Semenjak itu, Armanad semakin giat bekerja. Dia memintaku untuk membuka rekening di sebuah Bank. Rencananya dia akan melamar dan melangsungkan proses pernikahan dari hasil jerih payah sendiri. Semua tabungan tersimpan rapi. Setelah aku lulus kuliah, kami akan menikah. Sejak itu pula, hubunganku dengan Ceryl sedikit merenggang. Kami sudah jarang main bersama. Bahkan kabar mengenai Pak Andreas seakan hilang bak ditelan bumi.
Namun sungguh, takdir akan menemukan jalannya sendiri. Siang itu, keadaan kos cukup sepi. Sebagian ada yang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, kuliah, makan bersama, tidur siang atau entah. Telepon berdering. Aku termasuk salah satu penghuni kos yang enggan mengangkat telepon. Karena sangat malas jika harus memanggil nama penghuni dengan suara melengking, juga karena hanya Armand yang meneleponku. Itu pun sangat jarang. Laki-laki yang sekarang sedang berencana melamarku itu lebih sering membuat kejutan dengan datang langsung.
Aku beranjak dari kasur dan meletakkan buku di atas meja kayu. Berkali-kali telepon berdering, tak ada satu pun penghuni kos yang mengangkat.
“Hallo.”
“Maaf, bisa bicara dengan Zahara.” Aku kenal suara itu, jadi tidak perlu memastikan ulang, siapa pemiliknya.
“Hei Fanny, ada apa?”
“Za, Armand … Armand, Za,” suaranya lirih terbata-bata.
“Ada apa dengan Armand, Fanny?”
“Cepatlah ke sini, Armand ditangkap polisi.” Seketika tubuhku lemas. Seperti gelagar yang menyambar-nyambar di siang hari. Dadaku berdentuman, kurasakan telapak tanganku basah menggenggam erat ganggang telepon. Air matapun luruh tak terbendung.
Aku bergegas ke kamar, mengganti baju, membawa tas mungil dan memasukkan barang seperlunya. Rasanya tubuhku melayang saat menuju jalan besar, dan menaiki ojek. Sepanjang perjalanan otakku tidak bisa berpikir jernih.
***
Kami menuju sebuah polsek tempat di mana Armand ditangkap. Fanny membawa dua buah bungkusan makanan, satu dia berikan kepada sipir penjara, dan satu lagi buat Armand. Beberapa langkah sebelum menuju sel besi, tampak beberapa laki-laki di dalam sana. Armand bersandar di tembok dengan posisi duduk menelungkup, kedua tangannya di atas lutut kaki, pandangannya ke lantai. Dia menoleh dan segera bangkit.
Jeruji itu seperti duri-duri yang terus menusuk. Air matanya seketika berderai, bahunya berguncang. Dia memegang erat tiap bilah besi kemudian jemari kami saling bertaut. “Maafkan aku, Za. Maakan aku.”
Aku berusaha menarik segaris senyum, walau terasa begitu perih. “Semuanya akan baik-baik saja, Armand. Kamu akan segera keluar.”