“Za, ada yang nyari.” Kak Noval memberitahu tentang seseorang yang menunggu di lantai bawah. Kuhentikan pekerjaanku sejenak dan menemui orang tersebut. Bangkit dan melangkah meniti anak tangga berkelok, mataku mengerinyit tajam, berharap salah melihat orang. Sosok itu kenapa harus hadir lagi? Aku tak mengharapkannya, sungguh pergi saja itu akan lebih baik. Luka ini masih terlalu dalam, belum puaskah? Atau masih ada luka baru yang ingin ia torehkan?
“Hai, Za. Bagaimana kabarmu?” Suaranya sedikit bergetar. Wahai hati tolonglah kali ini saja buat aku tegar di depannya. Harus kuat, tidak boleh terlihat lemah, polos, dan lugu seperti dulu-dulu.
Sebuah meja panjang resepsionist tak berpenghuni memisahkan jarak antara aku dan Armand. Kami duduk berhadapan seperti orang asing. Aku ingin menjelma seperti batu karang di lautan, jutaan kali dihempas ombak dan badai akan kokoh bertahan, tak berpindah sedikit pun. Risalah dari Kak Rasty kupegang erat. Tidak boleh, tidak boleh lemah di hadapannya. Dialah seharusnya yang sedih, bukan aku.
“Ada apa?” Aku menatapnya tajam. Lihat, Armand ternyata aku masih hidup. Aku baik-baik saja atas semua luka yang kau torehkan. Aku masih bernapas tak kurang suatu apa pun.
“Bapakku telah menyetujui pernikahan kita, dia akan mempersiapkan segalanya. Kembalilah, Za. Kita mulai dari awal lagi.”
Apa! Semudah itu? Apakah semudah kapal ke pelabuhan, kapan pun saat ingin kembali dan kemana pun dia ingin singgah, berlabuh sesuka hati.
Aku belum pikun, Armand. Lupakah kau, saat menjadikanku korban atas dendam kepada orang tuamu. Lupakah kau, aku tak bisa memberikan sesuatu yang kau mau? dan kau seperti mendapat alasan untuk membenarkan atas perbuatanmu. Dia, Kak Maya, rela melakukan apa pun untuk kamu.
Ingin rasanya kuberitahu, selama berminggu-minggu kau buat aku seperti mayat hidup yang berada di dasar perut bumi, gelap suram tanpa cahaya, dan sekarang kau memintaku kembali. Bukan tak ada tempat untukmu lagi di hati ini, tapi tak ada ruang dan celah untuk kau sakiti, semua telah hancur lebur sesaat kau putuskan menghabiskan malam itu bersamanya.
“Maaf, Armand. aku tak bisa.”
“Aku tahu aku salah, Za. Salah besar. Aku sangat menyesal. Maafin aku, Za. Beri aku kesempatan sekali lagi. Terakhir kali, Za.” Armand berusaha meraih jemariku, seketika kutepis.
“Aku sudah memaafkanmu, tapi untuk kembali … aku enggak bisa, Armand. Hubungan kita sudah selesai.”
“Semudah itu, Za?”
“Tidak, Armand. sangat sulit, teramat sulit.”
Aku berusaha tersenyum walau begitu getir. Aku tidak ingin menghancurkan harapanmu, Armand, meskipun aku benar-benar lelah dengan hubungan kita. “Kak Maya perempuan, aku juga, Armand. kami memiliki hati, kami memiliki harapan yang pernah kau beri. Cukup aku terakhir yang kecewa, jangan dia. Menikahlah dengannya, aku merestuimu”
“Aku sama sekali tidak mencintainya, aku hanya ingin menikahimu, Za.”
“Cinta kadang tidak tumbuh begitu saja, Armand. Kamu pernah berjuang untukku, kali ini berjuanglah untuk hidupmu, untuk keluargamu. Aku bukan siapa-siapa lagi untukmu.