Di Ujung Senja Kau Sebut Namaku

Raida Hasan
Chapter #14

Indekos Under Cover

Walau kami berjauhan tempat tinggal, sepertinya Armand tidak membiarkanku pergi begitu saja. Dia ikut mengurus segala keperluan, bahkan nyaris setiap malam bertandang mengajak keluar untuk makan malam. Tidak bisa dihindari, ketika semua penghuni kos mengira dia adalah kekasihku.

Di lingkungan kos aku mulai beradaptasi. Memiliki banyak teman dan mulai mengirit pengeluaran. Aku tidak pernah meminta yang aneh-aneh kepada Armand, apalagi minta dibelikan ini itu. Sesungguhnya tanpa bercerita pun dia telah mengetahui keadaanku jadi sering memberiku sejumlah uang. Selama di kos dan di kota ini tak sekali pun aku merasa kekurangan, dia selalu menutupinya. Kadang dia juga membelikan baju, walau tanpa diminta. Bodohnya aku selalu menerima pemberiannya.

Apa yang diucapkan Ceryl, sedikit banyak mulai terasa. Teman-teman di kampus sering pamer kekayaan. Jam tangan dengan harga mahal. Begitu pula baju, tas, dan hal branded lain sebagainya. Semakin mewah barang yang mereka kenakan meningkatkan rasa percaya tinggi, seolah-olah menandakan mereka berasal dari kalangan berada. Selalu mendapat perlakuan lebih spesial dibandingkan dengan mahasiswa yang berpenampilan sederhana.

Baru beberapa hari di tempat baru, kondisi tubuhku berada di titik paling lemah, semakin memburuk dan payah. Aku terserang demam tinggi. Mungkin karena selama ini makan semaunya jam berapa. Adakalanya melewatkan sarapan. Tidur juga tidak menentu. Malam hari, badan menggigil teramat-amat meski telah mengenakan sweater tebal. Kakiku tertatih menuju wartel, bahkan nyaris ambruk.

“Kamu tidak apa-apa?” ucap seorang pemuda berkulit legam. Dia tidak terlalu tinggi, mungkin hanya beberapa sentimeter melebihi ukuran tubuhku. Ia berhenti tepat di samping saat tanganku menggenggam tiang listrik. Kepalaku berat sekali, sepereti menampung satu galon air minum, bergerak sedikit saja akan tumpah. Angin yang berembus seakan menelusup pada celah sweater lalu menusuk-nusuk hingga ke tulang, benar-benar dingin.

“Aku mau ke wartel, bisa kamu menolongku?” balasku penuh iba.

“Yuk, kuantar.” Ia memboncengku dengan sepeda motor. Angin yang menampar-nampar wajah membuat tubuhku kian beku. Aku tidak berani berpegangan erat pada pinggang sosok laki-laki yang baru aku kenal. Hanya saja ketika di jalanan bergelombang secara otomatis tubuh kami saling berbentur.

Kami menuju area kampus negeri tidak jauh dari pemukiman kos. Mungkin jaraknya sekitar dua kilometer. Pemuda itu tidak bertanya banyak, dan sabar menunggu di teras wartel. Sesekali kepalanya menoleh padaku untuk memastikan apakah aku baik-baik saja.

“Maaf, merepotkan. Namaku Zahara, tadi aku menelepon keluarga minta dijemput. Sepertinya aku sedang sakit.”

Ia menempelkan punggung tangan ke dahiku, “Iya panas sekali Kamu. Sekarang, mau kemana? Aku antar?” tawarnya lagi.

“Bisakah kamu mengantarku kembali ke kos?”

 Ia langsung mengiyakan dan segera menghidupkan motornya. Mungkin hanya lima menit, motornya telah memarkir tepat di halaman kos. 

“Makasih banyak ya.”

“Sama-sama, aku Reza. Senang bisa membantu. Kapan-kapan boleh aku main?”

“Owiyah, silakan. Tapi mungkin dalam waktu dekat ini aku akan berada di rumah keluargaku.”

 “Okey.” Sesaat kemudian dia berlalu, melaju meninggalkanku yang masih gemetar menahan gigil, berjalan pun masih tertatih dan sempoyongan. Tiba di kamar, tubuhku limbung di atas kasur. Kutarik selimut tipis untuk mengusir hawa dingin yang terasa semakin menyiksa.

Hanya berselang satu jam, Armand dan Fanny datang. Fanny segera memasuki kamar dan membantu memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam tas. Ia juga membantuku keluar. Di teras, tampak Armand dengan aura kecemasan tiada kira. Mereka memboyongku kembali ke rumah Fanny. Keesokan harinya mereka membawaku ke rumah sakit. Kata dokter aku terserang gejala types, dan harus beristirahat total. Tidak boleh makan yang keras-keras dan asam. Selama satu minggu beristirahat total di rumah Fanny. Mereka merawatku dengan sangat baik, dan memperlakukan layaknya keluarga. Armand sendiri, memenuhi segala kebutuhanku selama di rumah Fanny, membawakan aneka makanan setiap kali pulang. Setiap kali pula ditanyakannya kondisi tubuhku. Kadang ia menungguiku hingga terlelap.

Semakin mencoba menjauh dari Armand, takdir seakan membawaku semakin dekat. Atau kebodohanku yang tidak tahu harus berbuat apa, membuat hidupku terus bergantung dengan mereka.

Lihat selengkapnya