Di Ujung Senja Kau Sebut Namaku

Raida Hasan
Chapter #17

Sebungkus Nasi Padang

Seketika jantungku berdebaran lebih kencang, bagaimana ceritanya aku bisa sampai di hotel? Jangan-jangan? Ah …. Aku menyibak selimut putih yang masih menutupi sebagian tubuh, berlari menuju kamar mandi, memeriksa satu persatu. Mungkinkah, mungkinkah? Pertanyaan ini memutari otakku.

Kembali kusandarkan tubuh di tepi kasur, sebuah kertas putih di dekat telepon digelatakkan begitu saja. ‘Aku keluar nyari sarapan, nanti agak siangan kembali. Kalau butuh apa-apa telepon aja di nomer ini by Ceryl.

Ceryl tiba setengah jam kemudian. Beberapa belanjaan dia geletakkan tepat di atas kasur. “Ini baju buat kamu,” Aku melipat tangan dan menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Aih, kenapa kamu menatapku securiga itu?”

“Ada apa ini? Apa yang terjadi tadi malam?” tanyaku mengintrogasi.

“Aku kasih tahu ya Zahara Ibrahim, andai saja Pak Andreas itu penjahat, sudah sejak tadi malam dia mempreteli kamu, Za.”

“Maksudmu?”

“Tadi malam kamu mabok berat, sampai memuntahin baju Pak Andreas, untung dia orangnya baik hati.” Baik hati kalau ada maunya, pekikku dalam hati. “Beliau mencarikan kita hotel, kemudian memintaku untuk merawatmu,” sambung Ceryl lagi.

“Pak Andreas sangat menyukaimu, Za. Percayalah, kamu tidak akan menyesal bila menerimanya.”

“Kamu sudah disogok berapa memangnya?”

Ceryl langsung melemparkan baju di tangannya ke wajahku. “Kamu itu ya, kalau dibilangin,” Ceryl bersengut.

“Lalu di mana Pak Andreas, sekarang?”

“Kerja.”

“Hendrik?”

“Juga kerja. Kita mau cek out jam berapa? Bentar lagi aku mau kuliah. Kamu masih mau di sini, ikut aku, apa pulang sendiri.”

“Aku pulang sendiri saja.”

“Ya sudah, aku mau siap-siap pulang. Kalau enggak pengen nambah, jam dua usahain sudah keluar. Aku minta keringanan satu jam lagi.” Aku hanya menggangguk saat Ceryl berbenah. Beberapa belanjaan dia pisahin.

“Bawalah semuanya, Ceryl, aku belum membutuhkannya.” Aku hanya mengambil sebuah kaos sederhana. Ceryl memindaiku dengan saksama. “Jangan memandangku seperti itu.”

“Terserah kamu lah, Za.” Hanya dalam 15 menit, Ceryl sudah bersiap meninggalkan kamar. Bajunya baru, sepatunya baru, tangannya penuh dengan godybag. Ia melenggang kangkung meninggalkan kamar.

Pukul satu lewat tiga puluh menit, aku pun berlalu meninggalkan hotel. beberapa Abang becak berjejer di area luar hotel, tukang ojek, dan taksi. Kemana sekarang tujuanku? Entah kenapa, kembali ke kos masih berat, mampir ke kos Ceryl berasa enggan. 

“Ojek, Neng?” itulah tawaran pertama yang terdengar. Aku mengiyakan dan menyebutkan lokasi yang akan dituju. Ada yang mesih mengganjal, dan harus diselesaikan secepatnya. Rumah Armand.

Aku turun beberapa puluh meter sebelum memasuki kampung Fanny. Menelikung mencari jalan lain. Sebelumnya mampir dulu di warung masakan Padang. Apa yang akan aku bicarakan padanya? Entahlah, belum ada skenario tentang hal ini, hanya saja, aku merasa ingin melihat keadaannya.

Daun pintu itu sedikit terbuka. Kaca jendelanya tertutup. Armand menyendarkan tubuhnya di sofa kayu. Matanya terpejam dengan tangan berlipat. Telapak kakinya sesekali bergerak menandakan dia hanya memejamkan mata bukan otaknya.

Saat kuketuk, dia membuka kedua kelopak mata perlahan, lalu memejamkan lagi. “Boleh aku masuk?” dia tidak menyahut. Kubuka daun pintu itu lebih lebar, melepaskan sepatu. Geret pintu akibat gesekan dengan ubin terdengar. Kubuka jendala. Pengap sekali ruangan ini. Dia belum mandi, sangat kusut. Dua buah bungkusan nasi kugeletakkan tepat di meja.

Lihat selengkapnya