Di Ujung Senja Kau Sebut Namaku

Raida Hasan
Chapter #13

Gelandangan

Aku menaiki angkot seperti biasanya, Kali ini bukan untuk menuju tempat perkuliahan. Mampir di daerah keramain, pergi cukup jauh dari tempat tinggal Armand. Kebingungan seketika melanda, harus kemana sekarang? Langkahku mulai tak tentu arah. Menyusuri sudut-sudut jalan. Otakku terus berputar. Uang di tangan tidak seberapa. Perut mulai minta diisi. Lapar sekali. Kucari tempat makan yang sangat sederhana, sambil berpikir apa yang harus kulakukan setelah ini?

Letih dan lelah terus mendera hingga sore menjelang. Aku memutuskan untuk terus melangkah meskipun seharusnya jam seperti ini biasanya telah tiba di rumah. Tidak ada lagi rumah sekarang tempat aku tuju. Kemana lagi kugeret kaki ini saat tubuh terasa begitu kepayahan. Persis seperti gelandangan.

Tiba-tiba sebuah bajaj menelikung kemudian berhenti tepat di depanku. Seorang wanita mengenakan baju ketat menghampiri. Aroma parfumnya begitu menyengat. Rambut bergelombangnya dikuncir ke atas. “Hei, Kamu ... apa kamu butuh pekerjaan?”

Mau apa dia? batinku. Aku menggeleng.

“Ikutlah denganku ada pekerjaan bagus dengan bayaran tinggi.”

“Maaf, saya tidak tertarik. Permisi!” Aku segera menjauh dari perempuan genit itu. Tidak perlu ditanya tentang pekerjaan itu sepertinya aku sudah bisa menebak akan dijadikan apa. Aku terus melangkah, sesekali menoleh ke belakang memastikan perempuan itu tidak mengikuti.

Brukkk ... Aku bertubrukan dengan perempuan muda yang sedang menenteng godybag. Isi dari tas itu sedikit terhambur. “Sorry,” ucapku seketika. Segera kubantu ia memasukkan kembali.

“Za, sedang apa kamu di sini?” Aku terkesiap. Ceryl? Dia adalah teman satu sekolah dulu. Sedang apa dia di sini? Oh iya dia kan memang kuliah di kota ini.

“Hai, senang sekali bisa bertemu. Aku hanya sedang berjalan-jalan saja.” Kami membicarakan banyak hal, saat itu dia sedang mengendarai sepeda motor. Dan kebetulan sekali dia mengajakku ke kos dia untuk menginap. Kebetulan, sangat kebetulan sekali. Malam itu kami menghabiskan waktu bersama. Dia dengan kekasihnya. Semula kami makan malam bersama, berlanjut ke pusat perbelanjaan. Sebuah Mall yang cukup besar. Kekasihnya itu membelikan baju dan banyak hal.

Hem, apa itu kekasihnya? Orangnya cukup berumur, malah bisa di bilang Bapak-Bapak. Ceryl begitu manja bergelayut seperti anak kecil yang sedang minta dibelikan mainan. Ia seolah-olah tidak mempedulikan keberadaanku. Kekasihnya itu juga membelikanku sebuah boneka beruang berwarna pink. Sangat lucu dan lembut. Kami menyusuri kota dan posisiku seperti obat nyamuk, yang sedang menyaksikan adegan mesra mereka berdua. Kadang aku pura-pura tertidur. Kami diantar ke kos sebelum jam sepuluh malam dalam keadaan kenyang, dan tentengan godybag belanjaan memenuhi tangan.

Ceryl bercerita, sesungguhnya itu bukanlah kekasihnya, tetapi ehmm … sosok royal, yang sering membelikannya barang, dan makan enak di tempat elite. Aku terperenyak, bagaimana mungkin Ceryl seolah tanpa dosa melakukan itu semua. Padahal di kampung dia termasuk anak yang pendiam dan terkenal alim.

“Kelak kamu akan mengerti, Za. Kenapa aku melakukan semua ini. Lagi pula aku hanya menemaninya, bukan diajak tidur bersama. Dia om-om kesepian, istrinya terlalu sibuk dengan kegiatan beserta teman-teman sosialitanya..”

“Apa kamu pikir di lain hari dia tidak akan meminta lebih?”

“Tergantung kesepakatan, ha ha ha ….” Ceryl tertawa lebar. “Kamu tahu, untuk bisa sejajar dengan cewek-cewek kota dan dianggap berada, tidak hanya dibutuhkan otak cerdas, akan tetapi juga barang-barang berkelas. Apa di kampusmu tidak pernah mendengar istilah ayam kampus?”

Lihat selengkapnya