalau gitu.”
“Sudah ah, kelamaan, keburu dingambekin Lia, aku.” Ismail menolak keras ketika aku bermaksud turun dari mobil.
Aku menghela napas panjang, sambil membuka kaca jendela, berharap aromanya segera memudar. Sedari tadi perasaan gelisah terus saja merayapi hati. Jantungku benar-benar tak bisa dikontrol. Ia terus aja berdegup kencang.
“Kenapa lo, Mand?” Ismail kembali menatapku heran.
“Tidak, apa-apa. Hanya sedikit gugup.”
Ismail seketika tertawa kencang sekali. “Sejak kapan kamu gugup menghadapi wanita?”
“Entahlah, Mail. Kali ini aku benar-benar gugub.”
Ismail semakin tertawa sampai mengeluarkan air mata, bahkan memegang perutnya yang entah kenapa.
Setiba di rumah Lia, aku celingukan sendiri ke arah rumah Zahara. Sepi. Tidak ada tanda-tanda pergerakan manusia. Tidak ada suara gitar, tidak ada suara perempuan yang sedang bernyayi. Aku mondar mandir macam setrikaan. Semoga leherku tidak keseleo karena terus menoleh ke rumah Zahara.
“Lia, tolong kamu cari tahu kemana Zahara, sedari tadi tak nampak dia,” pintaku penuh harap.
“Halah, sabar dikit napa? Baru juga dua jam di sini,” tukas Lia. Dia mengambil remote tivi kemudian mencari-cari tontonan.
Satu jam kemudian. Aku masih pula mondar mandir. Apa cewek itu ketiduran, ya? Atau mungkin sedang pingsan? Tidak tahu apa ada pangeran berkuda sedang menunggunya.
Lia menoleh ke arahku dan menatap iba. “Ya sudah, aku jemput dia.” Lia ke sebelah rumah. Langkahnya terlihat lambat, sesampai di depan rumah Zahara, tampak seorang wanita dengan rambut yang mulai keperakan membukakan pintu. Mereka terlihat berbicara sambil tertawa. Hanya sebentar kemudian Lia kembali pulang.