“Nih.” Alvian memberikan sebuah sapu tangan berwarna biru muda. Di situlah mata kami saling tatap. Ada perasaan aneh seketika menyelinap di dalam hati, mungkin juga malu.
“Ambil!” ucapnya lagi. Aku meraih dengan ragu, Alvian tersenyum, kemudian kembali dari arah belakang suitan bersahut-sahutan juga cie … cieee khasnya anak muda.
Kak Aligator beserta rekan-rekannya, kemudian mengalungkan bunga ke leher kami. Memberikan selamat, sekaligus permintaan maaf karena telah membuatku menangis.
Setiap tahun memang diadakan pemilihan ratu dan raja sekolah, tetapi dengan cara yang berbeda-beda. Siapa pun yang dipilih menjadi pasangan itu dianggap sosok yang cantik dan rupawan. Aku sendiri bingung, apa aku masuk kategori itu?
Sejak kejadian itu pula, namaku mulai naik ke permukaan. Hampir satu sekolah mengenalku. Titip salam juga titip-titip lain setiap hari berdatangan. Tak ada satu pun kugubris.
“Marli,” seorang gadis sebangku denganku memperkenalkan diri di hari pertama pembagian kelas. Dia perempuan yang sangat manis, dengan bola mata lebar dan kulit kecoklatan. Rambutnya sering dibiarkan tergerai, atau diikat tengah. Selain manis, dia juga pintar. Sungguh tak terduga, ternyata Marli masih satu kampung denganku. Dia murid pindahan, yang sekarang tinggal dengan tantenya. Dari Marlilah aku belajar banyak hal tentang bagaimana caranya memahami pelajaran dengan baik.
Di kelas, Marli itu diam dan sangat memerhatikan penjelasan guru lalu mencatatnya dengan sangat rapi pada buku tulis. Ia memiliki pen dengan aneka warna, juga spidol berwarna terang untuk menandai hal-hal penting pada buku paket. Di luar kelas dia berubah sosok menjadi gadis biasanya, jajan, tertawa terbahak-bahak, ngerumpi tentang cowok, tentang penyanyi-penyanyi yang sedang hits sampai pertandingan bulu tangkis yang sedang booming.
***
Aku baru saja mencuci saputangan Alvian. Menjemurnya di samping pagar seng kamar mandi. Menatap lekat saputangan berwarna biru muda tersebut. Suaranya, tatapannya, bentuk tubuhnya, rambut gelombangnya tiba-tiba saja berkelebat di otakku. Apa ini yang dinamanya jatuh cinta. Usiaku sangat belia, menstruasi saja belum, bisa-bisanya perasaan itu muncul. Kurang ajar sekali!
Keesokan paginya, kumasukkan saputangan itu ke dalam saku rok. Berharap bertemu Alvian di sekolah nanti. Walaupun kami satu angkatan, tetapi berbeda kelas. Aku di kelas C dia di kelas D. Meskipun begitu Kelas kami berseberangan. Saat kami duduk di bangku depan kelas, secara otomatis menatap depan kelas D walau dengan posisi miring, dan sering mencuri pandang ke kelas Alvian, berharap dia ada di sana.
Aku ingin sekali mengembalikan saputangan ini, sialnya nyaliku terlalu lemah untuk mendekat. Mencari-cari kesempatan Alvian sendiri, dan lagi, sangat susah melihat Al sendirian, dia selalu bersama teman-temannya.
Pada hari-hari tertentu, sekolah kami mengadakan kegiatan amal. Semisal ada kerabat yang mengalami musibah kebakaran, sakit atau keluarganya meninggal dunia. Beberapa murid akan berkeliling ke setiap kelas untuk meminta sumbangan yang kemudian diberikan kepada orang bersangkutan.
Uang jajanku selalu pas-pasan. Cuma bisa beli sarapan dan segelas minuman. Di luar dari itu maka aku akan kelaparan. Tepat saat pelajaran ke dua, beberapa siswa memasuki kelas kami. Saat itulah Dan degub jantungku sepereti dipompa lebih cepat. Rasanya melompat-lompat. Marli seakan menyadari perubahan ekspresiku.
“Rajamu datang tuh, Za,” bisiknya sambil menyikutkan lengannya ke arahku.
Setelah berbasa-basi sebentar, Alvian bersama ke tiga temannya mulai begerilya memasuki setiap gang kelas. Saking gugupnya, atau mungkin menjaga wibawa agar tidak terlihat kere-kere banget di depan Alvian, kuserahkan semua uang jajan. Lalu, sepanjang hari itu aku menahan lapar dan dahaga.