Beberapa lelaki dewasa berkulit legam bertelanjang dada. Mereka terlihat hilir mudik menurunkan berkarung-karung barang dari buritan kapal. Pisang, beras, dan aneka bahan pangan lain. Pantulan matahari membentuk kilat pada tubuh-tubuh itu. Aku harus memasuki ruas-ruas jalan yang bercabang. Aroma lum seketika mencucuki hidung. Cukup sulit. Perumahan penduduk di daerah sini begitu impit dengan jalan-jalan sempit.
‘Warung Bu Rusma. Sedia Nasi Pecel, Sop dan Soto.’ Sebuah kain baliho putih usang menjuntai dari atap seng. Akhirnya bertemu juga dengan warung ini. Sebuah kursi kayu panjang membentang di depan warung. Di atas meja beralas tikar plastik tersedia beberapa botol minuman bersoda, kopi, susu, dan aneka jus sachet plastik yang saling menggantung. Seorang perempuan muda berambut panjang dikucir kuda sedang sibuk merapikan beberapa piring sambil melap meja yang terlihat berminyak. Dia tersenyum ramah dan mempersilakan aku duduk. Dia adalah asisten Ibu Rusma, Wahidah namanya. Baru saja lulus Sekolah Menengah Atas.
Ibu Rusma terlihat bersandar santai pada kursi kayu. Ia sedang asyik mengisap sebatang rokok. Menikmati setiap isapan dan embusan yang keluar dari bibirnya yang biru. Sesekali pandangannya menyapu jalan. Kulitnya legam, dengan bintik-bintik coklat di bagian bawah mata. Hidung kecil mancung, rambut lurus persegi di atas bahu. Mengenakan kemeja lengan pendek berwarna coklat tua. Bagian bawah diikat seadanya.
Dari segi penampilan mengingatkanku pada Ibu Susi Pujiastuti, Menteri Kelautan pada era pemerintahan pertama Presiden Jokowidodo. Seorang menteri yang gemar membakar kapal asing apabila kedapatan mencuri ikan di perairan Indonesia. Yeah, penampilannya cukup mirip, selain bentuk mata Ibu Rusma lebih sipit juga rambutnya yang lurus itu. Dari betisnya pun terlihat tato berupa coretan hitam, dengan ukiran seperti akar melilit, mungkin juga seekor ular yang sedang berpelukan.
“Armand itu sesungguhnya anak baik, sangat menghormati saya sebagai Ibunya walau bertahun-tahun saya abaikan. Tidak pernah menampakkan rasa dendam sama sekali. Dia juga rutin menjenguk saya ke sini. Memberi uang yang tidak sedikit,” ucap Ibu Rusma. Puntung rokoknya nyaris mendekati garis finish, diisapnya lebih dalam sebelum mematikan ke piring kecil di atas meja.
“Tapi tidak banyak bicara. Dia lebih senang melepas lelah, tidur, menonton tivi, kemudian pergi lagi.” Kembali Ibu Rusma menyalakan rokok barunya. Menyesapnya, kemudian melepaskan ke udara pelan-pelan. “Itu sudah cukup membuat hidup saya serasa memiliki segalanya. Walaupun tidak bisa saya pungkiri rasa sesal tentang apa yang pernah saya lakukan padanya.”
Ibu Rusma mengajakku menyusuri jalan. Beberapa kali bertegur sapa dengan para tetangga. Cukup ternama sepertinya. Kami menuju dermaga. Lengkingan peluit panjang dari sebuah kapal besar menandakan sebuah kapal akan segera berlayar.
“Kalau Armand rusak, itu memang salah kami. Kami masih terlalu tinggi rasa ego. Masih muda, masih labil-labilnya, belum siap menjadi orang tua.” Kali ini pandangan wanita berusia lima puluh tiga tahun itu menatap lautan yang berwarna tembaga. Suaranya terdengar parau. Sebuah masa silam yang teramat kelam seakan dipaksa untuk diputar ulang.
“Dulu saya menikah sangat muda, sesaat setelah ujian SMA selesai. Ijazah belum juga keluar. Sementara Bang Rosyid baru saja lulus pengabdian di sebuah pondok pesantren. Sudah punya kerjaan, dan cukup mapan meski masih ditopang orang tuanya Kami bertemu saat pengajian akbar tidak jauh dari kampung halaman. Cinta pada pandangan pertama, jatuh cinta yang pertama.” Ibu Rusma tersenyum getir. Ombak menghempas pada titian tebing. Kami duduk bersandar di kursi kayu yang dibentuk seadanya. Menikmati semilir angin menyapu wajah.