Selepas magrib, Aku dan Ceryl ke Gramedia mencari sebuah buku. Jalan yang akan kami tempuh melewati kampung tempat Fanny tinggal. Beberapa lembar baju masih tertinggal di rumah Fanny, aku berinisiatif untuk mengambilnya. Sekilas tampak mobil Armand memarkir di sisi jalan. Rumah Fanny dan Armand yang berseberangan, terpisah oleh lapangan berumput. Sebuah musala kecil tepat di pinggiran jalan. Kediaman Armand terlihat ramai, rasa penasaran tiba-tiba mengubah rencana semula.
“Kamu pulang duluan saja,” pintaku pada Ceryl.
“Serius nih?” Ceryl bersengut, seakan enggan meninggalkanku saat ikut melirik ke arah mobill Armand. Aku mengangguk. Ceryl berlalu, dan menghilang di tikungan jalan.
Hanya beberapa meter sebelum tiba di depan rumah Armand, terdengar canda tawa para laki-laki dewasa. Terus menggema, saat tubuhku semakin mendekat. Pintu rumah itu tertutup. Sesaat semuanya berhenti, dan menatapku dengan takjim. Armand dan kawan-kawannya sedang pesta miras. Armand terlihat salah tingkah, sedangkan lainnya satu persatu melipir, menjauh, dan pergi. Aroma alkohol begitu tajam saat mereka lewat.
Aku duduk tepat di sebelah Armand, yang masih tergeragap. Dia berusaha menyingkirkan botol-botol minuman di meja. Satu botol berhasil aku raih.
“Za, buat apa?” kami sama-sama memegang botol kaca yang masih terisi penuh. Dia setengah merebut.
“Aku haus, mau minum,” botol itu kupertahankan paksa.
“Ini tidak cocok untukmu.” Ke dua bola matanya seolah ingin melompat. Aku merebut dan mengamankan botol tepat ke samping.
“Kalau kamu minum, kenapa aku enggak!” tukasku tajam.
“Kuambilkan air putih.”
“Aku mau ini!”
“Za, jangan … aku mohon.” Seketika kutegak dengan mantap isi air jahanam itu. Fyuh ... tidak ada enaknya sama sekali. Kerongkonganku bagai terbakar. Baunya persis seperti air kencing hewan. Bagaimana bisa mereka menyukai minuman seperti ini.
“Hentikan, Za!” Armand berusaha merebut botol di tanganku. Aku tidak menyahut, dan terus menegak minuman itu. Tidak terukur dan ada sensasi sendiri yang mulai merayap ke tubuh kemudian menjalar ke otakku. Armand pasrah, tak ada yang bisa dia lakukan selain mematung dan menatap lamat dengan penuh penyesalan.
“Kamu tahu, Armand. Selama ini aku hanya menginginkan uang darimu.” Astaga! kata-kata ini seolah meluncur tanpa hambatan dari bibirku yang telah tersapu oleh air yang kusebut kencing hewan. Setengah sadar, setengah frustrasi, setengah menyesal. Ingin sekali kutarik kalimat tadi. Bagaimana mungkin aku bisa seceroboh ini.
Roman wajah Armand seketika berubah. Matanya memerah dan berkilat tajam. Napasnya turun naik. Aku bingung atas ucapanku sendiri. Mungkin memang iya, tapi … arrrghhhh, apa yang sudah aku perbuat!!!
“A-a-ku.” Rasanya suaraku tercekat di tenggorokan, tak mampu melanjutkan. Air jahanam ini sepertinya telah membakar sebagian vita suaraku, mungkin juga otakku.
“Terima kasih, Za. Terima kasih atas kejujuranmu.” Suaranya tertahan, seakan sesuatu sedang menggumpal-gumpal di dadanya. Ya Tuhan, apa tadi aku sedang mabuk? Secepat itu? Tapi aku masih sadar, aku masih kuat, hanya saja, kata-kata dalam otakku sungguh tidak bisa dikontrol.
Suasana masih sangat kaku, saat Ibunda Fanny, Tante Ria tiba di depan pintu. “Armand, kamu dicari Bapakmu, katanya sudah lama tidak pulang.”