Kesempatan emas memang berkali-kali menghampiri, tetapi sikap Zahara tidak ada kemajuan. Aku juga berhasil merumahkan dia, maksudku Zahara setuju untuk sementara waktu menempati rumah di seberang Tante Ria itu. Lagi pula, adikku masih kerja di luar kota. Tidak terlalu besar tapi cukup untuknya.
Dan petaka itupun hadir. Aku lupa seharusnya menceritakan sebelumnya tentang keberadaan Zahara pada ayah. Hingga beliau mengetahui informasi dari pihak lain. Sialnya, Zahara ketiban apes, ayah menganggap aku akan menoreh malu untuk kesekian kalinya. Maka, keberadaan Zahara selalu dikait-kaitkan dengan kegagalan dua kali pertunanganku.
“Perempuan mana lagi yang akan kamu korbankan, Armand?” Ayah memarahiku. Kami bertengkar hebat. Bahkan ia memintaku untuk segera mengeluarkan Zahara, tentu saja aku tidak terima. Itu sama saja ayah menghancurkan perjuangan yang berminggu-minggu ini sedang aku bangun. Tidak akan. Zahara harus tetap di sini. Aku ingin terus dekat bersama Za, aku harus memiliki kembang perawan ini. Harus.
Ayah pergi masih dengan suasana marah. Minggu depan ia tidak ingin melihat perempuan manapun menempati rumah kami.
Aku masih kalut, saat Zahara menghampiri. Dia terlihat sayu dan pasrah. Jemarinya saling bertaut satu sama lain. Matanya ke sana ke mari.
“Apa ayahmu tidak menyukaiku?” Zahara tertunduk, matanya seolah menyapu lantai. Aku hanya bisa memandanginya. “Aku bersedia pindah, aku tidak mau menjadi beban buatmu.”
Aku terkesiap, “Jangan, kamu harus tetap di sini.”
“Tapi ayahmu tidak suka aku di sini.” Demi apa pun, sungguh aku tidak ingin Zahara pergi, dia tidak boleh pergi. Seandainya aku harus bertengkar terus sepanjang hari dengan ayah, akan aku jalani.
“Biar saja, dia sebenarnya tidak peduli denganku,” ucapku meyakinkan. Kudekati tubuhnya. Sangat wangi, bahkan belahan baju hem yang dia kenakan menampakkan sebagian lekukan dada. Seketika darahku berdesir.
“Aku telah melakukan banyak hal untuk kamu, Za. Kamu tahu kenapa?” Rasanya aku benar-benar ingin melumat bibirnya yang ranum itu tanpa ampun. Tanpa polesan apa pun bibir Zahara terlihat penuh dan menggoda. Kecil, tetapi membuatku bergitu bergairah. Tubuhnya berusaha menghindar. Ketakutan terpancar dari matanya. Kelemahannya kujadikan senjata.
“Demi kamu, aku bahkan bertengkar hebat. Apa pun Za, demi kamu. Tapi, Apa yang kamu beri selama ini. Hanya sikapmu yang cuek, dingin bahkan tidak ada minat sama sekali denganku. Sampai kapan Za? Seperti apa hubungan kita sesungguhnya di matamu?” Tak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya. Matanya mulai berkaca. Aku tidak peduli. Aku merasa di atas awan. Ia tak berkutik.
“Besok malam, di sini, di rumah ini aku memintamu Za.” Kemenangan sekarang berada dipihakku.
***
Aku bangun kesiangan. Tadi malam Rahmad mengajakku bermain kartu hingga semalaman suntuk. Sebelah rumah tampak hening. Sepertinya Za telah berangkat kuliah. Aku menghabiskan hari di rumah. Ke rumah Fanny, ke warung kemudian kembali ke rumah. Sampai sore Za masih belum kembali. Aku mulai gelisah. Hingga petang menjelang, ia belum juga menampakkan diri. Jam sembilan malam, kutengok di rumah Fanny, siapa tahu dia sedang di sana. Anganku mulai memikirkan yang tidak-tidak. kemana Zahara?
Kubawa mobil dengan kecepatan penuh. Satu tempat, kampus Zahara. Jalanan tidak terlalu ramai. Kampus Zahara lebih mirip perkantoran berlantai tiga. Pagar besi rendah, dengan halaman yang tidak terlalu luas. Tepat di ruas jalan besar. Di samping gedung tersebut terdapat sebuah kantin kecil. Kampusnya telah sepi, hanya beberapa orang yang sedang duduk bersantai tepat di kantin yang telah tutup.
Mobil mulai menyusuri jalan setapak tidak jauh dari gedung, keluar masuk gang, memutari jalan-jalan protokol. Kulajukan kembali ke area pusat pembelajaan, dan berhenti di setiap masjid juga sekitar indekos. Za, kamu di mana?
Ada yang menusuk-nusuk di hati, seperti ribuan jarum yang mulai menghujam. Rasa perih, rasa bersalah, rasa sayang, dan rasa-rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi. Hingga dini hari tak juga kutemukan sosoknya. Saat aku pulang, berharap dia telah tiba di rumah. Sekali lagi, perih mencengkeram. Rumah kami begitu sepi, bahkan tak ada penerangan sama sekali. Suram, kelam, seperti suasana di sini, di hati ini.
Pagi belum menjelang, mobilku telah terparkir tidak jauh dari area kampus Zahara. Mungkin tadi malam ia menginap di tempat temannya, dan pagi ini aku bisa melihatnya. Tak kuhiraukan lagi perih di bagian ulu hati. Magku kambuh, dari tadi malam tak ada makanan yang berhasil masuk. Lebih tepatku perutku tak berasa lapar selain memikirkan Zahara. Gadis itu, mungkinkan sedang murka dan sangat membenciku?
Mendekati jam sembilan pagi, satu persatu mahasiswa mahasiswi mulai hilir mudik memasuki area kampus. Aku bahkan harus keluar dari mobil agar bisa melihat lebih saksama. Berharap pula, Za melihatku. Sekali lagi, nihil. Apa mungkin ada yang terlewat? Atau Za sengaja menyembunyikan diri ketika melihatku?
Jam sebelas siang, beberapa mahasiswi meninggalkan gedung. Kuberanikan bertanya kepada perempuan berkerudung, mengenakan rok panjang sambil mengapit beberapa buku tebal.
“Maaf, Mbak, kenal dengan mahasiswi di sini yang bernama Zahara?” tak lupa kusebutkan asal daerahnya.