Di Ujung Senja Kau Sebut Namaku

Raida Hasan
Chapter #19

Laki-Laki Berpedang

Pagi itu aku sedang di sebuah restoran bersama seorang teman. Karena keteledoran, gelas kopi yang terletak di atas meja samping, tumpah. Cairan hitam dengan cepat membasahi ujung kemeja. Aku segera pamit menuju toilet untuk membersihkan diri. Keluar dari kamar kecil, berpapasan dengan seorang laki-laki gendut, bertubuh pendek dengan kulit putih dan matanya sedikit sipit. Hanya sekedar basa-basi saat aku mengucapkan selamat pagi padanya. Kemudian dia mencegatku, “Namamu Siapa?”

“Zahara, Pak.”

“Masih kuliah?”

“Iya, Pak.” Bapak yang aku perkirakan berumur empat puluh lima tahunan itu merogoh sesuatu dari kantong kemejanya.

“Ini, simpanlah. Kalau kamu butuh pekerjaan segera hubungi saya.” Ia memberikan sebuah kartu nama, kemudian berlalu. Aku hanya membaca sekilas, namanya dan sebuah nama toko dengan embel-embel mobile. Semula aku tidak begitu memedulikannya. Namun semenjak detik-detik kelulusan dan aku sendiri tidak tahu apa yang harus diperbuat setelahnya, aku menelepon nomer yang tertera pada kartu yang masih tersimpan rapi pada sebuah buku catatan.

Bapak Irawan namanya. Ia memintaku bertemu. Perkuliahanku nyaris selesai, hanya menyisakan beberapa berkas yang harus segera diurus. Laki-laki yang menurutku masih keturunan Tionghoa itu langsung menerimaku bekerja. Ia bilang suka dengan karamahan saat bertemu dengannya dulu di sebuah restoran. Ia juga bilang aku akan membawa dampak positif baik bagi usahanya. Beberapa hari kemudian aku telah resmi menjadi seorang karyawan. 

Ia telah memiliki dua orang karyawati, yang bekerja dua shift secara bergantian. Hari-hari pertama bekerja di sana seperti berada di planet lain. Mana aku tahu pernak pernik gawai. Bahkan untuk mengisi pulsa dengan memasukkan kode beberapa digit itu sering membuatku gelagapan. Tidak sedikit pengunjung yang datang lebih pintar menjelaskan mobile yang mereka pilih. Beruntungnya belum ada coustumer yang protes. Pelan namun pasti aku mulai beradaptasi.

***

Matahari sepertinya sudah berada tepat di atas kepala. Saat di luar gedung terasa sangat garang. Walau sudah masuk musim penghujan, air dari langit sepertinya masih enggan bertandang. Debu-debu tampak beterbangan saat beberapa kendaraan melintas di jalan utama. Pusat perbelanjaan tempat counter Hand Phone kami cukup sepi. Biasanya akan kembali ramai saat sore menjelang. Beberapa karyawan dari lapak lain memilih berbincang atau makan cemilan. Jam makan siang telah usai. Seorang laki-laki kurus berkulit legam memakai topi hitam dengan kemeja lengan panjang. Dia membawa tas ransel yang di taruh di dekat kursi pengunjung.

Kebetulan counter kami berada tidak jauh dari pintu utama. Bahkan saat memasuki pusat perbelanjaan, counter inilah yang pertama terlihat. Tidak heran, kalau kami bisa leluasa melihat keadaan jalan. Begitu pula saat Armand dan kawannya kemarin memasuki kawasan ini.

“Saya ingin hape yang paling bagus,” ucap laki-laki itu sambil memandangi beberapa gawai di dalam meja etalase.

Rahmi, mengambilkan mobile Nokia keluaran terbaru. Harganya mencapai empat jutaan. Termasuk gawai paling elite pada eranya. Laki-laki itu mengamati dengan saksama. “Ada yang lebih bagus, Mbak?” ucapnya lagi.

“Ini keluaran terbaru, Pak. Ada pasilitas kamera.” Rahmi menjelaskan secara detail keunggulan-keunggulan benda segi empat kecil memanjang itu. Juga garansi yang akan didapat. Laki-laki itu kemudian mengambil tasnya. Tiba-tiba saja, sebilah pisau panjang menyerupai samurai ia keluarkan.

Napasku menyesak. Kerongkongan tiba-tiba terasa cekat. Degub jantung berdebar tidak karuan. Orang gila ini bisa saja menyembelih kami tanpa ampun.

Lihat selengkapnya