Aku dan Marli, juga beberapa teman terbiasa berjalan kaki berangkat ataupun pulang dari sekolah. Hari itu, Alvian menghampiri kami. Dia mengendarai sepeda Mustang berwarna biru. Ada keranjang duduk di belakangnya.
“Za, ikut yuk?” pintanya. Tentu saja Marli dan jamaah serentak berdehem. Semula aku menolak karena malu, tetapi Marli malah menggeretku untuk menaiki sepeda itu. Setelah memastikan aku duduk di belakang dengan manis, Alvian mengayuh sepeda dengan perlahan.
Napasnya tersengal, mukanya sedikit memerah, ia sepertinya cukup kepayahan. Sebenarnya pantatku juga perih, tempat duduk ini terbuat dari besi dan tidak ada bantalan sama sekali.
“Sudah Al, aku jalan kaki aja.”
“Ja-ngan.” Alvian tetap memaksa bertahan, walau napasnya sudah putus-putus.
“Tapi kamu kecapean. Nanti kamu pingsan.”
“Be-lum kok, Za. A-ku maaa sihh … kuat!”
“Dih, maksa.”
“Aku, kan anak jantan, Za. Masa bawa anak kecil manis dan imut seperti kamu nggak sanggup, sih! Aku pasti sanggup.”
“Aku bukan anak kecil, tau!”
“He he, iya deh. Maklum lah Za, ini pertama kali bawa sepeda. Baru dua hari lalu diajarin Kakak.” Akhirnya Alvian berhenti juga, Ia memutuskan menyerah sambil mengatur napas. Secara otomatis aku turun. Ia menggeret sepedanya perlahan, lalu kami berjalan bersisian.
Beberapa orang dewasa tampak mengulum senyum melihat kami. Mungkin mereka berpikir seperti ini, “Dih, kecil-kecil sudah pacaran, saya kapan?” Plak!
“Nanti sore kamu ada acara enggak?”
“kenapa?”
“Mau ngajak kamu sepedaan lagi.”
“Nanti kamu beneran pingsan lo.”
“Kalau capek, kan bisa turun kaya gini.”
“Berarti itu bukan sepedaan namanya, tapi jalan kaki.”
“Aku jemput ya?”
“Hem ….”
“Habis asar.”
“Kamu tunggu di rumah Marli saja ya, biasanya aku main di sana.”
“Oke! Deal!”
Di jalan tertentu untuk sampai ke rumahku memang akan melewati rumahnya Alvian. Kali ini dia sengaja melewati jalur lain agar tiba di rumahku lebih dulu. Kami berpisah di persimpangan jalan. Sesekali Alvian menoleh ke belakang, kemudian menghilang di persimpangan jalan berikutnya.