Armand, laki-laki itu membuat hidupku seperti roll coster, ada kalanya berada di ketinggian dengan debaran yang tak pernah bisa dijelaskan, kemudian menukik tajam ke bawah dengan sangat nestapa, atau mungkin sudah terpelenting dari rell. Dan inilah hubungan paling nelangsa. Dia malaikat penolong sekaligus serigala berwujud manusia. Sering membuat hatiku menghangat tak berdaya, dan disaat bersamaan serasa ingin melahapku mentah-mentah. Kepalaku mulai pening.
Pak Andreas, sosok dewasa yang selalu membuatku merasa tenang dan berharga sebagai seorang perempuan. Tak ada tatapan nakal. Kata-katanya penuh wibawa. Penampilannya sangat memesona. Sayang, statusnya adalah suami orang. Tiba-tiba kepalaku menjadi semakin pening.
“Berhenti, Pak!” tepat di depan jalan besar sebelum masuk ke jalan tempat tinggalku, tampak Suri berjalan tertatih memegang perut. Aku melihatnya dari kaca belakang mobil. Pak Andreas segera memarkir mobil ke tepi.
Aku bergegas menghampiri, wajahnya begitu pasi. “Suri, kamu kenapa?”
Suri menggigit bibir, keringat dingin mengucur dari keningnya, jemarinya mencengkeram perut kuat. “Sa-kit, Za.”
“Aku antar ke rumah sakit, ya?”
“Ja-ngan,” napasnya tersengal, “aku mau ketemu Zoey.” Tiba-tiba darah mengucur deras dari betis Suri seiring dengan teriakan histeris “Arrrggghhh!!!” Suri melenguh kesakitan. Tubuhnya nyaris ambruk, seketika kupapah, dia semakin meringis. Jemarinya begitu dingin.
Pak Andreas sigap keluar dari mobil dan membantuku memapah Suri menuju mobil, “Temanmu kenapa?” aku hanya menggeleng. Suri terus merintih. Pak Andreas melajukan mobil menuju rumah sakit terdekat.
Kami langsung menuju ruang Instansi Gawat Darurat, kemudian disambut beberapa perawat yang bergegas memberikan pertolongan pertama. Pak Andreas mengurus segala keperluan administrasi. Aku meminjam telepon milik Pak Andreas untuk menghubungi Zoey dan juga keluarga Suri.
Kami duduk bersisian tidak jauh dari ruangan Suri. Pak Andreas terlihat sibuk menelepon seseorang.
“Sebentar lagi keluarga Suri akan datang. Bapak sepertinya banyak urusan.”
“Ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan. Kamu sungguh tidak apa-apa, saya tinggal?” Aku mengangguk. Pak Andreas memberiku sebuah kartu nama dan beberapa lembaran uang ratusan rIbu.
“Saya belum membutuhkan ini, Pak,” tolakku halus dan mengembalikan uang tersebut.
“Hanya untuk jaga-jaga.”
“Terima kasih, tapi saya masih punya, Pak.” Walau isi dompetku sungguh dalam keadaan menghawatirkan, aku tidak ingin mengulang kejadian serupa, terlilit dalam budi kebaikan orang lain. Cukup Armand yang terakhir. Jangan ada Armand-Armand lain setelahnya.
Beliau terdiam dan menatapku dengan pandangan teduh. Ya Tuhan, tatapan itu sungguh membuat sudut hatiku seketika meleleh, buru-buru kutundukkan pandangan.
“Uhm … Ya sudah. Tapi tolong simpan kartu ini, Okey.” Pak Andreas kembali memasukkan lembaran uang ke dompet, dan meninggalkan kartu nama di telapak tanganku, kemudian berlalu menuju parkiran.
Setengah jam berlalu, Zoey, Fanny, dan tante Ria datang. Suri masih di ruang operasi. Seorang wanita berkerudung ungu tampak bergegas menghampiri meja resepsionist. Tak lama kemudian berunding dengan seorang dokter perempuan yang keluar dari ruangan tempat Suri dirawat.
Seketika wanita itu menangis histeris, “Suri … Suri, kenapa bisa begini Nak!” ia memukul-mukul dadanya kencang. Lututnya ambruk bersimbah di atas lantai. Tante Ria berusaha menenangkan.