Di Ujung Senja Kau Sebut Namaku

Raida Hasan
Chapter #25

Luka

“Tunggu sebentar ya, Mas.” Pengendara ojek mengantarku lalu menunggu di depan jalan besar. Tidak ada mobil Armand, itu berarti dia tidak ada di rumah. Dan rumah kontrakan lama telah diisi penghuni baru. Semua perkakas sepertinya telah dipindahkan ke kediaman Armand. 

Malam kian pekat. Gemuruh bersahutan diiringi percikan kilat. Tubuhku terasa gigil. Hanya ada tante Ria yang sedang mengobrol dengan saudaranya di ambin kayu.

“Armand ada, Tante?”

“Sudah dua hari ini tidak pulang.”

“Oh, ya sudah, Tante. Aku pamit dulu.”

Langkahku begitu kosong. Sungguh aku masih memikirkannya. Mungkinkah dia berada di kediaman Kak Maya? Armand pernah mengajakku ke sana, sudah lama sekali tapinya. Kebetulan Ibunya Maya seorang tukang urut. Rumahnya tidak terlalu jauh dari kampung ini sebenarnya. Haruskan aku ke rumah itu atau kembali saja ke kantor?

Otakkku kali ini sungguh tidak bisa diajak kerja sama. Berulang kali realita mengajakku kembali ke kantor, toh sebagian hatiku ingin bertemu dan mencari keberadaan Armand. 

Angin malam seakan menampar-nampar wajah dan tubuhku. Seketika gigil terasa kian mencengkeram saat tiba di kediaman Kak Maya. Tukang ojek itu telah berlalu, namun tubuhku memaku di pekarangan memandang duka di depan rumah bercat orange. Rumah mereka tanpa pagar, tanpa pembatas dan menghadap jalan. Mataku tiba-tiba memanas. Luka itu semakin dalam. Mobil Armand terparkir rapi di halaman.

***

Armand, lihatlah aku di sini, menungguimu tanpa arti. Sebagai perempuan bodoh yang pernah terikat pada suatu hubungan yang rumit. Aku tak pernah yakin dengan perasaan ini, sedalam apa arti hadirmu, tetapi entah kenapa sikapmu membuatku terluka. Sangat terluka. 

Sakit.

 Aku selalu mengingatmu Armand, atau sesungguhnya aku sangat rindu. Aku tidak bisa meletakkanmu dengan mudah di luar pikiranku. Di luar dari hatiku, dan mengganggap semua yang pernah kita lalui hilang begitu saja. 

Gelegar petir bersautan menyambut datangnya gerimis dari kelopak mata. Malam ini begitu dingin, namun entah kenapa pipiku terasa kian hangat. Bukankah air hujan yang turun pada malam hari itu seharusnya beku? Kenapa sekarang bak bara api. 

Seharusnya aku pulang ke tempat dimana letih bersandar, melepas duka dan mengubur semua yang pernah ada di antara kita. Seharusnya aku pulang saat mereka bilang kamu tidak ada.

Namun aku memilih ke tempatmu. Untuk apa? Aku tidak tahu Armand. mungkin untuk memastikan bahwa kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Mungkin untuk memastikan bahwa kau benar-benar telah memilihnya. Mungkinkah aku masih mengharapkanmu? Aku tidak tahu, sungguh aku tidak tahu.

Kau tahu, aku menungguimu bersama tarian hujan yang kian menderas, membersamai kepedihan yang teramat dalam. Kau dan dia, dalam desahan selimut malam. Seharusnya aku pulang, tapi kubiarkan gigil terus membungkus tubuh yang telah kehilangan separuh jiwa. Dan separuhnya lagi telah koma. Armand, aku lelah, lelah dengan hubungan kita. Armand, aku sangat mengantuk aku ingin tidur dan berharap semua ini hanya mimpi. Tanah yang kupijak basah, mobilmu basah, rumah itu basah, pipi dan tubuhku ikutan basah. Apa ini karena hujan ataukah air mataku yang tak jua reda. Aku tak tahu, Armand. 

Aku meratap-ratap entah sudah berapa lama. Aku juga tidak tahu, aku hanya memahami hujan yang menemaniku telah berlalu hingga tidak bisa melihat apa-apa lagi selain sebuah cahaya yang menyala dari dalam ruangan. Suara ayam yang mulai bersahutan. Suara azan yang mulai berkumandang dari surau-surau terdekat. Aku tahu kamu akan keluar, untuk pulang. Rumah mana yang akan kamu tuju, Armand? Masihkan impian kita kamu jadikan sebagai jalan pulang?

Lengking bunyi dari kunci mobilmu menyadarkanku, kau akan tiba dan menghidupkan mobil. Kurapatkan tubuh, bersamaan kita membuka daun pintu yang berbeda. Apa kau terkejut? 

“Za?” Kau menolehku, dan aku tak membalas tatapanmu. Mataku terlalu lamur untuk melihat kenyataan.

“Bisa kamu antar aku ke kantor?” Sampaikah suaraku di telingamu, Armand? tubuhku kian gigil, bahkan aku mencoba memegang erat sisian jok mobil agar tetap duduk dalam keadaan tegak. Aku merasa sedang melayang, melayang menuju kegelapan.

Kita berada di tempat yang sama dalam diam. Hatimu mungkin tengah sibuk terisi dengan hati yang baru. Otakmu mungkin sudah penuh dengan rencana-rencana baru. Jiwamu mungkin terlahir kembali. Dan di sini, Armand, di hatiku, di dalam sebungkus daging bersama tulang belulangnya, ada yang kosong. Sangat kosong, ia sedang merintih kesakitan.

“Za, a-ku ....” Itu suaramu, Armand? terdengar patah. Kau belum mempersiapkan skenario untuk ini bukan? Aku meninggalkanmu, tidak, kamu lah yang telah pergi dan kurestui untuk itu. Walau hatiku terluka. Duri itu telah kau bawa kembali. Sakit. Sakit sekali, Armand.

Kita tiba di depan halaman kediamanku yang baru, dan sungguh kita sudah kehilangan kata.

“Za ….” Aku masih bisa mendengar suaramu dengan jelas Armand. kuhentikan langkah saat bibirmu melapazkan namaku. Masihkah namaku berarti untukmu?

“Terima kasih, Armand. terima kasih untuk semuanya.” Kau terdiam bersama deru mobil dan pintu kayu yang tertutup. 

***

Lihat selengkapnya