Di Ujung Senja Kau Sebut Namaku

Raida Hasan
Chapter #22

Maya

Ada yang berbeda darinya. Tatapannya, sikapnya. Dia seperti orang lain. Apa karena pertengkaran kami kemarin? Dia marah? Seharusnya aku yang marah. Atau ketergantunganku di sini membuat dia seperti itu? Bukan, bukan itu. Aku tahu ada sesuatu yang telah terjadi. Feeling seorang perempuan itu sangat kuat, jangan pernah ragukan itu. Kami bisa membaca walau hanya tersurat. Dan dia, Maya, keluarga jauh yang sering bertandang ke sebelah rumah Fanny beberapa hari terakhir ini, aku yakin ada sesuatu di antara mereka. Caranya memandang, sungguh membuatku jengah.

“Ada hubungan apa antara kamu dengan Kak Maya?” Entah kekuatan apa yang membuatku mengatakan langsung ketika Armand sedang berganti pakaian di rumahnya. Saat itu Kak Maya sudah pergi entah kemana. Armand geming, ekspresinya datar. Sungguh, dia bukan seperti Armand yang kukenal dulu. Kemana pancaran cahaya setiap kali menatap wajahku, dimana senyum hangat dan nakal setiap kali melihat ragaku?

“Dia masih keluargaku, Za.” Dingin. Armand menanggalkan pakaian menggantung di sebalik pintu dan mengambil kaos berwarna coklat muda. Dia sungguh berubah, membuat kecugiaanku semakin kuat. Aku tahu Kak Maya memang keluarganya, keluarga dengan silsilah sangat jauh.

“Tidak ada yang harus ditutupi, Armand.”

“Aku ingin menikahinya.” 

DEG!!! Apa barusan aku salah dengar? Secepat itu? Bahuku seakan runtuh. Duniaku berhenti berputar.

Ia berhenti sejenak kemudian mengedarkan pandangan menghujam. “Aku tidak bisa menikahimu, Za. Sekeras apa pun usahaku selalu berujung kegagalan. Ayah tak pernah merestui hubungan kita, apalagi membiayai segala keperluan pernikahan kita. Dan kamu selalu menolak aku ajak nikah siri.”

Dadaku menyesak. “Sudah sejauh apa hubungan kalian?” inikah jawaban atas ketiadaannya selama ini? Inikah alasannya atas sikap dinginnya? Dia memilih bungkam, entah untuk tujuan apa. Saat ini, aku seperti orang yang sedang tercampakkan. “Katakan, Armand. Sejauh apa hubungan kalian?”

“Aku laki-laki normal, Za. Betapa kerasnya aku menahan rasa setiap berdekatan denganmu.” Jemarinya mengepal kuat ganggang pintu lemari.

“Kak Maya memberikannya? Iya?!” Sakit. Rasanya kakiku tidak menyentuh bumi, pandanganku tertutup genangan, membayangkan segala yang ia perbuat bersama Kak Maya, seorang janda dengan aurat terumbar dan tubuh yang putih serta berisi.

“Armand ….” Situasi yang benar-benar tidak aku inginkan. Kami belum selesai. Ayah Armand memanggilnya dari ambang pintu. Aku yakin laki-laki berambut keperakan itu tidak mengetahui keberadaanku karena posisiku nyaris di belakang pintu pojokan dapur. Napasku masih sangat sesak. Rasanya sesuatu sedang mencengkeram dada teramat kuat

Tanpa basa-basi, Armand mengutarakan niatnya. “Aku akan menikahi Maya, Ayah.” Sangat datar bahkan tanpa ekspresi.

“Siapa pun yang kamu nikahi, Ayah sudah pasrah, Armand. Kamu sudah besar bisa menentukan jalan hidupmu sendiri.”

“Bukankah Ayah tidak pernah ingin membantu biaya pernikahanku. Dengan Maya semuanya gratis, Ayah.”

“Kamu sudah dua kali—”

Belum sempat kata-kata itu meluncur sempurna, Armand memotong, “Tidak usah ungkit-ungkit masalah itu lagi, Ayah! Kali ini aku benar-benar tidak butuh uangmu. Aku akan menikah, pernikahan yang tidak akan pernah mengganggu keuanganmu!”

“Terserah kamu Armand, Ayah tak akan pernah bisa melarangmu.”

Inikah keputusanmu, Armand? Apa aku dan Kak Maya kau jadikan korban atas dendam kusumat kepada Ayahmu. Air mataku terberai walau sekuat tenaga kutahan. Sudah berakhir, semua sudah berakhir. Secepat ini? Rasanya kakiku tidak berpijak di bumi. 

Armand masih terpaku di depan pintu, ayahnya telah lama pergi. Kutata hatiku dengan bentuk yang sudah tidak utuh lagi. Aku pergi meninggalkan Armand, rumah itu, kenangan itu, semua, semua. Yang terpikir di otakku hanya satu. Kos Ceryl.

Aku menyambangi angkutan umum. Sepanjang perjalanan dengan sengaja menguap, berpura-pura sedang mengantuk. Menyembunyikan air mata yang terus jatuh. 

“Pasti bertengkar lagi.” Itulah kata-kata pertama yang terucap saat Ceryl mendapatiku dalam keadaan carut marut. Entah kenapa, dimana ada masalah di situ ada Ceryl, atau mungkin lebih tepatnya, dimana ada Ceryl, berarti aku sedang ada masalah. Kami menghabiskan malam yang suram kembali di diskotik yang masih menyatu dengan hotel berintang.

Lihat selengkapnya