Pagi begitu cerah. Ismail, Lia, Fanny, juga Armand telah menunggu. Semua keperluanku selama di kota telah aku persiapkan sejak jauh-jauh hari. Berat, sungguh berat. Kukuatkan hati untuk terus melangkah. Tetap semangat, mantap ke depan demi menggapai cita-cita. Sebuah sejarah kehidupan baru saja dimulai.
Tidak ada tangisan ataupun derai air mata yang membajiri pipi saat Ibu, Bapak, dan saudara lainnya melepas kepergianku. Tidak ada kesedihan, entahlah apa yang sedang mereka pikirkan. Armand mengantar kami menuju kota. Tidak, bukan Armand yang mengemudi, dia menyerahkan sepenuhnya kepada Ismail. Dan Fanny duduk di barisan paling belakang. Sedangkan Armand tepat duduk di sampingku—di belakang Lia.
Sesaat deru mobil membelah kampung, menuju jalan besar. Armand mulai mengajak berbincang. Otakku masih blank. Nyawaku belumlah menyatu dengan sempurna. Anganku masih mengembara membayangkan sesuatu yang akan terjadi di depan. Maka saat Armand bertanya kujawab seperlunya, bahkan andai saja bukan karena dia yang turut membantu kelancaranku pergi ke kota, sungguh aku sedang tidak ingin diajak bicara. Sebuah walkman cukup membantu. Kupasang headset, dan mendengarkannya sambil memejamkan mata. Peduli setan apa yang Armand pikirkan. Tentu saja setelah itu dia pun terdiam.
Perjalanan menuju kota cukup melelahkan. Baterai walkman sebenarnya telah habis, tapi headset masih terpasang di telinga. Sengaja, biar Armand tidak perlu repot-repot mengajakku berbicara.
Hari beranjak siang. Kami singgah di rumah keluarga Armand. Rumah Tante Ria. Di sana juga ada seorang bocah laki-laki berumur 10 tahunan bernama Rifky. Bapaknya seorang supir. Sebenarnya Bapak ini adalah Bapak sambungnya. Rifky pun adik se-Ibu. Mereka sangat ramah menyambut kedatanganku. Juga Tante Ria, begitu amat sangat baik. Aku merasa diterima.
Menurut informasi, masa kecil Armand dihabiskan di sini karena saat itu Ayah dan Ibunya telah bercerai. Keluarga Armand benar-benar welcome. Mereka dengan segala upaya berusaha memenuhi segala kebutuhanku. Apalagi Armand, kebaikannya bahkan terlampau berlebihan.
Malam itu kami menginap di rumah Tante Ria. Keesokan harinya, Armand akan menemani mencari tempat tinggal dekat dengan kampus agar aku tidak perlu menggunakan angkutan lagi. Kami berkeliling mencari tempat yang cocok. Ada beberapa kamar yang kami tengok, kadang bagus dengan kamar mandi di dalam tetapi harganya kurang bersahabat di kantong. Harganya okey, tapi tempatnya cukup memprihatinkan. Dinding yang terlihat lembab dan pencahayaan yang sangat minim. Kamar mandi terlihat jorok sekali. Ada pula indekos campur, maksudnya bisa dihuni laki-laki ataupun perempuan. Aku risi karena kamar mandi di luar. Membayangkan selepas mandi melewati para lelaki sungguh tidak nyaman. Sangat lama hingga tidak ada satu pun yang menjadi pilihan.
Entah ide dari mana, Armand menawarkan tempatnya. Lebih tepatnya, di seberang rumah Tantenya itu, dia mempuyai dua rumah kecil saling bersisian milik ayahnya yang memang diperuntukkan untuk Armand dan saudaranya. Dia bilang, untuk sementara waktu aku bisa menempati. Dia bersama saudaranya bisa menempati satunya lagi. lagi pula mereka masih single, satu rumah pun sudah cukup. Adiknya juga tidak terlalu sering berkunjung. Semula keraguan merayapi hati, tetapi ide ini tidaklah buruk. Ada penawaran gratis, kenapa harus di sia-siakan.
Masalah baru saja dimulai. Keberadaanku akhirnya sampai ke telinga Ayahnya Armand. Beliau memang jarang ke kota tempat Armand berada, hanya sekali dalam sebulan untuk mampir. Aku pernah dengar cerita dari Fanny tentang Armand. Dulu dia pernah melakukan tunangan sebanyak dua kali, dan dua-duanya itu gagal. Sebab musabab tidak diketahui. Padahal pernikahan mereka nyaris terlaksana serta undangan pun telah tercetak.
Ayah Armand, menangganggap aku sebagai perempuan yang sama. Perempuan tidak beres, yang akan berujung menoreh arang ke keluarga. Beliau tidak merestui keberadaanku untuk menempati rumah tersebut. Beliau sudah kapok dibikin malu sampai berkali-kali. Armand bersikukuh membela. Mereka bertengkar hebat. Posisiku sungguh tidak nyaman. Kami sebenarnya bukanlah apa-apa, dia hanya menolongku. Yeah, selama beberapa pekan ini memang dia yang memobilitasi segala keperluanku selama di kota. Dia juga memberiku uang jajan, mengajak makan di luar, dan masih banyak lagi, terutama menyediakan tempat berteduh.