Aku SD
Sejak dulu, Bapak selalu berpindah-pindah tempat. Dari satu kota ke kota lainnya. Aku terbiasa berpindah rumah, tapi baru pertama kali pindah sekolah. Sekolah pertama kali di sebuah pedesaan. Berbentuk panggung berdinding papan. Saat musim hujan, air menggenangi hingga bagian halaman.
Sekolah adalah tempat yang menyenangkan bagiku, berkumpul bersama kawan-kawan, bermain dan belajar. Hasratku untuk mengeyam pendidikan sebenarnya sudah sejak lama. Bahkan ingin sekali bisa merasakan sekolah di Taman Kanak-kanak. Sayang, karena keterbatasan biaya, Ibu dan Bapak tidak pernah memasukkanku ke sana.
Aku ingat saat berdiri di depan pagar sekolah memandang murid-murid Taman Kanak-kanak yang sedang bermain di halaman. Bermain perosotan, jungkit-jungkit, dan ayunan. Ramai sekali, menyenangkan sekali. Tetapi aku hanya bisa mematung sendiri, memegang erat bilah-bilah pagar. Berandai-andai bisa bermain bersama mereka.
Maka, saat di Sekolah Dasar aku masuk kategori murid sangat rajin. Bahkan saat hari lIbur nasional aku tetap berangkat ke sekolah, walau akhirnya harus pulang dengan perasaan kecewa. Kami tidak memiliki kalender, tidak pernah tahu tentang tanggal merah.
Aku selalu menduduki peringkat ke dua, termasuk murid yang disayang Ibu guru karena selain dianggap cerdas juga penurut. Masa-masa indah itu harus berakhir saat Bapak memutuskan untuk pindah ke kota.
Sekolah baruku sangat keren sebenarnya. Berlantai dua, dengan dinding yang sangat kokoh. Halamannya cukup luas, walau berada di tepi jalan besar. Di belakangnya terdiri dari beberapa kantin. Kalau di sekolah lama aku termasuk siswi berbadan besar, di sekolah baru aku salah satu yang berbadan kecil dan kurus. Ukuran tubuhku tidaklah seberapa apabila disandingkan dengan anak-anak perkotaan. Tubuh mereka selain tinggi juga berisi dan gesit.
Saat itu, rasanya ada yang berbeda. Cara berpakaian mereka, sangat rapi bersih, dan keren-keren. Sepatu mereka terlihat sangat bagus, juga tas yang mereka sandang. Sedangkan aku, lusuh dan kusut. Banyak barang yang kupakai adalah lungsuran. Seketika rasa percaya diriku turun ke dasar bumi yang paling dalam.
“Apa yang kamu pakai untuk rambutmu, Za?” Eka memandang lamat ke arah rambutku. Matanya tak berkedip. Rasa penasarannya tinggi sekali.
“Minyak,” jawabku seketika.
“Minyak apa?” keningnya berkerut-kerut.
“Minyak goreng,” jawabku polos. Seketika Eka mengerenyitkan dahi, keningnya semakin berkerut-kerut. Entah apa yang dia pikirkan saat itu. apa ada yang aneh?
Aku suka memakai minyak rambut, hanya saja Ibu memberiku minyak goreng bukan minyak yang lain. Setiap upacara bendera, minyak itu seolah meleleh pada keningku, meluncur dengan sempurna. Mungkin aku terlalu banyak mengoleskan minyak pada rambut. Tak menggapa, bagiku saat itu rambut berminyak menjadi keharusan dibandingkan rambut yang kering dan gersang karena saat keramas tak pernah memakai sampo.
Semakin hari aku merasa teman-teman semakin asing. Mereka seolah menjaga jarak. Aku tidak berani berbincang dengan mereka, kecuali dimulai.
Yuni adalah teman sekelas yang duduknya tepat di depanku. Bola matanya besar, rambutnya bergelombang melewati bahu. Suatu ketika pernah dengan sengaja menyelonjorkan kakinya tepat saat aku ingin melangkah ke depan kelas. Seketika tubuhku terjungkal hingga keningku benjol. Bukannya kasihan, mereka malah serempak tertawa. Sejak itu, jadilah aku bulan-bulanan keisengan teman-teman. Khususnya Yuni. Mereka sangat puas apabila melihatku terisak.
Pernah suatu ketika saat pulang sekolah. Aku berjalan sendiri, sedangkan teman-teman berkelompok. Walau sudah berusaha berjalan di tepi, entah untuk alasan apa, Yuni sengaja menabrakku dengan kencang dari arah belakang hingga nyaris membuatku terjatuh. Jangankan bertanya, menatap saja rasanya nyaliku sudah ciut duluan. Wajah mereka sangat sangar, menyeringai, dan sadis. Persis seperti lakon pada cerita rakyat Bawang Merah. Arogan, dan ingin menang sendiri. Cantik, tetapi tidak punya hati.
Karena aku diam, Yuni cs semakin besar kepala. Ia kembali menabrakku hingga tubuhku tersungkur ke comberan. Lagi, mereka tertawa keras penuh kemenangan. Bajuku basah dan kotor. Aku berlari pulang sambil menangis, sesampai di rumah tidak ada satu pun orang di sana. Aku kembali menangis dan menangis. Malang sekali hari-hariku semenjak mengenal Yuni.
Kemudian, sekolah termasuk daftar tempat paling horror setelah pemakaman China, dan kamar mayat di rumah sakit tentunya. Entah pelajaran yang semakin susah atau memang mentalku terlanjur jatuh, nilai mata pelajaran setiap ulangan semakin hari semakin anjlok. Melihat pelajaran saja rasanya aku sudah trauma.
***
Hari menjelang siang. Matahari tengah berada tepat di atas kepala kami. Sangat garang. Ibu mengajakku ke pasar. Jika ingin mendapatkan sayuran dan ikan segar, maka berangkatlah ke pasar pada subuh hari. Namun, berbeda dengan Ibu. Untuk mendapatkan sayur dan ikan dengan harga yang lebih ekonomis, maka datanglah menjelang siang. Banyak sayur dan ikan yang dijual dengan harga miring. Kalau beruntung, kau juga akan mendapat lebih. Jangan lupa, pintar-pintarlah menawar harga.
Ibu menggeretku dari satu pedagang ke pedagang yang lain. Menanyakan harga yang satu dengan yang lain. “Ibu, aku capek.” Ibu hanya memandangku sekilas, kembali melanjutkan memilih ikan.
“Ibu, aku haus.”
Kembali, Ibu tidak bereaksi apa-apa. Ibu sibuk menawar-nawar harga ikan. Selalu saja begitu. Tidak pernah membelikanku apa-apa. Padahal, teman-teman sebayaku sering bercerita kalau diajak ke pasar selalu dibelikan jajanan hingga mainan.