Sore begitu cerah, walau matahari telah tergelincir dibalik rimbunnya pepohonan. Tampak pula rumah penduduk yang kebanyakan terbuat dari kayu. Cahaya terang masih membungkus kota kami. Di atas tebing batu bersusun rapi dengan lilitan kawat besi, membentang di sisian sungai. Aku duduk menatap Sifa, teman sekolah yang sama-sama tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena alasan klasik, ekonomi. Dia terlihat menyembulkan tubuh dari dalam air, kemudian tenggelam lagi. sungguh gerakan yang menggelikan.
“Kamu tidak latihan?” serunya dari bawah mengusap air yang membasahi wajahnya.
“Nggak dibolehin.”
“Sejak kapan kamu jadi anak penurut?” Sifa meledekku. Dia tahu aku anak paling badung di antara yang lain.
“Sejak kamu tanyain,” balasku kesal. Latihan yang dia maksud adalah olah raga beladiri, karate. Aku meminjam seragamnya, karena dia sudah tidak pernah ikut lagi. Semula aku mengikuti latihan secara sembunyi-sembunyi, bahkan saat menjemur seragam itu harus dilapisi kain lain agar tidak ketahuan. Bapak tidak pernah suka kalau aku ikut-ikutan olah raga seperti itu. Bapak inginnya aku jadi anak manis, feminim, dan patuh.
Tak berselang lama terdengar deru mesin kendaraan. Ekor mataku menangkap deretan mobil mewah memarkir tidak jauh dari tempat aku duduk. Semula aku tidak begitu peduli. Tak ada satu pun yang aku kenal diantara merekea. Akan tetapi ketika mereka masuk ke gang dimana di dalam gang tersebut juga terdapat rumah orang tuaku, sempat berpikir apa mereka tamu Bapak?
Baju mereka cukup rapi dan bagus. Rombongan entah berantah. Kalau dilihat-lihat sekilas seperti orang dengan ekonomi mumpuni. Setidaknya diukur dari kendaraan yang mereka gunakan. Di dalam gang itu sebenarnya masih banyak rumah lain, mungkin ada sekitar 10 rumah yang terhitung daun pintunya menghadap jalan. Sisanya adalah belakang rumah. Aku tidak berusaha mencari tahu, atau mengintip. Biarin saja, lagi pula apa peduliku.
Kurang dari satu jam, mereka kembali. Salah seorang pemuda cukup dewasa menghampiriku. “Kamu anak Pak Ibrahim, bukan?”
Aku menatap lamat, “hu um, ada apa?”
“Tadi kami mampir sebentar ke rumahmu.”
“Ooo ….”
“Kamu mau main ke tempat tinggal kami?”
“Belum kepikiran.”
“Ya sudah, pikirin saja dulu. Kami pamit.” Dia beranjak pergi, dan masuk ke mobil. Aku masih tidak peduli. Bukan urusanku.
Hari semakin petang. Aku memutuskan kembali ke rumah. Tampak wajah-wajah Bapak dan Ibu yang sangat meresahkan. Dari gerak geriknya, aku dapat membaca ada yang ingin mereka utarakan.