Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Bapak duduk tafakur seperti pesakitan. Memohon kepada paman—adik iparnya—agar diberikan pinjaman modal. Bapak sering diperlakukan seperti pelayan. Begitu pula kepada Ibu, seperti asisten rumah tangga. Apa-apa di suruh selalu mau, walau kadang dalam keadaan lelah, saat keluarga paman meminta sesuatu pasti dituruti. Tidak siang ataupun malam, pagi ataupun sore. Mereka selalu patuh.
Bagaimana persaanmu jika orang tua yang begitu kau kasihi dan hormati diperlakukan keluarganya seperti itu? Dendam tentu saja, dan itu sangat menyebalkan. Namun, sebagai bocah kecil, aku bisa apa? tanganku terlalu lemah untuk membawa mereka ke tempat seharusnya, tempat yang hanya ada orang-orang yang sungguh peduli dan sayang kepada mereka.
Aku tidak pernah mengutuk keadaan kami yang papa. Selalu dalam impitan ekonomi. Harus berjuang dengan tenaga, linangan air mata dan darah untuk mewujudkan sesuatu. Bahkan sungguh aku tidak pernah menyadari kalau kami sebenarnya miskin secara harta. Yang aku tahu, tetangga kami yang sangat baik itu sering mengirimkan sayur ataupun kue. Aku sangat menikmati masakan mereka. Sayur lodeh itu sangat gurih. Juga kue kelapa yang berbalut tepung. Manis dan sangat enak. Dikirim ketika masih hangat. Membayangkannya saja membuat air liur menetes. Ibu sangat jarang membuat kue, tetapi tak mengapa, tak dibiarkannya kami kelaparan saja menurutku itu sudah lebih dari cukup.
Namun, semua berubah menjadi hal yang memilukan. Karena keadaan yang sangat miskin, kami kehilangan sosok yang sangat kami sayangi.
Siang itu begitu terik. Matahari begitu garang tepat di atas ubun-ubun. Bapak terlihat buru-buru, mencengkram pergelangan tanganku menuju sebuah Rumah Sakit. Raut wajahnya melukiskan kesedihan, resah, dan kebingungan teramat luar biasa.
“Kita mau kemana lagi, Pak?” Aku sangat letih, haus dan lapar. Seharian berputar-putar tak tentu arah. Baru juga dijemput dari rumah nenek, karena Ibu sedang menunggui adik. Banyak sekali kerabat yang ia kunjungi. Juga klinik-klinik kesehatan, hingga Rumah sakit besar. Setelah berbincang-bincang dengan para staf yang berbaju serba putih, Bapak kembali membawaku keluar.
Aku berdiri di belakang kemudi vesva dengan muka merengut. Bapak melajukan vesvanya menyusuri jalanan kota yang saat itu masih cukup sepi. Bapak diam seolah sedang memikirkan sesuatu yang maha penting. Mungkin ocehanku tergelam bersama deru motor dan angin, atau beliau terlalu letih untuk menjawab setiap pertanyaanku.
Vespa oleng saat melewati sebuah gubangan kecil. Bapak berusaha menjaga keseimbangan dengan terus melaju. Gantungan kunci membentuk ukiran orang-orangan sawah, berwarna ungu tua, mainan yang selalu aku bawa seketika terjatuh.
“Bapak! Gantungan kunciku jatuh!”
“Sudahlah, Nak. Bapak terburu-buru. Nanti kita beli lagi.”