Di Ujung Senja Kau Sebut Namaku

Raida Hasan
Chapter #15

Malam 17 Agustus

Saat Reza mengantar ke kos sudah ada Armand duduk di pojokan teras. Matanya menelisik penuh dengan aura tidak bersahabat. Aku tahu dia berusaha menyembunyikan itu. Reza pamit, dan aku pun tahu ada pertanyaan sebenarnya yang ingin dia utarakan tentang sosok yang memandang kami. Aku memberi kode dengan isyarat nanti akan kuceritakan, mesti kode itu hanya dalam hati saja.

Tentu aku tidak perlu salah tingkah, tidak ada hubungan yang mengikat diantara kami baik antara Armand dan Reza, atau mungkin aku sendiri bingung hubunganku dengan Armand sejenis apa. Teman Tapi Mesra? Tidak! Aku tidak pernah merasa mesra dengannya. Bahkan bersentuhan saja sangat jarang, bisa dibilang aku lebih sering menghindar.

“Sudah makan?” tanya Armand, menatapku amat sangat lekat.

“Sudah, barusan.” Kami duduk bersisian di selasar memandang pagar besi berwarna kuning, bentuknya meruncing. Hilir mudik melintas pemuda pemudi. Ada yang berjalan kaki juga mengendarai sepeda motor. Hanya beberapa yang mengendarai mobil.

“Jalan, yuk. Temani aku makan.” Dan aku mengiyakan. Kami menyusuri jalan-jalan cukup sempit, kemudian merambat ke jalan utama. Armand membawaku cukup jauh, bahkan keluar dari area pemukiman mahasiswa. 

“Siapa tadi?” Armand memandang lurus sambil terus menyetir mobil. Sesekali bibirnya berkecumik. Dia cemburu? Biarin, aku tidak peduli.

“Teman,” jawabku santai. Aku tidak ingin dia mengganggu area privasiku, aku tidak ingin dia mencoba menghalang-halangi dengan siapa aku bergaul. Bahkan menurutku dia tidak perlu repot-repot mengurusi aku kelak punya pacar atau tidak. Kuputar saluran radio, memencet-mencet canel dan mencari acara yang terdengar bagus.

Kami tiba di sebuah rumah makan, tepat saat malam menjelang. Karena sudah cukup kenyang aku memutuskan hanya memesan semangkok es buah berkuah susu kental manis. Ada irisan semangka, melon, alpukat juga potongan jeli. Menghirupnya dengan nikmat tanpa memedulikan tatapan Arman yang sedari tadi tidak jelas. 

Armand menyelesaikan makan malamnya, kemudian mengeluarkan sebungkus cigaret merah. Menyalakan perlahan, dan menghirup sangat dalam. Asap putih meliuk-liuk memutari kami. Beberapa pasang muda mudi mulai berdatangan. Tidak sedikit diantara mereka melirik ke arah kami.

“Aku pesenin buat dibawa?” ucapnya singkat. Sikunya menapak di meja makan. Jemarinya begitu lekat mengapit batang rokok, berulang kali mengembuskan asap ke samping. Tatapannya itu serupa jarum-jarum yang ingin mencucuki wajahku. Mengiris dan sadis.

“Aku masih sangat kenyang, Armand. Terima kasih. Lain kali saja.” Armand masih saja memandangiku, dan aku cukup terganggu dengan itu. “Kalau sudah selesai, bisa kita pulang?” sambungku lagi.

“Sebentar lagi,” jawabnya dingin. “Bukankah besok tanggal merah? Tidak kuliah, kan? Pintu kos juga bakalan lebih lama,” balasnya. Tanggal merah? Sejenak aku berpikir. Benar saja, besok tanggal 17 Agustus. Tidak sempat memikirkan tentang tanggal merah. Baiklah sebentar lagi.

Tepat jam delapan malam dia mengantarku pulang. Sialnya, jalanan begitu ramai. Beberapa ruas penuh dengan masyrakat yang berkumpul menyalakan kembang api. Di beberapa ruas lainnya, ada barisan yang sedang melakukan konvoi, pawai obor dan lain sebagainya. Aku terus melirik ke jam tangan, berharap detaknya melambat, agar bisa sampai di kos paling tidak jam sepuluh tepat.

Jam 10 lewat entah berapa, kami tiba di kos. Pintu pagar tertutup rapat, bahkan suasana di dalam tampak begitu senyap. Kami terlambat.

“Sekarang kita kemana?” tanya Armand, masih dengan sikap dinginnya itu.

“Aku tidak tahu.”

“Ke rumah Fanny?”

“Jangan.” Baru saja merepotkan seluruh keluarganya beberapa hari yang lalu, aku tidak ingin merepotkannya lebih lama lagi. Kecuali darurat. Sekarang apa darurat? Entah. Aku juga bingung.

“Hotel?”

Aku membeliak tajam. Mengerutkan bibir. Apa maksudnya?

“Baiklah, kita tidak akan ke hotel atau ke rumah Fanny,” tukasnya.

Mobil terus melaju meninggalkan area kos, melewati jalan-jalan senyap. Hanya ada beberapa pemuda yang masih nongkrong di depan kos, bercengkerama dan bermain giar. Rata-rata indekos mereka lebih bebas. Kami kembali ke jalan besar yang cukup ramai. Hening, tidak ada pembicaraan berarti. Kemana Armand akan membawaku?

Mobil melaju tidak terlalu kencang, namun juga tidak terlalu lambat. Dan rasanya seperti anak kecil yang sedang diayunan dan bersiap terlelap. Mataku seakan dihinggapi seekor gajah, berat sekali. Ingin sekali terpejam. Sekuat tenaga kucuba untuk tetap waspada.

Sebenarnya sejak kejadian dulu, Armand sudah tidak meminta yang aneh-aneh lagi, tetapi bisa saja bukan, setan merasukinya terus melakukan hal-hal yang tidak terduga. Bagaimana coba kalau dia membawa obat bius. Namun malam ini tentu ini tidak dia rencanakan. 

Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga tanpa sadar kelopak mataku terpejam. Kepalaku tersentak, sebagian tubuh melambung, membuatku terbangun. Hal pertama kali aku liat adalah Armand, dia masih berkonsentrasi dengan kemudinya. Tidak ada tanda-tanda mengantuk. Kemudian kulihat sekitar, gelap, tak ada lampu penerang jalan. Pohon-pohon kelapa di sisi ruang. Jalan ini tidaklah terlalu sempit dan bukan jalan antar kota.

“Kemana kita?” Aku masih celingukan memperhatikan keadaan.

“Sebentar lagi kita sampai, nanti kamu juga tahu,” jawabnya pelan.

Lihat selengkapnya